Dikutip dari surat kabar Laju Nusantara, pihak kepolisian angkat bicara terkait kecelakaan lalu lintas yang memakan dua korban.
Berdasarkan hasil olah TKP, Kombes (sensor) mengungkapkan pihaknya menemukan sebuah pistol dan kotak bermuatan buku catatan kecil yang masing-masing diduga milik korban berinisial KM.
Pekan berikutnya, buku berisi 75 halaman tersebut dibacakan dengan saksama dalam sebuah sidang pengadilan yang dihadiri oleh setidaknya selusin orang. Bangku-bangku kosong memantulkan suara yang khidmat.
***
Tahun 1972
Apa kamu tahu? Ini adalah masa ajaib. Semuanya perlu dibangun untuk kesejahteraan negara dan masyarakatnya. Negara membutuhkan jalan pintas untuk melihat keseluruhan pulau yang tersebar begitu jauh jaraknya.
Ibu pemilik negara ingin menengok negerinya yang kaya dan bahari hanya beberapa kilometer dari rumahnya. Berkeliling dari satu daerah ke daerah lain sudah kuno dan merepotkan! Negeri ini kelewat molek, jadi sangat disesalkan bila rakyatnya tak mampu untuk mengunjungi tiap wilayahnya.
Apa jadinya bila setengah abad ke depan kota-kota menjadi kian estetik dan artistik? Rumah-rumah mulai diperelok dengan diratakan terlebih dulu. Seperti membuat kue saja, rata kemudian tata.
Rumah-rumah reyot itu tampak akan roboh dan akhirnya saling menindih satu sama lain. Aku tak tega melihatnya. Ingin rasanya membangun sebentuk rumah bersama yang kelak akan ditinggali anak-cucu.
Aku—Karto Masyhurdinata—ingin memperkenalkan penampakan negeri ini dari dekat. Namun, tentu ada harga yang harus dibayar.
Siang itu sangat panas. Debu terus mengusik mukaku yang kian keruh semenjak dini hari tadi. Kerumunan manusia berkumpul dan memekik dengan cacian. Aku tak tinggal diam dan balas memaki bangsat-bangsat ini. Betapa naifnya menepis suatu realita yang berangsur-angsur terjadi: Pembangunan!
Hanya orang-orang bebal yang menyerukan keadilan dan pembebasan di era ini. Apa mereka itu sejenis komunis yang bisanya cuma menghambat pembangunan?
Tak lama berselang, dari balik kerumunan itu, seseorang bertubuh kurus dan berkulit cokelat menerobos ke depan. Ia menunjuk dengan jari telunjuknya tepat di depan wajahku, sialan! Syukurlah, seorang aparat memukulnya dengan gagang senapan hingga kupingnya mengeluarkan darah segar.
Aku ingat, orang itu tersungkur lemas dan telinganya menjadi cacat. Sambil merintih kesakitan, ia dibopong dan kemudian diamankan. Kerusuhan tak terkendali dan menjadi-jadi. Gabungan mahasiswa dan warga mengamuk.
Kini, tanah yang merah itu telah rapi, ditanami tumbuhan untuk menjaga figurnya yang semakin manis tiap waktunya. Aku berhasil membangun sebuah taman. Ya, taman raksasa yang akhirnya bisa disambangi setiap saat.
***
Karto terbangun dari tidurnya. Ia merasa tubuhnya sudah menua dengan terburu-buru. Ia menoleh ke kiri, tempat di mana istrinya biasa tidur. Akhir-akhir ini, amarahnya tak terbendung, semacam mengidap stres. Ia mengumpat untuk yang kesekian kalinya.
Sudah beberapa hari ia tak berbicara dengan Kartika, teman hidupnya itu. Jika dilirik, semakin peyot saja. Kulitnya sudah memudar dan tak sehalus dulu, saat ia pertama kali menidurinya. Kalau diceraikan, mertuanya bakal ngamuk dan hartanya bisa ludes. Pokoknya ruwet.
Usai berpakaian, orang tua itu menuju mobil. Ia beserta sopirnya memacu sedan hitam dengan laju. Tibalah mereka di sebuah apartemen. Seorang wanita yang dibalut gaun merah dengan tinggi semampai keluar dari balik pintu utama seraya masuk ke mobil. Karto merangkulnya dan memerintahkan sopir untuk melaju ke sebuah penginapan di tengah kota.
Sesampainya di lokasi, mereka turun dari mobil sembari bergandengan. Kamar setara suite di lantai tiga telah dipesan. Karto mengeluarkan beberapa lembar merah dari dompet. Aroma parfum Christian Dior menyeruak ke sekeliling. Lorong menuju kamar sepi, ubinnya dialasi karpet bercorak. Kamar itu berhiaskan sutra di sana-sini. Pintu dikunci, Ernie’s Tune dari Dexter Gordon mengalun lembut.
***
“Mandi pagi hanya untuk orang-orang lemah,” bisik Anwar, sebagaimana sebuah slogan berbunyi.
Belum lagi matahari muncul di ufuk, ia sudah merapikan diri. Membasuh muka dan rambut di kala subuh adalah kegemaran yang ia lakukan bertahun-tahun sejak masih duduk di bangku sekolah. Tidak usah mandi. Sebab, untuk apa?
Sebelum berangkat ke kantor, ia melaksanakan rutinitas ala kadarnya. Tiada jendela yang perlu ia buka, karena rumah itu memang tertutup rapat dengan dinding berwarna hijau. Tak perlu juga ia menyapu pekarangan.
Rumah itu terletak di gang sempit, diiringi sebuah sungai tempat warga setempat mencuci pakaian. Bangunannya hanya ditutupi seng yang tambah keropos dan lapuk karena di musim hujan, air tidak surut sampai sekian lamanya.
Bukannya ia tak punya rumah layak huni. Tetapi, hanya beberapa tahun yang lalu, kampungnya di pelosok timur kota hancur lebur digusur alat-alat berat—yang konon ramah lingkungan—untuk meneruskan pembangunan yang diagung-agungkan itu.
Sudah ribuan kali ia berpikir untuk kembali ke rahim ibunya saja, lalu berandai soal kemurnian dunia yang ingin ia tinggali. Bukan menempati suatu sistem yang para manusia itu buat untuk diri mereka sendiri.
Anwar bergegas di bawah terik matahari pagi. Napasnya ia atur pelan-pelan agar bajunya tak terlampau basah. Lalu lintas tak pernah terlihat gembira, selalu gelisah sepanjang waktu.
Sesampainya di kantor, ia lekas menuju ruang ganti tempat ia mengganti setelannya. Sepasang sandalnya ia taruh di dalam laci kerja, kausnya dilipat lalu dimasukkan ke ransel, celana bahan hitam tetap pada tempatnya.
Sembari menyeruput kopi yang ia beli di warung dekat situ, sebuah motor memasuki tempat parkir. Pasangan muda rupanya, lelaki dan perempuan. Menjelang tahun baru, makin banyak saja pengunjung seperti itu. Mungkin untuk satu atau dua malam. Hanya untuk mengisi malam-malam yang sepi dan penuh akan kepenatan.
Tak jarang lelaki yang sudah beberapa kali ia lihat datang berkunjung, membawa perempuan yang berbeda. Yah, anak muda dengan uang segepok, ia bergumam. Biarlah mereka bersenang-senang di lantai atas, sementara ia menunggu dengan segenap rasa yang hanyut.
Di saat-saat kantuk menjalar, sebuah mobil sedan hitam memasuki pekarangan. Anwar dibuat terkejut dan cepat-cepat berdiri. Ia membukakan pintu sedan itu dan memberi hormat.
Orang tua itu memiliki badan yang tambun, dilengkapi kumis hitam lebat. Tampak dadanya membusung, lengkap dengan Rolex dan Berluti. Sedangkan dari sisi yang berlawanan, turun pula seorang wanita muda. Rambutnya hitam lebat tergerai ke bawah. Di ujung hidungnya yang agak mancung itu terpasang kacamata hitam, mempesonakan tiap mata yang memandang ke arahnya.
“Ini buat bapak. Bapak tahu kan harus apa? Si bos sedang kepingin,” ujar sang sopir sambil menyodorkan selembaran berwarna merah. Ia menjenguk bagian depan mobil. Pelat dinas. Ia mengangguk tanda mengiyakan.
Ditemani cangkir kopi ketiga, Anwar duduk termenung di pos. Lembaran merah itu masih dipegangnya erat-erat. Pikirannya mengawang pada Yantia—kekasih yang dulu sempat singgah di hidupnya.
Ia teringat kembali akan sentuhan lembut di ubun-ubunnya tatkala langit malam turun, memberinya kasih sayang yang tak luruh. Meski umurnya terpaut jauh, mereka saling mencintai.
Rumah yang digusur dan biaya hidup yang melonjak membuatnya berpisah dengan sang juita. Ia harus beranjak ke tengah kota dan merelakan Yantia untuk sementara. Hanya seuntai janji yang memisahkan mereka.
“Ketika keadaan sudah membaik, jemputlah aku di penghujung petang, di mana dulu aku biasa membelai senyummu, di sudut tempat biasa kita saling memeluk,” ujar Yantia dengan mesra.
Malapetaka itu pun datang. Kata tetangganya di kampung, Yantia butuh uang lebih dan memutuskan untuk pergi menyusul. Semenjak ada desas-desus yang mengatakan bahwa kekasihnya tengah menjadi pelacur, Anwar pun mengubur segenap janji.
Lamunannya pecah. Ia melihat orang tua itu tergesa-gesa menuju sedan yang terparkir. Napasnya terengah-engah. Ia berteriak membangunkan sopirnya yang terlelap, lalu masuk ke dalam mobil. Sedan itu bergerak dengan sangat cepat keluar dari pekarangan, berbelit ke kiri.
“Lebih cepat lagi, sopir bodoh! Terobos saja! Larut malam, jalanan pasti sudah tidak ramai.”
“I-iya, baik, Pak.”
Sekelebat truk biru melaju cepat dari arah kanan jalan, kemudian menghantam bagian samping. Mobil itu terpelanting ke kiri. Dalam hitungan detik, seluruh bagian mobil remuk redam dan hampir terbelah.
Namun, apa yang tersisa darinya hanya sebuah keruntuhan. Warga berlarian dari kanan-kiri, menghambur untuk menyelamatkan puing-puing yang tersisa. Dua orang tewas.
Meski telinganya cacat sebelah, Anwar mendengar dentuman keras yang datang dari dua arah. Tengah kota malam itu menjelma liar dan jalang. Selang beberapa tempo, seorang wanita memanggil dari arah lobi dan menyuruhnya untuk lekas naik ke suite lantai tiga.
Di dalam suite, ia hanya menyaksikan sesosok tubuh yang tergeletak di lantai pualam putih. Darah kental membasahi sekujur badan. Jasad yang hanya terbungkus pakaian dalam berwarna hitam itu tak memberi kesan apa pun kecuali kemurkaan yang tersumbat di ujung bibir.
Berulang kali ia mendekap mayat itu, mengamati peluru yang menancap di dada. Wanita itu—yang ia kenal dengan nama Yantia—sudah tak bernyawa. Rintik air menjuntai di kaca jendela besar.
***
Karto berdiri dekat lemari sambil menghardik. Tangannya gemetar dan bahunya bergeming. Matanya menatap tajam ke depan sembari mengusap lehernya yang habis dicekik.
“Lu gak bakal bisa kabur, Sayang! Ini malam terakhir lu! Dosa lu sudah numpuk, ngerti? Gua tunggu-tunggu momen ini. Hahaha.”
“Dasar cewek gila! Berani-beraninya lu, ya. Gak pernah sekolah, hah?”
“Gimana mau sekolah kalau sekolahnya lu gusur? Berduit tapi gak sanggup beli otak!”
“Dasar tidak tahu terima kasih, dasar murahan! Penggusuran itu sudah lama, kalau lu punya harga diri, gak mungkin jadi perempuan binal.”
Keretakan hatinya membuat tangannya melempar vas bunga di atas meja ke arah lelaki itu. Karto menghindar. Ia merogoh sepucuk pistol dari saku mantelnya dan menembak tepat di dada si wanita.
***
Editor: Ghufroni An’ars