Ada “Kiran” dalam diri setiap orang dan keraguan atas iman membuat kita takut untuk membicarakannya. Demikianlah kesan yang saya dapatkan setelah membaca buku Tuhan Izinkan Aku Menjadi Pelacur karya Muhidin M. Dahlan. Menurut saya, karakter Nidah Kirani adalah hasil dari pemikiran seorang yang berdedikasi pada dunia literasi, seperti yang disebutkan dalam biografi di blog pribadi Muhidin.
Perlu diketahui bahwa karya ini terbit pertama kali pada tahun 2003, sehingga tak heran apabila pemilihan judul dan konflik yang dibawa menimbulkan perdebatan dan kontroversi di masa sekarang. Bagi sekelompok organisasi masyarakat, memoar ini dianggap menodai kesucian Tuhan. Menariknya, munculnya tokoh perempuan yang bercerita tentang pilihan hidupnya untuk menjadi pelacur berhasil menyingkap tirai-tirai kemunafikan yang menyelimuti manusia. Melalui Kiran, kita akhirnya bisa melihat sisi gelap orang-orang yang berlindung di balik topeng agama.
Awalnya, Kiran adalah seorang mahasiswi yang aktif dalam forum kajian yang membahas tentang masalah-masalah keislaman. Di forum tersebut, Kiran bertemu seseorang yang kemudian mengajaknya untuk bergabung dengan jemaah yang bercita-cita untuk mendirikan negara Islam di Indonesia. Awalnya, Kiran begitu bersemangat pada usaha kelompok tersebut untuk memperluas jaringan, tetapi lama-kelamaan dia merasa kecewa karena di tempat itu ia tidak menemukan teman diskusi yang sepadan, yang mampu menjawab kegelisahan dan pertanyaan-pertanyaannya tentang Tuhan. Singkat cerita, kekecewaan dan rasa frustrasi yang besar membawa Kiran menjadi pelacur. Pergolakan batin seorang muslimah yang teguh untuk menegakkan syariat Islam hingga menjadi perempuan yang menjual tubuhnya untuk para laki-laki sangat menarik untuk diikuti. Apalagi, kisah tersebut berangkat dari pengalaman hidup yang benar-benar terjadi.
Membicarakan yang Tabu
Sepanjang membaca novel ini, apalagi menuju akhir, pembaca mungkin akan merasakan penulis tidak setengah-setengah dalam mempersoalkan hal-hal tabu. Seandainya tokoh Kiran tak pernah benar-benar menggunakan akalnya dan hanya menelan tanpa mengunyah ajaran-ajaran jemaahnya saat itu, barangkali ia akan mengorbankan dirinya sendiri untuk kepentingan “memperjuangkan agama”. Nyatanya, Kiran tidak demikian. Ia menggugat Tuhan.
“Kau tahu sendiri bahwa salat yang dibebankan Tuhan kepada manusia adalah 50 rakaat sehari semalam. Tapi karena kekuatan Muhammad, ia bisa menawar kepada Tuhan agar mengurangi kewajiban yang tidak mempertimbangkan kemampuan manusia umumnya hingga menjadi 5 rakaat. Luar biasa kan, Muhammad? Itu artinya Tuhan bisa diajak kompromi. Kekuasaan Tuhan bisa ditawar.” Hlm. 153
Membuka Cadar Laki-Laki
Sebagaimana fungsinya bagi perempuan, cadar digunakan untuk menutupi hal-hal yang sebaiknya tidak diketahui atau ditampakkan. Bagaimana jika laki-laki sebenarnya juga menggunakan cadar untuk menutupi sesuatu yang sifatnya tidak terbatas pada fisik, melainkan batin? Dalam cerita ini, Muhidin membuka “cadar” milik laki-laki dan hebatnya lagi, orang yang berhasil membuka tabir itu adalah perempuan yang oleh masyarakat dinilai berlumuran dosa dan pasti masuk neraka. Ternyata di balik cadar itu, mereka menyimpan kemunafikan karena berlagak mampu mengendalikan hawa nafsu. Di luar bersuara lantang meminta orang-orang patuh kepada Tuhan, tetapi di hadapan perempuan yang telanjang mereka bagai binatang yang kehilangan akal.
“Tapi ketika berada dalam kehidupan yang nyata ia hanyalah seorang manusia lemah, manusia yang gagap, yang lari dari tanggung jawabnya sebagai seorang lelaki. Betapa lemahnya manusia ditinjau dari pakaian statusnya, yang ternyata melompong pedalamannya.” Hlm. 144
Dari awal perjalanan spiritualnya, keputusan Kinan pasti tidak lepas dari pengaruh laki-laki, entah itu bermula dari diskusi yang berujung pada ajakan ataupun ketika ia bebas memilih laki-laki yang hendak ia tiduri. Seolah-olah ia hidup dalam dominasi laki-laki. Namun, apabila dilihat lebih dalam, tidaklah demikian. Kinan tetaplah poros dan para lelaki itulah yang berputar-putar mengikuti porosnya. Satu persatu, melalui profesi yang dianggap laknat, ia justru mampu melihat wajah asli para pendusta, mulai dari aktivis hingga para politisi.
Lantas, Tuhan Mengizinkan?
Sebenarnya, pertanyaan tersebut tidaklah perlu untuk dijawab atau bahkan sebaiknya tidak perlu ada (?). Pertama, karena kita bukan Tuhan dan tidak punya kuasa untuk mengetahui cara Dia menilai seorang hamba. Kedua, karena sebagaimana yang tertulis di awal bab buku ini, bahwa penyembahan terhadap Tuhan adalah urusan pribadi seseorang.
“Penyembahan kepada Tuhan tak sama dengan rombongan orang yang berjalan dalam karnaval atau kerumunan besar yang mirip pasar malam. Penyembahan itu adalah hak pribadi—ia ada dalam setiap pedalaman manusia yang merdeka.”
Ada baiknya jangan takut pada “Kiran” yang bersembunyi dalam diri kita. Artinya, biarlah sisi kritis terus hidup dalam perjalanan menuju kebenaran, karena bukan tanpa maksud manusia bergelar makhluk yang mulia dengan diberikan akal kepadanya. Namun, ingatlah bahwa kita tetaplah manusia-manusia yang terbatas. Rasanya tidak ada yang lebih pas untuk menutup tulisan ini selain mengutip pernyataan Muhidin M. Dahlan bahwa iman yang kuat adalah iman yang teruji. Membaca novel Tuhan Izinkan Aku Menjadi Pelacur barangkali adalah salah satu cara untuk menguji keimanan kita.
***
Editor: Ghufroni An’ars