Tuhan Menjawab dari Dalam Lemari

Surya Gemilang

5 min read

Tuhan menjawab doaku secara langsung, dari dalam lemari pakaian.

Malam itu aku hanya berdoa seperti biasa: bersila di kasur, dan memejam, dan mencakupkan tangan di depan dada. Pendingin ruangan berdecit dengan ritme konstan, bercampur pekik gergaji mesin dan geram ekskavator yang tak beraturan dari belakang gedung apartemenku. Aku baru saja berkata dalam hati, “ya Tuhan…” dan tiba-tiba terdengar balasan: Aku mendengarmu.

Aku refleks membuka mata. Suara itu berupa bisikan, tapi menggema memenuhi kamarku. Tidak ada siapa pun di sini selain aku; semuanya gelap kecuali lemari pakaian itu: cahaya lampu LED dari papan iklan menerobos jendela dan jatuh ke sana, pantulan diriku di bagian cerminnya tampak berkilau. Menghadap lemari itulah selama ini aku berdoa: bukan atas alasan khusus, melainkan sekadar karena kebiasaan; bagaimanapun baru kali ini pantulan diriku sedemikian berkilau. Aku langsung memejam lagi dan, dengan keringat seperti ujung jemari dingin meraba leher sampai punggungku, kurapalkan doa pengusir iblis.

Dan sesungguhnya tak semua manusia siap menerima kehadiran-Ku, balas-Nya, di tengah rapalan doa pengusir iblis; kubuka mata, kutebar pandangan. Sedang dalam setiap doa mereka Aku datang dalam hal-hal teremeh; sedang Aku senantiasa mendengar doa mereka meski tak senantiasa Aku menjawab.

Aku curiga, suara-Nya berasal dari dalam lemari pakaian itu. Lemari yang tubuhnya berbahan cedar, yang bagian cerminnya dipenuhi jejak-jejak stiker—yang di dalamnya kusimpan celana dalam Dara.

Entah buat apa Tuhan hadir dalam lemari pakaian; satu kemungkinan terbesit dalam pikiran, satu kemungkinan yang memanjang menuju kemungkinan lainnya: Apa karena di sana tersimpan celana dalam Dara? Mungkinkah Tuhan hadir di sana karena telah kuturuti satu perintah terberat-Nya, yaitu membunuh manusia homoseks?

Tidak—aku tak pernah benar-benar membunuh Dara. Secara tidak langsung, barangkali iya.

Aku mengenal Dara di kampus sejak semester pertama, dan ialah alasan kenapa aku sering menghabiskan sejam sendiri di toilet kampus. Pada semester ketiga, aku meminjamkan uang untuknya membayar SPP, dan sejak saat itulah hubungan kami begitu dekat: sepasang sahabat, ia berkata begitu, dan aku ingin lebih dari sekadar sahabat. Maka kuperkosa ia kemarin malam. Kujambak rambut merah sebahunya, tanganku hangat berkat keringat dari ubun-ubunnya; kukulum anting salib pada kuping kirinya, rasanya setengik garam yang busuk. Sejauh itu tubuhnya membeku, ia membisu; ia baru memekik sehabis kulepas celana dalamnya, kuendus dalam-dalam kain merah yang lembap tersebut—bau lavender dan koin berkarat menyatu. Sekitar lima menit kemudian, setelah ia mengenakan kembali pakaiannya—kecuali celana dalam yang masih sibuk kukulum, serasa mengisap daging ayam mentah penuh darah—seperti orang gila ia kabur dari apartemenku, menyeberangi jalan, dan tersambar Mercedes merah. Dengan cepat darahnya menggenang di aspal.

“Ya Tuhan, apa kau datang kemari untuk menghukumku? Atau memujiku?”

Bilamana kebaikan belum utuh engkau tunaikan, sesungguhnya belumlah kau layak mendapat puji-Ku. Bilamana kebaikan tak kunjung utuh engkau tunaikan, sesungguhnyalah keragu-raguanmu pada-Ku sedang menyala. Dan, sungguh, hukuman terberat adalah untuk mereka yang ragu-ragu pada tugas dari-Ku.

Apa Ia menganggapku ragu-ragu padanya? Aku tidak ragu sedikit pun pada-Nya—kuyakin begitu—tapi tampaknya tugasku belum selesai di sini. Apa tugasku? Dara sudah mati. Apa aku perlu mengakui perbuatanku?

Sejauh ini tak ada polisi atau siapa pun yang bertanya padaku perihal kematian Dara. Polisi yang menyelidiki kasus ini hanya bertanya pada si Penjaga Apartemen, dan pria itu tak tahu bahwa Dara adalah tamuku. Atau mungkin ia tak peduli? Harusnya ia bisa melihat rekaman CCTV, atau harusnya polisi menyuruhnya memperlihatkan rekaman tersebut: Dara datang sendiri ke sini pada tengah malam; langkahnya mesti tergesa, sebab lewat telepon kukatakan aku hendak bunuh diri.

Atau, mungkin Tuhan bermaksud lain? Mungkin Tuhan sengaja membuatku lolos dari penyelidikan, sehingga tugas suci ini lancar kujalankan. Dan jika memang begitu yang Ia rencanakan, maka aku tak harus mengakui perbuatanku, dan aku harus menumpas tak hanya Dara.

***

Di kampus, aku hanya bersahabat dengan Dara, namun ia tak hanya bersahabat denganku. Sahabat lainnyalah yang hendak Dara ajak menikah—secara langsung ia mengakui hal itu padaku. Namanya Eva, dan mereka bersahabat sejak kecil. Perempuan itu sering melihat tubuh telanjang Dara di kamar mandi, berhubung dari dulu mereka sering mandi bersama—sedang aku tak pernah mendapat kesempatan itu, dan sekalinya kesempatan tersebut datang, tak lama kemudian Dara dihajar Mercedes merah.

Bagaimanapun, aku tak dekat dengan Eva. Kami hanya saling mengenal, dikenalkan oleh Dara tentunya, dan kami hampir tak pernah bepergian bertiga. Hanya ada aku dan Dara, atau Dara dan Eva—dan lebih sering yang kedua. Aku kerap membayangkan, saban Dara menginap di rumah Eva, perempuan itu akan bercerita tentang aku, lelaki murah hati yang meminjamkan uang SPP padanya, dan membuatnya diam-diam jatuh cinta. Eva tak pernah meminjamkan uang, begitu kata Dara padaku. Aku senang luar biasa: minimal ada satu hal yang membuatku lebih unggul ketimbang Eva.

Satu? Tidak, mestinya dua: karena aku lelaki, dan sahabat sebenarnya seorang perempuan adalah seorang suami.

Namun Dara dan Eva tak mengikuti kehendak Tuhan. Di hari ulang tahun Dara, ia mengundangku dan Eva ke apartemennya. Kami bertiga duduk di karpet beludru merah, beludru yang menggelitik sela-sela jemari tanganku; kami melingkari kue ulang tahun penuh krim stroberi, krim yang menyebar aroma gula; kemudian kami menyanyi bersama dan memotong kue dan menempelkan sepotong LSD ke lidah masing-masing—dalam halusinasiku, seluruh warna berubah menjadi negatif. Ketika tersadar, aku tergeletak di lantai yang dingin, belakang kepalaku tersandar di kaki sofa dan berdenyut-denyut, dan tak jauh dariku: Dara dan Eva bercinta di karpet beludru.

Tuhan tak suka manusia homoseks, dan tubuhku terlalu lemas untuk mengambil tindakan tegas.

Harusnya tak perlu ada sepotong LSD di lidahku, atau aku pasti dapat membantu-Nya memisahkan kedua manusia tak beriman tersebut. Sekarang, aku yakin, Tuhan menuntutku membayar utang.

***

Eva sudah mendengar kabar kematian Dara—begitulah yang ia katakan di seberang telepon. Namun ia tak tahu bahwa apartemen dari mana Dara berlari seperti orang gila adalah apartemenku, dan aku langsung memberitahunya.

“Kami di bawah pengaruh LSD,” kataku. “Aku tak dapat mencegahnya. Omong-omong, ia mengucapkan sesuatu yang penting padaku. Kau harus mendengarnya.”

Malam itu juga Eva datang ke apartemenku. Ia melepas jaket kulit hitamnya, meletakkannya di punggung kursi dekat jendela yang terbuka—geraman alat-alat berat masuk lewat sana, dan kupingku berdenging. Di kursi itulah Eva duduk, aroma parfum pria menjulur dari tubuhnya, menjulur sejauh empat petak lantai menuju aku, yang duduk di tepi kasur, menyulut rokok bersamaan dengannya; asbak kuletakkan di lantai di antara kami. Di balik jaket hitamnya Eva memakai tanktop berwarna serupa; di atas payudara kirinya terdapat tato berupa tulisan: Dara. Aku menatap lemari pakaianku, dan dalam hati berkata, “Ya Tuhan, akan kutunaikan tugasku seutuhnya.” Kubayangkan Tuhan tersenyum padaku, meski tak sekali pun wajah-Nya muncul dalam kepalaku.

“Apa yang Dara katakan padamu?” tanya Eva, lalu mengembuskan asap lewat hidungnya; aroma mentolnya mendinginkan lubang hidungku.

Aku ingin sekali sedikit bermain-main dengannya. Sebagai jawaban, aku ingin mendadak berlagak misterius dan membuka lemari dan menunjukkannya celana dalam Dara. Aku ingin melihat ekspresi terkejut Eva. Aku ingin melihat bagaimana rautnya jika jeritan tertahan di kerongkongannya. Pasti menyenangkan. Namun sejak semalam aku tak membuka pintu lemari: Tuhan masih di sana dan ia belum tentu suka kuganggu. Maka sedari pagi tadi aku terus mengenakan pakaian ini, dan mengambil celana dalam Dara dari sana mungkin dapat mengganggu-Nya.

Demi Tuhan, aku tak bisa bermain-main! Bagaimana bisa aku berpikir untuk bermain-main, sementara yang kujalankan kini adalah tugas suci?

“Aku mau minum sebentar,” balasku.

Aku melangkah ke dapur, dengan tungkai gemetar. Rasanya sesulit melangkah dengan egrang yang retak, dan Eva pasti memerhatikanku dari belakang dengan curiga. Aku ingin menoleh ke arahnya, memastikan bagaimana tatapannya; aku tak berani; aku mempercepat langkah menuju dapur—apartemen kecilku sontak memanjang-melebar. Dan begitu melewati birai dapur, napas legaku berembus: dari sini Eva tak bisa melihatku. Kutekan sakelar, yang entah sejak kapan dingin dan membekukan ujung telunjukku. Di rak piring: mata pisau berkilau memantulkan cahaya lampu.

“Eva … boleh tolong tutupkan jendela?” kataku.

Ia tak menjawab. Tapi kudengar jendela ditutup.

Geraman alat-alat berat mereda. Tapi tidak denging dalam kepalaku ….

***

“Sekarang, apa yang mesti kulakukan, ya Tuhan?”

Tuhan hanya diam. Aku mengulangi pertanyaanku, dan Tuhan masih diam. Tapi aku tetap tenang: aku masih merasakan betul Tuhan ada di dalam lemari. Dan setelah kupikirkan lebih detail, itulah jawaban Tuhan: diamnya Ia, disertai menghilangnya suara dari sekelilingku. Ia memberiku kesempatan untuk berpikir keras dan mandiri, tentang apa yang harus kulakukan selanjutnya. Mungkinkah aku perlu meletakkan celana dalam Eva di dalam lemari sebagai semacam sesajen, sebagaimana celana dalam Dara?

Ujung jari-jari kakiku menghangat. Aliran darah Eva menyentuhnya. Tergeletak di lantai, puntung rokoknya benar-benar merah sebab menyerap darah. Genangan itu melebar cepat: darahnya mengucur deras dari wajah dan perut dan, terutama, dada kirinya. Pisauku masih menancap di sana, di atas payudara kirinya, secara horizontal membelah tato bertuliskan Dara.

Aku pergi ke dapur, menuangkan obat pel ke ember, dan mengaduk-aduknya dengan pel seraya berpikir: Hadiah apa yang akan Tuhan berikan padaku?

Ketika aku kembali ke kamar, tampak pintu lemari sudah terbuka, mayat Eva melayang seringan kain ke dalam lemari, dan pintu lemari tertutup.

Terima kasih, kata Tuhan-ku.

***

Sembari mengepel darah Eva, aku membayangkan kemungkinan-kemungkinan hadiah yang akan Tuhan berikan padaku. Di kitab Tuhan berkata bahwa manusia tak boleh mengharapkan imbalan apa pun, tetapi aku tak sanggup menahan diri untuk tak mengharapkan imbalan apa pun.

“Jika kau tak keberatan, ya Tuhan,” kataku, setengah bercanda, “bolehkah aku mendapat cinta sebagai imbalan?”

Tuhan tak berkata-kata.

“Jika aku terdengar memaksa,” sambungku cepat, “kau boleh mengabaikan permintaanku barusan. Aku tidak keberatan, ya Tuhan.”

Tuhan tak berkata-kata. Maka aku lanjut fokus mengepel darah Eva. Sekitar dua jam kemudian, setelah tak tampak bekas darah sama sekali, setelah kubersihkan pelku di kamar mandi, di samping bantal ponselku berdering. Ada panggilan masuk dari Adam—mantan pacarku.

Aku memicing ke lemari pakaian….

***

 

Editor: Ghufroni An’ars

Surya Gemilang

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Dapatkan tulisan-tulisan menarik setiap saat dengan berlangganan melalalui email