Tiga Senar dan Puisi Lainnya

WD Gafoer

1 min read

Mengalami Bai Guna

Bahasa!
seperti empat cermin “Momole
penabuh sebab asali amantu billahi
saat malam-malam hening—
gulita rasanya mencari makna mata
melalui jalanan gelap, terjal dan dingin

Bai Guna melepas selendang emasnya
kuning tembaga, pundak perkasa, tubuh manusia
terlukis aksara-aksara berdarah yang akan datang
menyusuri putih kertas jalur sutera, dari negeri-negeri jiran,
membawa tungku, kuburan dan benang-benang malaikat
menjahit cengkih ke dalam ironi Lusiadi
sang penyair Camoes turun dari pentas menentang monarki
dibayangi Shakespeare, Virgil, Homer, dan Dante
sehingga kisah teatrikal ini kami terima sebagai sastra

Bai Guna melepas sehelai kain emasnya
bulan pucat, purnama dingin, samudera berkata:
duduklah anakku! duduklah!
Hai Sagala Ngone Ronga Ragibin…
(Hai segala yang bernama …)
Lupa Afa Poma-Poma…
(Jangan lupakan sebuah masa…)
dalam hembusan nafas, kain kafan menunggu
mari kita tunda, mari anakku!
lihatlah… badai sedang datang
lihat anakku! peluklah derita
Bai Guna melepas rambut emasnya
Bahasa!
seperti pecah beling cermin;
terserak di antara nanah dan darah
sebuah drama kematian yang kami sebut sebagai sejarah.

(Ternate, 2022)

TIGA SENAR

Tiga senar yang mulia
menggesek kulit lembut Fiol
mesra menggelayut dalam gerak tangan sang tuan
menuntun sabda merasuki tubuh perawan manusia
kau dengar laut nyaring mendatangi dada sang Kapita
tifa… tifa… si polote tufa… berdentinglah!

berdiri, sendiri, menunggu tangan sang penabuh
nyaring—tumpul—terus menerus dipukul mundur
sehingga penari-penari mematahkan sayapnya
sayap-sayap bidadari—
terbang mencari hati yang ragu,
langkah yang salah, tersenyumlah!
senar-senar Fiol telah longgar
menunggu Togal melenggang sabda:

satu—kukutuk kau jadi lelayu, hai pelaut
dua—bertekuk lutut-lah di hadapan Ibu Gamalama
tiga—yora… yora… orang-orang mati,
orang-orang mati membawa pulang kuasa yang Esa
sang penari yang perawan maju mendayung rima
menyalin irama, menyiksa kakinya yang tak bernyawa
tapi sudikah ia berterima; demi masa depan Bualawa
sehingga siapa pun yang kerasukan melihat bidadari;

widadari… widadari… menarilah!
untuk melampaui yang fana
sementara ia berputar,
mengitari raga dan jiwa
penari-penari kecil terlahir;
Tiga senar yang mulia

(Ternate, 2022)

TOGAL

bersama angin
mari bernyanyi dalam derita
sebelum pelita-pelita mati di jalan menuju surga
betapa jahat lautan itu—perahu-perahu nelayan
hancur ditinggal roh ikan-ikan; serpih-serpih penyesalan
betapa indah teluk itu—bayi-bayi lahir tanpa suara

bersama gunung
mari bernyanyi dalam derita
sebelum orang tua-tua berjalan pulang
menyisakan kitab dan sabda
betapa indah kalimat itu—
ajali fo tuda-tuda
(Ajal ke mana-mana kita bawa …)
sone fo waro ua
(Kapan mati, kita tak tahu…)

(Ternate, 2022)

GAUMADI

Cude Cude cengkih kita Cude
patah kita petik, jadi
Tide-Tide… et Devide
… dosa raksasa Impera…
Cude Cude cengkih kita Cude
anak cucu bahagia?

(Ternate, 2022)

SABDA SARAGI

gigi-gigi
taring bergerigi
aduhai kau anak lelaki
kau harus pandai berkelahi
tatkala pagar-pagar kebun diserang hama
disekap janji-janji duniawi
jiwa-jiwa kalut; jangan jadi penakut
takluklah dengan tubuh penuh luka
aduhai kau anak lelaki
kau harus pandai melawan waktu
gadis-gadis yang kelak kau nikahi;
ruang rahim yang membikin kau tegak berdiri
di hadapan pintu itu, menangislah dengan perkasa

(Ternate, 2022)

*****

Catatan:
Bai Guna adalah nama tokoh legenda pemimpin perempuan pertama dalam khasanah budaya Ternate
Momole adalah sebutan bagi pemimpin spiritual
Fiol adalah alat musik tradisional yang dimainkan dengan cara digesek
Togal adalah tarian dan nyanyian/kidung
Yora’ adalah seruan dalam tarian tradisional
Si Polote Tufa (Memecahkan langit)
Bualawa: Buah Pala
Cude artinya Petik
Gaumadi bermakna Cengkih
Saragi merupakan Gong

Editor: Moch Aldy MA

WD Gafoer

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Dapatkan tulisan-tulisan menarik setiap saat dengan berlangganan melalalui email