Seorang penulis lepas, penikmat karya sastra dan film pendek. Tulisannya berfokus pada isu kemanusiaan, kesetaraan gender, dan lingkungan.

Debar

Eka Nawa Dwi Sapta

4 min read

Hujan di bawah lampu jalan bagaikan peluru yang menembaki tanah tanpa ampun. Gemuruh langit masih belum selesai. Pertunjukan cahaya seperti opera raksasa dimainkan di atas panggung angkasa. Dan mendung gelap adalah tirai-tirainya. Kau duduk di depan jendela. Melihat rintik yang satu-satu seolah memenuhi kepalamu.

Irma sudah pergi dua jam yang lalu. Ketika kau mencium keningnya, kau sempat menoleh ke arah jarum pendek jam yang terpajang di dinding itu: sedang menghunjam angka empat kuat-kuat. Sekarang sudah pukul enam tiga puluh. Kau belum sedetik pun beranjak dari kursimu; kau memang suka memandangi hujan dari jendela kamarmu. Akan tetapi, kau sebenarnya tak terlalu suka bila menyaksikannya dalam suasana hatimu yang sekarang.

Kau berusaha tak memikirkan apa-apa sejak tadi. Tapi sebetulnya ada jutaan kemungkinan yang kau simulasikan dalam kepala. Jika kemungkinan adalah buku, tentu kau telah memiliki perpustakaan paling besar di kepalamu. Dalam pembacaan yang sibuk itu, setiap kata dan tanda baca berubah menjelma suara, sementara kau mencoba menulikan diri. Matamu lebih asyik menyorot bintik-bintik air yang menempel di kaca jendela. Euforbia di pot bergejolak seperti nyala api. Daunnya yang mungil meneteskan air segar. Membuatmu seketika merasa haus. Kau kehausan di kamar gelap. Tapi kau lebih suka menahannya daripada menekan sakelar lampu dan berjalan ke dapur. Ketakutan di dadamu, tak pernah bisa kaupahami.

Jika Irma di sini, ia pasti sudah menyalakan lampu dan membawakan air minum, lalu ia akan mungkin akan mengajakmu memesan makanan. Kemudian kau akan menggeleng cepat-cepat, sebelum akhirnya menjatuhkan lagi dagumu ke lutut. Memeluk kakimu yang lemah lesu. Sayangnya, perempuan itu telah berpamitan untuk pergi selama seminggu. Ia menyeret koper hitam besarnya ke dalam mulut bagasi, mengabaikan permintaanmu untuk tak pergi ke mana-mana. Kau sejujurnya tak mengizinkannya meninggalkanmu di kota yang segalanya terasa asing ini, bahkan untuk sehari.

“Aku tidak bisa terus-terusan mengalah buatmu. Acara ini penting. Maksudku, kamu juga penting, tapi terkadang segalanya tak bisa dibanding-bandingkan. Bisakah seminggu saja kamu mencoba mandiri?” ucap Irma di hadapanmu seolah gerah dengan banyaknya permintaanmu. Ia bersikeras. Namun, sekilas raut wajahnya malah menunjukkan rasa bersalah. Selama ini, Irma belum pernah bicara dengan nada sekeras itu padamu. Ia tahu betul bagaimana kerentananmu. Barangkali di matanya, kau bagaikan kendi pecah yang kepingannya terlalu tabur untuk direkat kembali.

Ia menggenggam tangan kananmu dan mengelusnya beberapa kali. Kemudian ia berkata lagi dengan nada melunak daripada sebelumnya. “Percayalah,” katanya. “Semua yang aku lakukan hari ini demi kita. Demi masa depan kita. Aku mencintaimu.”

Bibirmu serasa dilem. Lengket tidak dapat dibuka. Lidahmu kelu seakan ditarik dari dalam. Kemudian leher yang penakut itu pada akhirnya membekuk setuju. Sungguhpun dalam dadamu berdentam-dentam bak genderang, ketakutan. Irma tetap saja benar, kaulah yang salah. Kau sadar bahwa sudah terlalu sering mengacaukan pekerjaan perempuan itu. Gara-gara kau, ia mesti berpindah-pindah perusahaan, berpindah-pindah kota, sedangkan kau hanya berdiri diam di tepi jurang antara hidup dan mati. Kau berjuang melawan suara-suara yang meruntuhkan kekuatan hidupmu, sementara ia berjuang sendirian terseok-seok menyelamatkan nasibnya dan nasibmu. Tak pernah ia mau membiarkan kau mati menyedihkan. Kini, saat ia mendapat pekerjaan dengan gaji yang layak, atasan yang pengertian, kau lagi-lagi mencoba ingin mengacaukannya.

Maka, sore itu, kau membenamkan tubuhnya dalam pelukanmu. Atau kaulah yang terbenam dalam pelukannya. Kau berpura-pura tegar. Kau mencium wangi rambutnya, keningnya, dan berjanji akan bertahan selama seminggu menunggu ia kembali.

“Aku bisa menjaga diriku. Kamu tidak usah khawatir,” ucapnya. “Yang penting kamu di sini bisa menjaga dirimu sendiri.”

“Aku berdoa semoga kamu selalu dilindungi,” katamu dengan suara bergetar dan parau. Sesungguhnya keyakinan itu nyaris tak dapat dipercaya. Bayangan-bayangan itu berputar-putar di kepalamu tak teratur. Menghantui dan menyulut cemas tanpa ampun. Kilasan tentang mobil yang melaju lambat di jalanan gelap. Irma menyetir sendirian. Kemudian dari belakang sebuah mobil ugal-ugalan melesat dan menghantam bumper miliknya sampai remuk.

Namun, fantasi demikian itu bukanlah kali pertama terjadi. Dua puluh lima tahun yang lalu, pada suatu pagi kau pernah menangis tersedu-sedu di dalam kelas dan memaksa pulang hanya karena kau merasa takut jika orangtuamu mengalami hal buruk. Sebelum hari itu, kau menonton berita di televisi tentang satu keluarga tewas terpanggang di dalam rumah mereka sendiri lantaran terjadi korsleting listrik. Kau juga pernah rela membuang-buang uang beasiswa kuliahmu demi membeli tiket pesawat menyeberang pulau. Sebab malam itu kau bermimpi rumahmu hanyut terbawa banjir besar, padahal sejak kau lahir, belum pernah sungai di belakang rumahmu itu meluap melebihi tebing, bahkan mencapai pekaranganmu.

Tak terhitung jumlahnya fantasi-fantasi liar yang menguasai dan mengacaukan hidupmu. Saat manusia di luar sana berhasil membebaskan diri dari ketakutan-ketakutan yang tidak perlu, kau yang malang berenang-renang di tengah aliran bengawan pikiran yang tak tenang. Tidak peduli berapa banyak obat yang kau telan, berapa kali meditasi kau lakukan, semua kembali seperti semula, dan malah menambah daftar kecanduan baru, setelah kecanduan minum-minum berhasil kau tinggalkan.

Malam ini kau tak ingin memejamkan matamu walau semenit. Suara kucing kawin terdengar nyaring entah di mana. Mungkin di atap rumah tetangga. Mungkin di dapur. Kau sendiri masih nyaman duduk di kursi, menatap laron-laron yang hinggap leluasa di lampu jalan. Mereka berpesta dan berkejaran mencari pasangan setelah hujan sore berakhir. Jika tidak beruntung menemukan kekasih, serangga itu akan mati di parit-parit di bawah lampu jalan itu. Atau mungkin dipatuk oleh ayam-ayam kelaparan. Setiap detik bagi mereka adalah perjuangan melawan kematian. Mungkin juga bagi dirimu sendiri.

Kini sudah enam jam berlalu, Irma belum juga mengabarimu. Janjinya, segera setiba di Kota X ia akan langsung meneleponmu, atau jika lelah ia paling tidak akan mengirimkan pesan singkat. Tetapi, saat kau mencoba menghubunginya, berkali-kali panggilan itu tak disahuti, malah disambut suara operator kaku yang berbohong bahwa nomor yang kau tuju sedang tidak aktif. Begitu pula pesan-pesan yang kau kirimkan padanya, yang tak beranjak dari centang satu.

Apa artiku di dunia ini tanpa dia, kau membatin seraya menggigit bibir. Khawatir. Bibirmu yang semula pucat jadi merah karena berdarah akibat jepitan gigi yang teramat kuat. Darah itu juga memerahi dan mengasini ludahmu, tapi kau tak mau tahu. Betapa pikiran itu makin jauh menarik paksa tubuhmu, memaksamu agar tenggelam ke dalam lembah keputusasaan.

Namun, beberapa jam kemudian, ponselmu menyala. Di layar tertulis panggilan dari nomor tak dikenal; bukan dari Irma. Meski hatimu ragu-ragu, kau tetap mengangkatnya. Terdengar suara laki-laki yang memanggil namamu, tapi lekas-lekas kau mematikan panggilan misterius itu. Entah bagaimana orang asing itu bisa menemukan nomormu. Nomor rahasia yang cuma kau dan Irma yang tahu. Kabut di kepalamu tiba-tiba memekat. Bagaimana kalau orang tadi hendak mengabariku tentang Irma? Bagaimana kalau terjadi hal buruk padanya? Tidak seharusnya aku bertingkah seperti tadi, kau merutuk dalam hati.

Dengan gugup, kau coba panggil kembali nomor itu. Pertama-tama tak dijawab. Baru ketiga kali suara lelaki itu menyahut. Ia mengucapkan halo. Untuk pertama kalinya kau menelepon orang asing dan berkata, “Maaf. Ini aku,” kau menyebutkan namamu. “Ada apa?”

Obrolan itu terjadi kurang dari lima menit. Tepatnya bukan obrolan, melainkan monolog. Sebab sepanjang panggilan itu kau cuma hening mendengarkan lelaki itu bicara sendiri. Klik. Belum selesai ia bicara, jarimu langsung menekan tombol akhiri. Kemudian kau terduduk lemas sekitar sepuluh menit, lalu bangkit mengambil wadah obat di laci di samping dipan, dan menelannya tanpa minum air. Semoga pikiranku membaik, pikirmu tidak yakin. Kau percaya Irma barangkali masih di perjalanan. Kota X memang lumayan jauh. Apalagi wanita itu tak biasa ngebut. Esok pagi ia pasti mengabariku, kau terus-terusan meyakinkan diri, meski tak mengubah keadaan.

Malam ini kau memejamkan mata. Mata yang sudah lelah karena menatap hujan enam jam tanpa jeda. Besar harapanmu panggilan itu datang lebih awal besok pagi. Tetapi belum sejam lelap, kau sudah terbangun lagi. Kau terjaga karena mimpi buruk. Dalam mimpi burukmu, seseorang mengetuk pintu rumahmu. Lelaki yang bicara denganmu tadi di telepon berdiri di depan pintu dengan wajah merah dan sorot mata yang berkobar-kobar. Ia memakimu dan berkata bahwa ia sangat menyesal membiarkan putrinya hidup menderita denganmu selama ini. Ia menyesal putrinya sampai akhir hayatnya tak bahagia sejak menikah denganmu.

***

Editor: Ghufroni An’ars

Eka Nawa Dwi Sapta
Eka Nawa Dwi Sapta Seorang penulis lepas, penikmat karya sastra dan film pendek. Tulisannya berfokus pada isu kemanusiaan, kesetaraan gender, dan lingkungan.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Dapatkan tulisan-tulisan menarik setiap saat dengan berlangganan melalalui email