Saban hari Pardi berangkat pagi-pagi sekali ke tempatnya bekerja di kantor desa. Dengan penampilan sederhana, pantofel cokelat, dan tas jinjing yang selalu dibawanya, ia selalu berjalan dengan wajah yang cerah, dan orang-orang selalu penasaran dengan apa yang ia lakukan di rumahnya sebelum berangkat bekerja. Apakah istrinya selalu memasakkan makanan yang enak setiap pagi, atau kopi panas yang dibuat dengan cinta, atau mungkin kecupan di pipi kanan dan pipi kiri setelah bangun tidur. Semua orang menebak-nebak.
Saat itu menjelang akhir tahun. Banyak orang datang ke kantor desa untuk keperluan administrasi. Ada seorang lelaki yang mengurus surat kepindahan di kantor desa. Pardi yang saat itu bertugas, menjelaskan bahwa persyaratan yang dibawa lelaki tersebut masih kurang. Namun seolah enggan mengindahkan, ia justru meneriaki Pardi. Ia berkata bahwa kerja Pardi tidak becus dan seharusnya diganti. Lalu lelaki yang mendebat Pardi siang itu perlahan terdiam karena melihat Pardi yang hanya tersenyum di depannya.
Namun, segala hal yang tidak diketahui orang-orang dan tak ada yang bisa menebaknya ada di dalam rumah itu. Rumah dengan cat warna putih dan dua tiang di terasnya adalah rumah milik Pardi dan keluarganya. Setelah pulang bekerja, Pardi bergegas membuka pintu rumahnya cepat-cepat dan menutupnya rapat-rapat. Pardi menghela napas, di hadapannya berjejer banyak topeng yang selalu digunakannya untuk bekerja. Semua topeng itu tersenyum dengan mata yang berbeda-beda.
Pardi melepaskan topeng yang ia pakai hari itu dan tampaklah wajah aslinya. Ia terlihat lebih tua dari topeng yang ia gunakan. Matanya sayu, wajahnya berkerut, dan tidak ada senyuman seperti yang sering ditampilkannya di luar rumah. Pardi tanpa topeng berbeda seratus persen dari Pardi yang terlihat sehari-hari. Istrinya, Lasminah, melihatnya berdiri di depan pintu dan hanya berlalu begitu saja. Pardi bahkan enggan menyapanya, lebih tepatnya—Pardi tidak punya tenaga untuk itu.
Pardi dan Lasminah sudah menikah selama sepuluh tahun. Pardi adalah pernikahan kedua bagi Lasminah dan Lasminah adalah pernikahan ketiga bagi Pardi. Pardi tidak memiliki anak sedangkan Lasminah membawa dua anak dari pernikahan pertamanya. Selama pernikahan mereka, Pardi merasa tidak pernah benar-benar bahagia. Akan selalu ada yang kurang dari dirinya di mata Lasminah.
Penghasilan Pardi tentu sangat pas-pasan. Pegawai desa tak banyak gajinya dan tunjangannya juga tidak seberapa. Dengan itu Pardi harus membiayai makan keluarganya, belum lagi sekolah anak-anaknya sebab ayah kandung mereka tak pernah mengirimkan uang barang untuk membeli permen. Istrinya ibu rumah tangga dan hanya menerima honor Pardi sebagai pegawai di kantor desa.
Meski menjadi ibu rumah tangga, Lasminah seolah tak pernah menyentuh rumah itu. Semua terlihat berantakan dan berdebu. Pardi yang enggan memprotes hanya membiarkannya dan merapikan sebisanya. Pardi juga akan memasak untuk dirinya sendiri. Lasminah hanya menyediakan nasi dan Pardi akan menggoreng telur atau ikan asin dan membuat sambal untuk dirinya makan. Adakalanya, Lasminah tiba-tiba nimbrung dan mengambil jatah lauknya sehingga Pardi harus membuat lauk baru untuk dirinya atau hanya pasrah makan seadanya.
Selama tujuh tahun terakhir, mereka juga tak pernah tidur bersama. Lasminah akan tidur di kamarnya dan Pardi akan tidur di ruang tengah depan TV. Hampir setiap malam Lasminah akan tertawa-tawa menonton entah apa di ponselnya dan Pardi akan mencoba memejamkan matanya, memikirkan topeng mana lagi yang akan ia kenakan besok.
***
Pernikahan mereka memang bukan pernikahan yang didasari oleh perasaan. Lasminah yang malu menjanda akhirnya mau dikenalkan dengan Pardi yang katanya duda dan bekerja di kantor desa. Dalam benak Lasminah, seseorang yang bekerja di kantor desa pastilah punya penghasilan yang cukup untuk sedikit bermewah-mewah. Tiga bulan keduanya dekat dan memutuskan untuk menikah. Pardi menjalani pernikahan itu agar tak lama-lama menduda, sebab akan selalu ada saatnya ia menerima ledekan dari teman-teman sekantornya.
“Apa tidak dingin tidur sendirian setiap malam? Apalagi musim hujan begini.”
Hingga pada akhirnya Pardi menikahi Lasminah tanpa tahu sikap Lasminah yang sebenarnya, sebab selama tiga bulan hubungan mereka Lasminah sangat manis dan selalu memberikan kesan yang baik terhadap Pardi. Pardi jadi terbawa perasaan dari sikap Lasminah. Hingga semuanya berubah semenjak Pardi terlambat menerima gajinya. Sejak hari itu hubungan mereka yang awalnya biasa-biasa saja berubah menjadi buruk.
Anak-anak sambungnya tak pernah menganggap Pardi sebagai ayah. Lasminah terus-terusan bersikap semaunya, menuntut materi dari Pardi dan tak pernah memberikan ketenangan dalam bentuk apa pun. Pardi yang selama ini mendapat perlakuan tidak menyenangkan dari istri mau pun anak-anak sambungnya hanya menerima dan menyimpannya sendiri. Para tetangga hanya tahu bahwa keluarga Pardi jauh dari huru-hara dan tak pernah berpikir bahwa Pardi sama sekali tidak bahagia, sebab tiap hari Pardi selalu menampakkan senyuman yang sama.
Meski dengan hubungan yang seperti itu, Pardi juga enggan menceraikan Lasminah sebab ini adalah pernikahan ketiganya. Selain itu ia berpikir bahwa nantinya ialah yang akan dicap bersalah jika sampai menceraikan Lasminah. Jadi daripada bercerai, Pardi memilih untuk mempertahankan pernikahannya meski ia pun tak tahu apa yang harus dipertahankan.
***
Suatu hari Lasminah datang ke kantor desa untuk menemui Pardi. Lasminah menyodorkan kotak makan kepada suaminya. Pardi yang menerimanya tentu saja kebingungan, namun dengan tetap tersenyum ia berterima kasih pada istrinya atas bekal yang Lasminah bawakan. Orang-orang yang menyaksikan mereka saat itu bergantian menggoda Pardi.
“Romantis sekali macam baru menikah kemarin!”
Saat jam makan siang Pardi membuka bekal yang diterimanya dari Lasminah. Di atas kotak bekal itu Pardi melihat secarik kertas.
“Aku butuh uang, lipstikku habis.”
Setelah membacanya, Pardi membuka kotak makan itu dan hanya menemukan nasi putih di sana. Akhirnya ia memutuskan untuk tidak makan apa pun siang itu.
Setibanya di rumah, Pardi bertanya pada Lasminah apa maksud tindakannya hari itu.
“Kau pikir saja sendiri bagaimana aku bisa hidup dengan gajimu yang kecil itu, kau pikir aku hanya butuh makan? Aku tak punya banyak baju bagus, gincu merahku habis, bedakku habis, kau kira aku bisa membeli itu semua dengan ‘sabar’?” suara Lasminah meninggi.
“Tapi kamu tahu setiap hari aku pergi pagi-pagi dan mengusahakan segalanya untuk mendapatkan uang!”
“Itu bukan urusanku, kamu kepala keluarganya!”
“Lalu tugasmu apa?”
Sedetik kemudian Lasminah menampar wajah Pardi.
“Kalau sejak dulu aku tahu kau semiskin ini, aku tak sudi menikahimu!”
Tubuh Lasminah menegang, napasnya naik turun. Wajahnya tampak seolah telah ditumpahkan kilat dari hujan pagi ini. Ia masuk ke kamarnya dan membanting pintu keras-keras.
***
Saban hari Pardi berangkat pagi-pagi sekali ke tempatnya bekerja di kantor desa. Dengan penampilan sederhana, pantofel cokelat, dan tas jinjing yang selalu dibawanya. Ia selalu berjalan dengan wajah yang cerah. Orang-orang selalu penasaran dengan apa yang ia lakukan di rumahnya sebelum berangkat bekerja. Tapi mulai hari itu, Pardi memilih untuk tidak lagi mengenakan topeng miliknya. Ia membiarkan wajahnya terlihat apa adanya dan tak akan berusaha untuk menutupinya lagi.
Orang-orang bergunjing sebab melihat Pardi yang tak lagi tersenyum. Mereka penasaran. Ada apa dengan Pardi? Apa istrinya tak lagi membuatkan sarapan untuknya, apa tak ada juga kopi panas yang dibuat dengan cinta, atau Pardi tak lagi mendapatkan kecupan di pipi kanan dan pipi kiri tiap bangun pagi. Pardi tak menutupi apa pun. Ia berjalan dengan mata sayu, juga kerutan di wajah, serta bibir yang tak lagi tersenyum seperti sebelumnya.
Pardi menjalani semua pekerjaan tanpa pernah menampakkan wajahnya yang cerah lagi. Ia akan menerima omelan dari orang-orang yang mengurus surat dengan mata sayu dan redup, yang akan membuat banyak orang terdiam dan enggan menatapnya berlama-lama.
***
Editor: Ghufroni An’ars