The Riddler dan Simpati untuk Sang Villain

Stanza Alquisha

4 min read

Tidak bisa dipungkiri, salah satu daya tarik yang membuat The Batman (2022) besutan Matt Reeves begitu meledak adalah interpretasi tokoh The Riddler yang terbilang segar. Sejak kemunculan pertamanya di Detective Comics (DC) nomor 140 edisi Oktober 1948, The Riddler selalu digambarkan sebagai penjahat yang konyol. Dia jarang dianggap sebagai arch nemesis atau musuh sejati sang manusia kelelawar (karena fans sudah mendudukkan Joker di posisi tersebut), tetapi perannya sebagai sang villain di film The Batman memancing sebuah diskursus yang menarik tentang karakter antagonis “jahat” yang menuai simpati.

Relasi antara pahlawan (heroes) dengan tokoh jahat (villain) selalu digambarkan sebagai sesuatu yang biner dengan perbedaan yang gamblang. Definisi dari villain itu sendiri pasti akan mencakup kata evil, atau “jahat”. Bagaimana tidak, semua teks kitab suci mengajarkan kemutlakan antara perbedaan kebaikan dan kebatilan. Tuhan dan setan. Surga dan neraka. Seolah-olah, tidak ada area abu-abu di antaranya.

Baca juga:

Dr. Strange in The Multiverse of Madness: Mencari Kebahagiaan hingga Semesta Lain

Wanda Vision: Menjadi Penyihir atau Ibu Rumah Tangga

Tidak heran bahwa komik-komik superhero termasuk yang keluaran DC dahulu pun seperti itu adanya. Mungkin baru di awal abad ke-21 ini industri hiburan marak memperkenalkan tokoh “jahat” yang memburamkan batasan antara kebaikan dan kebatilan. Jelas publik sudah bosan dengan tokoh “jahat” yang melakukan kejahatan hanya karena sifatnya memang jahat. Formula seperti itu hanya akan membuat tokoh tersebut mudah terlupakan, atau bahkan, jadi bahan tertawaan.

Tokoh “jahat” harus memiliki dimensi karakter sekompleks sang pahlawan. Contoh yang paling menonjol di antaranya Darth Vader di Star Wars, dan tentu saja Joker-nya Todd Phillips yang memopulerkan kalimat “orang jahat hanyalah orang baik yang terluka”.

Dalam The Batman sendiri, tokoh Riddler dihadirkan dengan konsep yang lebih sesuai dengan keadaan dunia sekarang. Dia bukan lagi seorang penggila teka-teki yang menantang Batman karena menganggapnya sebagai lawan yang layak seperti yang diceritakan di komik DC edisi-edisi awal, atau ilmuwan gendeng yang pada dasarnya hanyalah Ace Ventura ber-spandex hijau di film Batman Forever (1995).

Riddler-nya Matt Reeves adalah perkawinan antara John Doe di film Se7en (1995) dan The Zodiac Killer, pembunuh berantai asli yang menghantui area San Francisco Bay di tahun 1970-an.

Di film ini, sosok Riddler adalah elemen yang dengan sepadannya mengkomplemenkan nuansa neo-noir Gotham ala Reeves tanpa mengorbankan kebaruan. Latar belakang kanonnya yang gila teka-teki tetap dipertahankan dengan apik lewat petunjuk-petunjuk dan kode-kode yang dia tinggalkan di setiap tempat kejadian perkara.

Riddler dikisahkan bernama Edward Nashton, nama aslinya yang muncul dalam komik Batman beralur cerita “Year Zero” yang terbit tahun 2014, dan bukan Edward Nygma, aliasnya yang lebih terkenal. Pilihan atas nama ini diambil Reeves agar tokoh Riddler yang selama ini terlalu teatrikal dan cenderung tidak masuk akal bisa lebih membumi dan nyata.

Edward adalah seorang yatim piatu terbengkalai di bawah yayasan milik Thomas dan Martha Wayne, orangtua Bruce Wayne, Sang Batman.

Ketika bekerja sebagai akuntan forensik, Edward mengungkap kebusukan dan korupsi petinggi-petinggi kota Gotham yang dilindungi oleh kesatuan polisi yang juga korup. Pada saat itu, Batman baru beroperasi selama dua tahun dan masih belum menuai kepercayaan penuh dari masyarakat, terutama polisi, kecuali dari Inspektur James Gordon.

Tanpa Batman sadari, aksinya menumpas kejahatan menginspirasi Riddler untuk mengeksekusi orang-orang yang dia anggap bertanggungjawab atas masa kecilnya yang penuh derita.

Dengan berbekal topeng tarung tentara Amerika Serikat, Edward menjelma menjadi Riddler, sebuah simbol yang jelas bisa lebih kuat dan berpengaruh ketimbang seorang individu biasa. Dia beroperasi lewat situs berbasis forum ala Reddit, membagikan penemuannya tentang kebobrokan Gotham dan rencananya untuk menenggelamkan seluruh penduduk kota yang dia anggap sama busuknya.

Di media tersebut, Riddler memiliki lima ratus orang pengikut. Lima ratus jelas tidak seberapa di era influencer media sosial dengan followers sejumlah populasi satu negara kecil di masa sekarang ini. Namun, lima ratus pengikut dalam kasus ini berarti lima ratus orang yang bersedia melakukan pembunuhan massal demi Riddler.

Massa pemuja kultus kepribadian yang dipupuk Riddler tentu ada bukan tanpa alasan. Mereka bersimpati padanya, sepakat dengan ide-idenya, dan setuju bahwa kejahatan para pejabat Gotham harus ditindak. Di sinilah batas moralitas antara tokoh Batman dan Riddler mulai memburam. Bukankah Riddler dan Batman sama-sama main hakim sendiri?

Bahkan jika ditinjau lebih jauh, Riddler malah berusaha untuk mencerabut kejahatan sistemik yang jelas efeknya akan lebih masif. Namun tentu saja, tokoh “jahat” haruslah jelas jahatnya, tidak peduli seberapa simpatiknya dia atau seberapa masuk akal motif kejahatannya. Maka, dengan dicetuskan gagasan untuk menenggelamkan Gotham tanpa pandang bulu, penonton kembali diingatkan pada oposisi biner konvensional tentang baik versus batil.

Batasan itu bisa masuk ke ranah abu-abu, tetapi pada akhirnya kita wajib harus lebih bersimpati pada sang pahlawan, bukan? Bagaimanapun juga, tokoh protagonis “baik” haruslah lebih unggul dari tokoh antagonis “jahat” dalam film superhero. Bukankah begitu?

Namun keburaman batasan itu sempat dipertanyakan juga oleh protagonis kita. Itulah mengapa sebagai seorang villain, Riddler adalah lawan yang bagus untuk si manusia kelelawar. Pengakuannya di Arkham Asylum membuat Batman sempat ragu: apa bedanya dia dengan Riddler?

Setiap malam, Batman menghajar bandit kelas teri di sana-sini dan memuntahkan kalimat keren “I am vengeance”–”akulah sang pembalas dendam”.

Kepada Alfred, kepala pelayan sekaligus figur ayah bagi Bruce Wayne, dia bilang bahwa itu adalah caranya melindungi peninggalan keluarganya. Namun Batman tahu persis, bahwa Bruce Wayne adalah sosok yang dia ingin gantikan sepenuhnya dengan Batman. Sebuah simbol yang bisa membuat perbedaan.

Bagi Batman, Bruce Wayne adalah anak kecil lemah yang tidak berkutik ketika orangtuanya dibunuh. Batman tidak mungkin selemah itu. Lantas, pemberantasan kejahatan yang dia lakukan adalah untuk membalaskan dendam siapa jika bukan pelampiasan akan kebenciannya terhadap dirinya sendiri?

Karena itulah, ketika Batman menyadari bahwa Riddler melakukan semua ulahnya karena terinspirasi oleh Batman, dia terguncang. Dia benci mengetahui betapa serupanya dia dengan sosok pembunuh berantai yang dia anggap hina karena tidak punya moralitas yang sama dengannya itu.

Di Arkham Asylum, Batman menggedor dengan keras kaca bening yang membatasi dirinya dengan Riddler, seolah ingin membuyarkan refleksi dirinya sendiri yang dia lihat di sana. Giliran Riddler yang terkejut ketika Batman menolak mentah-mentah persamaan mereka berdua, karena bagi Riddler yang (sepertinya) belum mengetahui identitas Batman, persamaan itu sudah sangat jelas dari awal. Barulah ketika rencana puncak Riddler mulai berjalan, dan Gotham mulai dikepung air dari segala sudut, Batman dan sekaligus penonton seolah diingatkan ulang bahwa Riddler tetaplah yang jahat di sini. Titik.

Mereka tidak sama. Gagasan itu juga yang diperkuat di babak terakhir film, ketika Batman “mengorbankan dirinya” demi memandu warga Gotham menembus banjir dan menuju keselamatan.

Tetap saja, mengutip dialog Harvey Dent sebelum menjadi Two-Face di film The Dark Knight, “You either die a hero or live long enough to see yourself become a villain”, topik keabu-abuan antara Batman dan musuh-musuhnya ini akan selalu menjadi tema yang menarik untuk dibahas di film-film selanjutnya. Materi dari komiknya sendiri banyak sekali menyinggung ini, terutama tentang kestabilan mental Batman/Bruce Wayne.

Siapa yang bisa bilang bahwa “kegilaan” Riddler tidak dimiliki Batman, meski dalam bentuk yang berbeda? Mereka sama-sama memilih untuk menjadi sosok bertopeng karena diri mereka bukanlah sosok yang bisa diandalkan untuk mencapai tujuan mereka.

Lantas jika begitu, kepada siapakah kita semestinya bersimpati?

 

 

Editor: Ghufroni An’ars

 

 

Stanza Alquisha

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Dapatkan tulisan-tulisan menarik setiap saat dengan berlangganan melalalui email