Mencintai buku-buku melalui jatuh cinta

Dua Wajah Perempuan

Mohammad Ghofir Nirwana

4 min read

Padahal baru kemarin rasanya kau dilahirkan, tapi sekarang kau sudah bisa merajuk dan memuramkan wajahmu. Sungguh, aku tak pernah ada niatan sedikit pun untuk mengecewakan hati mungilmu, tapi mungkin inilah jalan yang terbaik untuk kita. Kau mungkin masih marah padaku, rasa bersalah ini menjadi serangga di kepalaku. Semenjak kejadian itu kau tak lagi mau menyapaku. Aku tak pernah menyangka, dengan usiamu yang terbilang masih anak-anak, bisa bersikap seperti itu.

Kau mungkin sedikit pun tak akan mengerti tentang apa yang terjadi saat ini. Tetapi, asalkan kau tahu, Bidadariku, bahwa kejadian yang menimpaku lebih pedih rasanya ketika kau memilih untuk merajuk dan tidak menyapaku. Ah, aku jadi teringat bagaimana dulu kau dilahirkan tanpa didampingi seorang ayah, saat kau baru pertama kali melihat dunia. Ketika nenekmu menggendongmu dan menunjukkan tubuh mungilmu kepadaku, aku melihat sepasang sayap indah di pundakmu, wajahmu bercahaya begitu eloknya. Kuakui kau mirip denganku. Kau menangis saat itu. Aku tersenyum.

Sekali lagi, aku tak pernah ada niatan sedikit pun untuk menyakitimu, sayangku. Namun aku merasa betapa bodohnya aku saat itu, meninggalkanmu pergi jauh tanpa adanya dekapan seorang ibu. Tapi itu semua kulakukan tak lain karena bentuk cintaku padamu. Ayahmu tak memberikan kita nafkah, yang pulang pergi entah ke mana hanya meletakkan harapan palsu. Sungguh, yang kupikirkan saat itu hanya bagaimana caranya kau hidup layak sebagaimana anak-anak lain yang baru dilahirkan. Maka saat itu aku harus terpaksa meninggalkanmu untuk sekadar membelikan sandang dan panganmu.

Kutitipkan kau saat itu pada Nenekmu, karena aku yakin dia bisa merwatmu. Dia juga yang merawat Bundamu ini dulu, Nak. Memang dia tidak sepintar Bunda-Bunda yang dimiliki oleh teman-temanmu yang ada di sekolah. Tapi aku sangat yakin dia bisa mengajarimu mandiri. Dia sangat telaten dalam mendidik anaknya ini.

Aku yakin kau merasa sangat dibedakan karena tidak dibesarkan oleh sepasang ayah dan bunda. Kau pasti sangat ingin hidup seperti mereka yang bergembira bersama kedua orang tuanya. Aku mengerti itu, sayangku. Aku mengerti kau pasti ingin diantar-jemput saat berangkat dan pulang sekolah oleh orang tuamu, aku mengerti juga kau pasti ingin bertamsya ke taman ataupun keliling kota ditemani dengan orang tuamu. Mirip seperti yang dimiliki oleh kawan-kawanmu. Tetapi bagaimanapun juga, kita harus bahagia, meski dengan cara yang berbeda.

Aku yakin suatu saat kau pasti akan mengerti bagaimana keadan kita saat ini, dan kau akan paham bagaimana rasanya menjadi seorang ibu.

***

Bunda duduk di sampingku sambil menjahit seragam sekolahku yang bolong, “Kamu sudah makan, nak?”

Aku diam karena masih sebel dengan bunda yang memilih untuk pisah rumah dengan ayahku, semenjak itu aku jarang berbicara dengannya. Aku sudah pernah ditinggal pergi oleh bunda. Kata nenekku,  saat itu bunda pergi ke Arab Saudi semenjak aku umur lima bulan. Katanya menjadi tee… tee kaa ii kalau nggak salah, entahlah apa itu, jelasnya aku nggak senang ditinggal pergi. Dan ayahku, dia juga sering pulang pergi, aku tidak tahu ke mana, nenek tak memberi tahuku tentang itu, kalau kutanya sendiri bila ayah datang ke rumah, jawabnya cuma, “Ada pekerjaan”. Jadi aku tinggal dan dibesarkan di rumah nenek. Dan sekarang aku sudah tumbuh besar, sudah kelas lima SD. Mereka pun sudah kembali, tapi kenapa mereka malah mutusin buat pisah rumah? Aku kan sangat ingin seperti kawan-kawanku di sekolah yang pulang-pergi bersama ayahnya. Atau pergi ke taman wisata bersama keluarganya.

“Raya, kalau ditanya sama bunda dijawab. Kamu kenapa, masih marah sama bunda?”

“Pikir sendiri!”

Bunda menaruh seragam sekolahku yang tadi dijahitnya, lalu menatapku sambil tersenyum. Lama sekali, bunda pikir dengan tatapan seperti itu aku akan tersipu dan memaafkan lalu memeluknya. Aku marah beneran, bunda, aku bukan anak kecil lagi yang bisa tersipu bila ditatap seperti itu. Kalau bunda mengerti perasaanku, bunda pasti tidak akan memilih untuk pisah rumah dengan ayah.

Asalkan bunda tahu, ya, ayah itu adalah orang yang baik, saat pulang ke rumah, dulu ayah sering membawakanku oleh-oleh boneka, aku suka boneka, apalagi boneka pikachu. Tapi begitu, ayah seringkali tidak ada di rumah. Kenapa sih ayah sibuk sekali bekerja. Padahal kan aku juga butuh teman.

Kalau saja ayah sama bunda ada di sini sejak aku baru masuk sekolah, aku tidak akan diolok-olok sama teman-temanku, bunda. Aku sering dipanggil anak haram sama teman-temanku karena dibilang tidak punya orang tua. Padahal kan aku punya bunda. Punya ayah. Tapi gara-gara kalian pergi aku jadi dipanggil begitu sama teman-temanku. Makanya, aku pengen sekali ayah sama bunda itu kumpul bersama, seperti yang ada pada keluarga-keluarga lainnya.

“Bunda kenapa sih, kok mutusin buat pisah rumah sama ayah?”

Aku mencoba memerengutkan wajah.

“Tidak apa-apa, Raya. Ini semua demi kebaikan kita.”

“Tidak bisa begitu dong, bunda. Aku ingin seperti keluarga teman-temanku yang ada di sekolah. Aku malu kalau harus diejek-ejek terus oleh teman-temanku. Pokoknya aku mau besok kita pergi ke rumah ayah.”

Wajah bunda bergeming dengan senyumnya, ada bulir-bulir air di matanya. Aku sebenarnya sayang sama bunda, tidak tega marah kepada bunda, nenek mengajarkanku kalau sama orang tua harus sopan. Tapi bagaimana lagi, aku sangat ingin seperti teman-temanku. Memiliki orang tua yang lengkap. Agar tidak diolok-olok lagi oleh mereka.

“Ya sudah, besok kita pergi ke rumah ayah untuk menemuinya”

Bunda tersenyum sambil mengusap kepalaku.

***

Bagaimana pun caranya, aku selalu belajar menjadi ibu yang baik untukmu, sayangku. Aku selalu belajar untuk itu. Aku selalu berusaha mendahulukan kebahagiaanmu. Aku akan melakukan apa pun untukmu. Aku tidak peduli apa yang akan terjadi pada esok hari. Aku mencoba menghapus bayang-bayang penderitaan itu. Untukmu.

Sebagaimana yang kuucapkan tadi, aku akan mengantarmu besok ke rumah ayahmu untuk menemuinya. Aku tak pernah tahu apa yang akan terjadi, tapi yang kubutuhkan saat ini hanyalah senyumanmu, kebahagiaanmu. Karena bila kau tersenyum, terasa tentram hatiku, sayang. Aku akan membawamu besok pagi.

“Tapi kamu harus berjanji. Harus lebih giat lagi belajarnya.”

Aku tersenyum.

“Iya, aku berjanji.”

Engkau tersenyum. Itu yang kumaksud, sayangku. Ketentraman hati ini bila siluet senyum itu timbul di wajahmu. Segala derita terasa sirna. Semua bayang-bayang kelam musnah entah ke mana. Hanya senyummu itu yang kurasakan kini.

***

Aku sangat senang sekali hari ini, karena bunda akan membawaku ke rumah ayah. Dan kita akan hidup bersama, seperti keluarga teman-temanku yang ada di sekolah. Dan pastinya aku akan bercerita nanti ke mereka, bahwa aku memiliki keluarga. Dan mereka tidak akan mengolok-ngolok lagi kepadaku. Pokoknya aku senang sekali.

***

Sekarang aku sudah sampai di rumah ayah bersama bundaku. Bunda mengetok pintu rumah ayah agak lama. Tapi kemudian yang keluar kok perempuan. Bunda tersenyum kepada perempuan itu, tapi perempuan itu malah menatap bunda dengan sinis. Ih, perempuan itu kok jahat sih. Aku kan kasian sama bunda. Lalu bunda menanyakan kepada perempuan itu, apakah ayah ada di rumah. Perempuan jahat itu berteriak-teriak memanggil nama ayah. Kemudian ayah keluar. Aku tersenyum kepada ayah. Ayah tidak.

“Ada urusan apa lagi kau ke sini ?”

“Aku ingin rujuk, Mas. Bukan apa. Tapi ini demi anak kita. Demi kebahagiaannya”

“Aku tak ada waktu untukmu. Lebih baik kau pulang sekarang.”

Bunda beringsut. Menjatuhkan badannya. Bersujud di depan ayah sambil memohon-mohon kepadanya. Tapi ayah malah marah-marah kepada bunda.

“Aku mohon, mas. Ini demi anak kita. Aku tak ingin dia bersedih”

“Aku bilang kau pulang sekarang. Jika kau memang ingin kembali kepadaku, kau harus mencium kaki istri baruku dulu.”

Aku menangis kencang. Aku tidak menyangka ayah sejahat itu. Aku ketakutan. Aku menyeret tangan bunda sambil meminta pulang. Aku kasian banget sama bunda. Sampai di rumah aku tetap menangis tak henti-henti. Bunda hanya terus mengusap kepalaku. Kenapa bunda tidak bercerita kepadaku. Kalau begitu aku kan tidak akan meminta bunda untuk menemui ayah.

“Aku berjanji tidak akan meminta untuk menemui ayah lagi, Bunda. Aku sayang bunda”

Bunda tersenyum. Kemudian memelukku. Hangat.

(Malang, 2025)

*****

Editor: Moch Aldy MA

Mohammad Ghofir Nirwana
Mohammad Ghofir Nirwana Mencintai buku-buku melalui jatuh cinta

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Dapatkan tulisan-tulisan menarik setiap saat dengan berlangganan melalalui email