Ujang Rohidin

Ridwan Malik

5 min read

Seharusnya memang benar, Ujang Rohidin masih kudu disiksa selama ribuan tahun lamanya di neraka. Namun hari itu, entah di hari apa, seorang malaikat ujug-ujug datang untuk mengangkat sekaligus menjemputnya dari sana. Ujang Rohidin keheranan, mengapa seorang bajingan keparat laknat sepertinya bisa-bisanya diangkat dari neraka. Ia heran, sebab selama hidup di dunia dirinya tak pernah merasa sekali pun beribadah. Ujang Rohidin tak pernah salat, puasa juga, zakat apalagi, berangkat haji juga mana mungkin, dan ia juga sama sekali tak bisa membaca Al Qur’an.

Seingatnya, selama hidupnya di dunia, yang dilakukan Ujang Rohidin hanyalah  kedurhakaan. Berjudi di pangkalan ojek, mabuk-mabukan, jadi penadah motor curian, dan maling ternak-ternak di kampung adalah kegiatan rutinan yang akhirnya menjadi pekerjaan tetapnya. Selain itu, Ujang Rohidin adalah seorang penipu ulung merangkap preman tukang palak, serta di paruh waktu kadang menjadi tukang gebuk bayaran. Ujang Rohidin juga masih sangat ingat, bahwa saat di dunia ia pernah menyelingkuhi istrinya dengan melakukan persetubuhan bersama perempuan lain.

Kejadian sebenarnya memang masih bisa diperdebatkan apakah Ujang Rohidin benar berniat selingkuh atau tidak. Saat itu, ia sedang asyik berjudi dengan para preman dan tukang ojek di pangkalan sekaligus pesta miras yang disponsori oleh uang dari hasil memalak truk-truk proyek siang tadi. Ujang Rohidin merasa ingin kencing, lalu ia pun pergi ke kamar mandi di dalam warung. Dengan agak tergesa ia masuk warung, mendorong pintu kamar mandi yang memang tak pernah dikunci.

Ujang Rohidin lupa dengan aturan kalau pintu kamar mandi tertutup, itu tandanya sedang ada orang di dalam. Maklum saja, karena memang dirinya sedang mabuk. Saat pintu kamar mandi terbuka, ia kaget melihat Si Teteh pemilik warung sedang kencing berjongkok tak bercelana. Ujang Rohidin merasakan kemaluannya mengeras. Si Teteh hanya diam, memandangnya dengan wajah tenang, sebuah ketenangan yang aneh, dan sebagai lelaki, Ujang Rohidin tentu mengerti makna tatapan itu. Ia kemudian menghampiri Si Teteh, meraba pahanya, payudaranya, dan tanpa basa-basi membalikan posisi tubuh Si Teteh, lalu menyetubuhinya dari belakang. Begitulah persetubuhan singkat itu terjadi, tanpa niat dan rencana.

Barulah kemudian Ujang Rohidin merasa menyesal dengan kenyataan bahwa dirinya telah menyetubuhi Si Teteh. Ia bukan menyesal karena telah bersetubuh dengan perempuan selain istrinya, dan tidak juga merasa menyesal karena telah menyelingkuhi istrinya. Penyesalan Ujang Rohidin lebih karena dirinya baru ingat kalau Si Teteh itu memang jenis perempuan yang ‘bisa dipakai’ kapan pun, oleh siapa pun. Bahkan ia juga tahu, bahwa teman-temannya sesama preman atau tukang ojek pernah merasakan tubuh Si Teteh dengan cara memberinya sedikit uang, atau kalau sedang beruntung mereka bisa menyetubuhi Si Teteh secara gratis seperti yang baru saja terjadi pada Ujang Rohidin. Itu sudah menjadi rahasia umum di antara mereka. Dan ternyata, persetubuhan dengan Si Teteh itulah yang kemudian menjadi penyebab kematian dirinya.

Enam bulan setelah melakukan persetubuhan itu, kesehatan Ujang Rohidin menurun drastis. Berat badannya turun, dari hari ke hari tubuhnya menjadi semakin kurus hanya tinggal tulang. Kata dokter, Ujang Rohidin terkena penyakit menular seksual yang kemudian dilanjutkan dengan penjelasan panjang lebar perihal penyakit ini. Ujang Rohidin tak begitu mengerti dengan penjelasan yang dipaparkan dokter, ia hanya mengerti bahwa keadaan dirinya sudah parah, dan waktunya di dunia hanya tinggal beberapa bulan saja. Benar saja, beberapa bulan setelah itu Ujang Rohidin didatangi malaikat maut, nyawanya dicabut.

___

Sekarang di perjalanan, Ujang Rohidin ingin menanyakan mengapa dirinya diangkat dan dipindahkan. Ia lalu bertanya pada malaikat yang membawanya:

“Apa kau tahu mengapa aku diangkat dan dipindahkan?”

“Kau tak suka?”

“Bukan begitu, tapi masalahnya–”

“Aku tak tahu.”

“Kau tak bertanya pada Tuhanmu?”

“Aku tak banyak bertanya sepertimu.”

Mendengar cara malaikat itu menjawab pertanyaannya, tampaknya ia memang tak akan pernah mendapat jawaban memuaskan dari malaikat yang sedang membawanya ini. Kemudian pikiran Ujang Rohidin kembali melayang ke masa hidupnya. Ia mencoba mengingat-ingat apa pernah ia melakukan kebaikan semasa hidupnya, sekecil apa pun itu. Dan hasilnya, ia tetap tak ingat. Ujang Rohidin terus mencoba mengingat, dan tetap tak berhasil. Ia mencoba kembali mengingat, dan ia kembali gagal. Ia kembali gagal sebelum kemudian memutuskan untuk tidak memikirkannya lagi. Ya sudah, pikirnya.

Namun justru pada saat Ujang Rohidin berniat untuk berhenti bertanya, sebuah ingatan tiba-tiba muncul. Oh ya, dulu, saat dirinya sedang sakit parah setelah menyetubuhi Si Teteh dan dokter mengatakan bahwa sisa hidupnya hanya tinggal beberapa bulan, pada masa itu Ujang Rohidin sempat berpikir untuk bertobat. Waktu itu, Ujang Rohidin pernah mencoba untuk rajin melaksanakan salat, dan ia kemudian salat meski sebenarnya tak tahu apa yang harus dibaca. Ia salat seadanya, semampunya, seingatnya, dan pertobatan ini hanya berjalan sebulan saja sebab dirinya keburu mati.

Mungkin benar, kebaikan sekecil apa pun meski hanya baru berniat, akan selalu tercatat sebagai sebuah kebaikan. Dan sekarang, pertobatan yang hanya selama sebulan itu tercatat dengan rapi sebagai sebuah kebaikan yang akhirnya dapat menyelamatkannya dari siksa neraka.

___

Lamunan Ujang Rohidin buyar ketika malaikat di sampingnya berkata, “Kita sudah sampai.” Ujang Rohidin terdiam, mengamati tempat ini. Seluruh tempat yang ia pijak berwarna putih, putih seluruhnya. Ia merasakan tempat ini penuh kedamaian, sebuah kedamaian yang penuh. Ujang Rohidin dapat mendengar suara air mengalir dengan merdu, burung-burung bersiul, merasakan angin sepoi-sepoi seperti angin di pesawahan saat siang hari. Sejuk, dan tenang, dan ia merasakan kesejukan dan ketenangan dalam intensitas yang begitu dalam. Suasana yang demikian itu membuat Ujang Rohidin larut dalam kebahagiaan yang tak pernah ia rasakan sebelumnya.

“Selamat datang di surga, Ujang Rohidin!”

Ujang Rohidin membuka mata, melebarkan kuping, dan berusaha menerka-nerka dari mana sumber suara tersebut. Sebenarnya suara siapa yang tadi ia dengar, apakah mungkin itu suara Tuhan tebak Ujang Rohidin dalam hati.

“Benar, aku Tuhanmu.”

Mendengar jawaban itu, tiba-tiba seluruh tubuh Ujang Rohidin gemetar. Ia tak kuat untuk menahan getaran itu dan hasilnya, ia tersungkur ke dalam posisi bersujud. Ujang Rohidin menangis sendu, mengingat kembali seluruh dosanya dan merasa betapa dirinya tak pantas untuk menjadi penghuni surga. Jelas, sangat tak pantas.

Di hadapan suara Tuhannya, Ujang Rohidin merasa malu. Ia tak pernah beribadah pada Tuhannya, tak pernah menjalankan semua sabda-Nya dan malah dengan enteng selalu melanggar perintah-Nya. Di dunia, Ujang Rohidin selalu jauh dari ayat-ayat Tuhan. Yang ia lakukan hanyalah seluruhnya keburukan; mabuk, judi, bikin onar, maling, berzinah, dan membikin semua orang kesusahan.

“Tidak semua, Ujang Rohidin. Kau pernah melakukan suatu kebaikan dengan ikhlas dan cinta,  dan itu yang membawamu ke sini.”

Walaupun sebenarnya tak berani, tapi Ujang Rohidin sebenarnya ingin bertanya pada Tuhannya perihal kebaikan apa yang ia lakukan di dunia yang lantas bisa membawanya ke surga. Namun mulutnya hanya bergetar tak ada daya, tak mampu berucap. Sekali lagi Ujang Rohidin hanya bisa menangis, dan hanya menangis yang ia bisa.

“Sebab kau telah melakukan suatu kebaikan yang hanya sedikit orang melakukannya, kebaikan dengan iringan ikhlas dan cinta.”

Ujang Rohidin tak berkutik.

“Kau memang pelupa Ujang Rohidin, sebagaimana umumnya manusia. Kekasih-Ku, nabimu, Muhammad, datang padaku untuk bertanya apakah ada dari umatnya yang masih berada di neraka, dan kujawab masih. Muhammad tak pernah tahan jika tahu kalau ada dari umatnya yang masih berada di neraka, dan lantas ia bertanya apakah ada di antara umatnya yang melakukan kebaikan walau sekecil apa pun untuk mengangkatnya dari neraka. Kemudian aku berkata pada Muhammad, ada dari umatmu yang pernah melakukan kebaikan kecil, tapi ia harus dibersihkan dulu sebelum bisa diangkat ke surga. Muhammad kemudian bertanya lagi, kebaikan seperti apa yang telah dilakukan umatku itu. Aku kemudian berkata pada Muhammad, bahwa kau Ujang Rohidin, tanggal 13 Rabiul Awal tahun 1438 hijriyah pernah membereskan kursi bekas acara pengajian Maulid Nabi di halaman masjid, di kampungmu. Kau melakukannya sendirian, hatimu ikhlas, kau melakukannya dengan penuh cinta.”

Tiba-tiba ingatan Ujang Rohidin menjadi jernih, ia kemudian bisa mengingat peristiwa itu. Saat itu, sekitar jam sebelas malam dirinya baru saja pulang dari pangkalan ojek, seharian ia nongkrong di sana. Awalnya ia kaget saat lewat jalan depan masjid, ternyata sedang ada acara pengajian. Ia tak pikir panjang, langsung berhenti, lalu memarkir motornya sembarangan di pinggir jalan. Ia duduk di kursi kosong paling belakang, dan ternyata saat itu ajengan sedang menutup acara dengan berdoa.

Ia kemudian ikut mengangkat tangan, berucap amin, dan mengusapkannya ke wajah. Setelah selesai, dan orang-orang kebanyakan langsung bubar kembali ke rumah masing-masing, entah kekuatan apa yang menggerakannya, tiba-tiba saja ia membereskan kursi dengan semangat yang aneh. Hal itu tak berlangsung lama, sebab halaman masjid tak begitu besar dan kursi juga tak terlalu banyak. Setelah selesai, ia pun pamit pulang pada beberapa orang yang ia kenal yang masih berada di sekitaran masjid.

“Jadi karena itu, Ya Allah?”

“Benar. Setelah mendengar perkataanku, Muhammad langsung memohon padaku untuk sesegera mungkin mengangkatmu dari neraka sebab katanya kau, Ujang Rohidin, adalah termasuk umat yang mencintainya. Muhammad niscaya akan selalu menolong orang-orang yang mencintainya. Sekecil apapun cintanya, ia akan selalu berusaha untuk menolong umatnya. Dan aku, tentu akan mengabulkan permintaan kekasihku, Muhammad.”

Ridwan Malik

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Dapatkan tulisan-tulisan menarik setiap saat dengan berlangganan melalalui email