1
Setiap hari, Aminah melihat orang-orang berubah menjadi angka. Kemarin tiga ratusan, hari ini empat ratus sekian, besok entah bakal berapa banyak. Orang-orang mati di televisi dan menjumpai Aminah sebagai hasil penjumlahan. Tak ada nama, wajah, apalagi cerita. Wabah membuat Kematian kehilangan wibawa. Orang-orang tak lagi menyediakan cukup waktu untuk menghadapinya dengan sepantasnya.
Meski begitu, kengerian hanya terjadi di televisi, di tempat-tempat yang jauh. Tak terjadi di sini, tempat Aminah menanti kematiannya sendiri. Di sini, maut masih berada di masa depan, masih dalam jarak aman. Semua orang memilih untuk memalingkan diri dari televisi, menyelamatkan diri mereka dari teror yang tak cukup panjang tangannya untuk menggores hidup mereka. Kecuali Aminah.
Aminah setia melihat angka-angka itu bertambah. Tayangan favoritnya berubah, dari siraman rohani jadi siaran berita. Aminah akan buru-buru menyiapkan kopi dan sarapan untuk suaminya agar bisa khusyuk menonton berita pagi. Makan siangnya yang tak pernah mengisi lebih dari setengah piring, ia habiskan lamat-lamat sambil menyimak berita tengah hari. Durasi zikir bakda Magrib-nya berkurang siginifikan karena ia tak ingin melewatkan info baru di berita sore.
Ketika tak ada berita, matanya akan dengan tekun melihat teks berjalan di dasar televisinya untuk berburu angka-angka baru. Setiap hari, Aminah setia melihat angka-angka itu bertambah, cemas bahwa suatu ketika dia akan mengenali salah satunya.
Aminah tidur lebih larut daripada biasanya. Pikirannya berjalan ke sana kemari, memutar ulang hal-hal yang jauh maupun dekat, yang sudah maupun yang mungkin terjadi.
Hari ini, ada tambahan 239 kasus kematian baru di Jakarta. Angka itu timbul dari asbes di lelangit kamar Aminah, seperti gambar sepasang banteng pada botol Kratingdaeng yang biasa diminum suaminya. Angka itu membuat mata Aminah terus terbuka, persis pintu yang terganjal kain lap.
Jakarta.
Nama kota itu tak akan pernah lepas dari pikiran Aminah, tapi bukan karena ia mempelajarinya di sekolah sebagai ibukota negara. Aminah mengingat Jakarta sebagai kata yang ditulis anaknya sebelum menghilang. Bertahun-tahun lalu.
“Aku ke Jakarta.”
Hanya tiga kata itu yang ditinggalkan oleh Tria, anak bungsu Aminah. Tiga kata itu seperti terowongan yang dimasuki Tria dengan tergesa-gesa. Dia menyongsongnya dengan langkah lebar dan cepat karena yakin akan menemukan cahaya setelah menghabiskan gelapnya. Sementara Aminah tak pernah punya nyali untuk ikut masuk ke dalam terowongan itu, karena takut pada kegelapan yang berjaga di ambang liangnya.
Anak lanang-nya tak pernah kembali pulang. Aminah tak pernah pergi menyusul.
Begitulah, kata “Jakarta” berubah jadi kecoak terbang, melayang dari kertas lecek yang ditinggalkan Tria di meja kamar untuk hinggap dan dengan bandel tinggal menghuni pikiran Aminah. Selama ini Aminah berhasil menjaga serangga pengganggu itu tetap berada di pinggir bidang pikirnya, meski tak pernah benar-benar hilang. Namun, kali ini serangga itu menemukan jalan untuk kembali berlalu-lalang, membuat kepalanya gatal bukan kepalang.
Menurut berita, Jakarta masuk ke dalam zona merah, sebagian merah cerah, sebagian lainnya merah darah. Dari setiap warna itu muncul angka-angka baru setiap hari. Aminah masih belum tahu, di merah yang mana anaknya berada. Aminah terus bertanya-tanya, apakah Tria juga telah berubah menjadi angka tanpa nama?
2
Memang betul pikiranku selama ini. Hidung mancung yang sering dibanggakan Tria itu dia dapat dari ibunya, Aminah.
Biang tempat hidung mancung Tria bersumber, kini ada di depan mataku. Hidung itu sedikit lebih mancung dibanding milik Tria yang sudah bercampur dengan hidung pesek bapaknya, kukira. Ia masih tegak dan tampak kenyal, tak ikut-ikutan loyo dan penuh kerutan seperti bagian lain di muka Bu Aminah. Mungkin itu cara tubuhnya menahan diri dari melupakan Tria.
Memikirkan itu, timbul juga rasa iri dalam hatiku. Aku tak bisa membayangkan bagaimana nikmatnya menjadi Bu Aminah. Dia mungkin tak perlu repot-repot memeras otak untuk mengingat-ingat wajah lengkap Tria dari waktu ke waktu secara berkala biar tidak lupa. Cukup dengan duduk di depan kaca dan menatap hidungnya sendiri, Bu Aminah bisa terhubung pada apa yang juga dimiliki Tria. Hidung yang kurang lebih sama.
Hidungku pesek, mungkin lebih mirip hidung bapaknya daripada hidung Tria sendiri. Cuma aku tak ingin mengingat Tria melalui bapaknya.
Aku lebih pandai mengingat cerita ketimbang rupa. Meski aku kadang perlu usaha untuk membayangkan kembali wajah Tria, aku tak pernah sedikit pun lupa pada cerita-cerita Tria tentang bapaknya.
Aku masih mengingatnya dengan jelas seolah Tria mendongengkan lagi cerita-cerita itu setiap hari di telingaku sebelum aku tidur. Aku tak ingin mengingat Tria melalui bapaknya. Jika ada yang perlu disalahkan untuk kepergian Tria, kupikir menunjuk bapaknya adalah pilihan yang cukup adil.
Liang-liang halus di permukaan hidung mancung Bu Aminah melahirkan titik-titik air, padahal suhu udara di sini tak pernah cukup buat bikin orang berkeringat. Jadi kukira-kira saja bahwa panasnya mungkin berasal dari tempat lain. Boleh jadi dari kepalanya. Jika sedang pusing, pikiran-pikiran di kepalaku suka terasa seperti ranting yang saling gesek sampai akhirnya berasap dan muncul api. Kalau sudah begitu, biasanya aku bakal merendam kepala dalam ember atau mengebut tanpa helm ke area perkebunan teh, Walini atau Cibuni sekalian.
“Kamu harus bantu Ibu,” katanya setelah meneguk air putih yang kusodorkan.
Jarak antara rumah Bu Aminah dengan rumahku tak jauh-jauh amat. Kalau berjalan santai, sepuluh menit juga sudah sampai. Melihat betapa kilatnya dia minum, bisa kusimpulkan bahwa dia memang tergesa-gesa.
Di hari Tria akhirnya memutuskan menghilang, dia membuatku berjanji untuk membantu Bu Aminah. Hari itu adalah satu dari hari-hari puncak musim kemarau. Di terminal, kami melihat debu-debu diterbangkan derap kuda-kuda yang mengangkut delman, dari mulut mereka keluar cairan putih kental berbuih. Angkot-angkot kuning dengan gigih menunggu penumpang; harus lima-tujuh. Yang harus buru-buru pergi atau sudah keburu kesal, bakal pilih turun lagi dan memanggil ojek. Tria sudah duduk dalam mobil, sengaja di samping jendela agar bisa mudah bercakap-cakap denganku yang berdiri menempelkan badanku pada bodi luar mobil.
“Kalau suatu hari ibuku datang ke rumahmu dan meminta tolong, janji padaku, kamu tak akan banyak tanya dan bakal langsung membantunya.” Begitu pesan Tria dari jendela mobil elf jurusan Cibeureum – Leuwipanjang, yang selalu mengangkut penumpang lebih banyak dari seharusnya, begitu roda mobil butut itu mulai bergerak setelah mengetem lama.
Roda-roda menggilas permukaan terminal yang gersang, menciptakan awan debu kuning pucat tepat di depan mukaku. Mataku jadi perih dan sedikit berair ketika melihat pantat si mobil melaju meninggalkanku, membawa pergi semua yang menumpang padanya.
New Soul.
Itu stiker yang tertempel di kaca belakang mobil. Jiwa baru. Atau “nyusul” jika dibaca pakai lidah orang Sunda. Mungkin itu pertanda, atau kebetulan yang aku pikirkan dengan terlalu serius. Yang jelas, dua kata itu dengan pintar merangkum apa yang terjadi pada kami berdua, apa yang berani dan tak berani kami lakukan.
Tria menumpang mobil itu untuk menemukan jiwa barunya. Sedangkan aku hanya bisa melihatnya dari jauh tanpa punya keberanian yang cukup buat menyusul. Dulu masih sering kubilang, mungkin nanti. Tapi sekarang sudah jelas bahwa mungkin yang sering kuomongkan itu cuma pepesan kosong yang lama-lama busuk dan mau tak mau harus kubuang juga.
“Apakah kamu masih menyimpan foto-foto lamanya?” tanya Bu Aminah.
Aku menggeleng.
Tria dan aku pernah membuat kesepakatan. Aku harus menghapus semua yang berkaitan dengan Tria karena Tria sebentar lagi akan menghilang dan sudah dari dulu seharusnya begitu. Sebagai gantinya Tria akan mengirimiku semua yang baru tentang dirinya, yang benar-benar dirinya. Namanya, wajahnya, dandanannya, fotonya. Aku bukan orang yang polos ataupun gampang percaya, tapi masalahnya itu Tria yang ngomong. Lagi pula kami membuat kesepakatan itu ketika baru lulus SMA. Aku belum terlalu sering ditipu manusia.
Mungkin Tria lupa alamat lengkapku, jadi paket yang dia janjikan itu tak pernah datang, padahal aku sudah melunasi bagian janjiku padanya. Aku sudah membuang semua yang berhubungan dengan Tria. Meski sudah menunggu bertahun-tahun, aku sejujurnya masih tetap berharap kiriman dari Tria akan datang pada akhirnya. Sambil melatih kesabaranku, aku sering menduga-duga nama apa yang sekarang digunakannya, nama yang akhirnya dia pilih, yang menurutnya paling dia.
Aku punya dua daftar berisi nama-nama. Satu untuk nama-nama yang menurutku akan cocok untuknya, satu lagi untuk nama-nama yang kupikir akan dia pilih.
Daftar satu
- Rahmah (karena aku yakin Tria hanya jadi menyebalkan gara-gara ketularan sama hidupnya)
- Cindy (menurutku nama ini cocok karena gak cuma kedengaran manis, tapi juga ada sedikit nakal-nakalnya, seperti permen warna merah rasa stroberi yang punya selapis rasa asam begitu pertama diemut)
- Mawar (klise, karena cantik dan berduri)
Daftar dua
- Lovita (tidak ada alasan khusus, cuma kayaknya Tria bakal suka yang begini-begini)
- Christina (dari Christina Aguilera, penyanyi kesukaan Tria; kupikir cukup besar kemungkinan dia akan memilih nama dari orang yang menurutnya hebat)
- Barbie (aku ingat Tria pernah bilang ingin mengganti namanya menjadi Barbie, seperti nama boneka. Aku sudah bilang nama itu kurang cocok, tapi karena ini Tria, jadi kupikir omonganku sama sekali tak bakal punya pengaruh)
Aku membayangkan Tria sekarang berambut panjang, minimal sampai setengah punggung, jika bukan sampai pangkal pantatnya. Dia akan mengganti warna rambutnya paling jarang enam bulan sekali. Sekarang mungkin warnanya sedang cokelat dengan highlight emas-pirang untuk bagian rambut yang tumbuh dekat-dekat wajahnya.
Tria selalu ingin memiliki rambut yang lurus seperti model iklan sampo, tapi aku menduga sekarang dia sudah bosan dengan gaya rambut seperti itu dan sedang senang membiarkan rambutnya bergelombang.
Aku tidak bisa membayangkan di mana Tria bekerja. Yang jelas, jika sedang libur, aku membayangkan Tria akan mengenakan celana jins biru belel dengan kaus yang tak cukup panjang buat menutupi udelnya. Setelah lama tinggal di Jakarta, aku tahu Tria gak bakal gampang masuk angin lagi.
Aku membayangkan Tria berjalan keluar dengan cepat dari salah satu stasiun di sepanjang jalur commuter line tanpa jadi kelihatan terburu-buru. Gelombang di rambutnya bergerak terpantul-pantul. Sepatu botnya dari kulit, tumitnya yang keras berbunyi setiap dia melangkah, seperti sedang berhitung. Begitu melihat teman-temannya yang sudah tiba lebih dulu, Tria akan mengangkat tangannya tinggi lalu melambai dua kali sambil tersenyum lebar.
Dan mereka akan memanggilnya Barbie.
Barbie.
Nama itu kini terasa pas. Tria telah berubah jadi secantik boneka.
Dari sekarang, mungkin sebaiknya aku juga berhenti memanggilnya Tria dan mulai memanggilnya dengan nama Barbie. Nama yang dia inginkan.
3
Aminah memberi tahu Cahya bahwa sejak beberapa hari yang lalu, dia bisa mengetahui apakah seseorang masih hidup atau sudah meninggal dengan cara melihat fotonya. Karena itulah Aminah bertanya siapa tahu Cahya masih menyimpan foto Tria. Aminah sendiri tak tahu bagaimana dia bisa mendapatkan kemampuan itu, maka dia tak repot-repot mencoba menjelaskannya pada Cahya. Terserah dia mau percaya atau tidak, tekadnya. Rupanya, Cahya tidak bertanya apa-apa, dia mendengarkan cerita Aminah seolah setiap orang adalah nabi dan mukjizat terjadi setiap hari.
Meski begitu, sekarang Aminah benar-benar tahu bahwa Cahya tidak menyimpan satu pun foto anaknya. Semua sudah dibuang. Napasnya masih belum benar-benar teratur dan pinggiran bibirnya masih basah setelah terburu-buru menenggak air yang disuguhkan Cahya ketika Aminah mendengar kenyataan itu.
“Semua sudah saya buang, Bu, sesuai permintaan Tria,” katanya.
Jawaban Cahya membuat Aminah seperti tertinggal aliran waktu. Napasnya masih agak memburu tetapi tatapannya nyaris melayang, seolah apa pun yang selama ini bertahan untuk tetap hidup dalam matanya kini mati, terpenggal kata-kata dari mulut Cahya dan berubah menjadi hantu.
Aminah tak pernah mengakuinya, tapi dia tidak bisa berdusta bahwa sementara dirinya sendiri berusaha menghilangkan semua-yang-Tria dari rumahnya, dia berharap Cahya tidak. Bahwa dia ingin Tria tetap hidup di suatu tempat, dalam ingatan seseorang setelah Tria memutuskan untuk meninggalkan rumah dan ingatan Aminah. Dia ingin Cahya tetap menyimpan semua hal yang tersisa dari Tria. Dia ingin Cahya setia pada Tria.
Aminah kemudian mendaratkan pandangannya pada wajah Cahya dan kali ini mulai benar-benar mengamatinya. Terakhir kali Aminah menatap wajah itu lekat-lekat adalah beberapa hari setelah Tria menghilang. Aminah yakin Cahya tahu di mana Tria berada dan dia mendesak Cahya agar bicara.
Jakarta.
Satu kata itu saja yang ikhlas disedekahkan Cahya untuk Aminah. Kata yang sudah Aminah baca sendiri dari pesan yang ditinggalkan Tria. Setelah itu, Aminah tak pernah mengizinkan dirinya bersinggungan dengan Cahya, sampai hari itu.
“Apakah di rumah Bu Aminah benar-benar sudah tidak ada satu pun foto Tria?”
Aminah hanya menggeleng pelan. Semua hal yang berkaitan dengan Tria sudah dibakar di halaman belakang rumahnya. Waktu itu, pilihan Aminah adalah melakukannya atau bertengkar dengan suaminya. Hanya orang nekad yang mau cari masalah dengan suami Aminah.
Cahya kemudian mengingatkan Aminah tentang tustel yang dulu sering dipakai Tria untuk mengambil foto dirinya sendiri ketika sedang berdandan diam-diam. Apakah mungkin masih ada rol film yang sudah dipakai tapi belum sempat dicetak?
Aminah bilang dia harus mengeceknya terlebih dulu.
4
Cahya menyodorkan teh kotak ke hadapan wajah Aminah yang tertunduk. Bungkus teh kemasan itu berembun karena baru keluar dari lemari pendingin. Aminah melepas masker yang dia kenakan kemudian meminumnya dengan ketergesaan yang sama dengan yang Cahya lihat beberapa hari sebelumnya.
Studio foto tempat mereka menunggu berumur lebih tua dari Cahya dan Tria. Letaknya tepat di seberang gerbang masuk ke taman kota. Ingatan paling awal Cahya tentang tempat itu adalah ketika dia berfoto mengenakan seragam polisi, beberapa waktu setelah luka sunatnya kering. Umurnya baru 5 tahun. Foto itu dipajang di dinding rumah orangtua Cahya sampai dia SMP. Seorang teman meledeknya waktu main ke rumah dan sejak itu Cahya menyembunyikannya dalam lemari, di belakang timbunan alat-alat masak milik ibunya. Amit-amit jadi polisi, katanya.
Di salah satu area dinding studio itu, tempat bingkai-bingkai berisi foto dipajang untuk jadi acuan ukuran cetak, Cahya kembali melihat foto anak dengan seragam polisi. Dia tak betah memandangi foto itu lama-lama karena yang terlintas di kepalanya hanya orang-orang berseragam yang hobi menggerebek dan menggiring orang-orang ke kantor. Orang-orang yang mungkin hanya berusaha bertahan hidup atau mempertahankan hidup sebagai diri mereka sendiri.
Setelah membongkar barang-barang yang disimpan di langit-langit rumah, Aminah berhasil menemukan tustel Kodak warna hitam yang sudah lama tak pernah dilihatnya. Dulu, tustel itu dibeli suaminya ketika mendapatkan promosi menjadi kepala bagian. Namun, hanya setelah beberapa kali saja dipakai, tustel itu akhirnya lama disimpan. Aminah tidak tahu cara menggunakannya, sedangkan suaminya terlalu sibuk dan pemarah untuk repot-repot mengabadikan momen-momen remeh dalam hidup yang tak pernah dia nikmati.
Tria yang kemudian mulai sering menggunakan tustel itu sejak dia masuk SMA. Dengan uang jajan yang tak pernah dia belikan makanan, Tria akan belanja rol film setidaknya 3 bulan sekali dan mencetak hasil jepretannya. Baru ketika Tria kelas tiga SMA, Aminah tahu bahwa Tria bukan hanya memotret pemandangan. Tria terutama memotret dirinya sendiri dengan mengenakan pakaian-pakaian perempuan dan make up. Wajahnya terlihat konyol meski dia tampak girang. Riasannya selalu terlalu menor dengan perpaduan warna yang jarang sekali serasi. Mungkin karena tak ada yang benar-benar mengajarinya.
Setelah ketahuan, tustel itu disita dan disembunyikan. Tria juga dilarang untuk bergaul lagi dengan Cahya, karena di rumahnyalah Tria menyembunyikan make up, baju-baju perempuan, dan foto-foto yang telah dia cetak beserta klisenya. Kecuali beberapa lembar foto berukuran 4R yang Tria bawa ke rumah dan disembunyikan di bawah tumpukan baju. Ketika tak sengaja menemukan foto-foto itu, Aminah membayangkan bahwa setiap kali dipanggil dan tak menyahut, mungkin Tria sedang khusyuk memandangi foto-foto itu. Setiap kali Tria buru-buru ke kamar untuk tidur padahal masih jam delapan malam, mungkin dia sedang tak sabar untuk kembali melihat perempuan yang dia ciptakan.
Ketika tustel itu Aminah temukan kembali, di dalamnya masih terpasang satu rol film. Setelah ditunjukkan pada Cahya, Aminah tahu bahwa beberapa dari film itu sudah dipakai, mungkin foto-foto terakhir yang Tria ambil. Mungkin mereka bisa menemukan foto Tria jika rol film itu dicetak. Masalahnya, mereka tidak tahu apakah rol film itu masih dalam kondisi baik atau sebaliknya.
Mereka tak berani mencopot rol film itu karena takut akan merusak satu-satunya sisa harapan yang mereka punya. Cahya langsung mengajak Aminah membawa tustel itu ke studio foto untuk mencetaknya. Dia mengenal salah satu karyawan di tempat itu meski tidak akrab-akrab amat, tapi cukuplah untuk meminta tolong agar klise yang dia bawa bisa dicuci-cetak langsung tanpa perlu mengantre. Tunggu 30 menit, katanya.
Tidak ada kesulitan untuk mendeteksi laju waktu karena studio foto itu juga menjual jam tangan dan jam dinding berbagai ukuran. Aminah memandangi barisan jam yang dipajang di tembok studio. Puluhan jarum bergerak berjamaah menandai detik demi detik yang berputar, mengingatkan kembali Aminah kepada angka-angka. Jumlah kematian bertambah setiap hari, sedangkan jumlah waktu yang dimilikinya terus menyusut.
Tiga puluh menit berlalu dan kini leher Aminah dan Cahya seolah terkunci ke arah pintu yang tadi dimasuki oleh si petugas cetak foto. Punggung mereka menegak ketika orang yang ditunggu-tunggu akhirnya keluar. Telinga mereka siaga.
“Fotonya sudah dicetak, hasilnya bagus, kok. Ada sepuluh,” kata si petugas cetak foto sambil menyodorkan setumpuk kertas dengan gambar mengilap.
Keduanya, tetapi terutama Aminah, menatap masing-masing lembar dari tumpukan itu lekat-lekat. Setelah melihat siapa yang ada pada foto-foto terakhir Tria, Cahya bangkit dan berdiri untuk menunggu Aminah di trotoar, urusannya sudah selesai. Tak berselang lama, Aminah menyenggol lengan Cahya, memberinya kode untuk segera mengantarnya pulang. Dia harus sampai di rumah sebelum jam dua belas siang, sebelum siaran berita dimulai. Aminah harus kembali memperhatikan angka-angka tanpa nama karena yang dia temukan dalam foto-foto itu hanyalah dirinya sendiri.
Gang Kopi, 2022
Editor: Ghufroni An’ars