Saya menyukai film yang bertemakan atau berlatar peperangan. Salah satu judul film peperangan yang saya tonton lebih dari tiga kali berjudul: The 12th Man. Film buatan Norwegia ini mengisahkan salah satu kisah pejuang negara itu semasa perang dunia kedua. Pejuang itu bernama Jan Baalsrud.
Dikisahkan dalam film ini, Jan adalah seorang dari 12 orang pejuang Norwegia, yang ditugaskan pemerintah negaranya untuk melakukan sebuah misi. Misinya adalah menyabotase sebuah pos kapal perang Nazi Jerman. Naas, misi yang harusnya bersifat rahasia malah ketahuan oleh pihak Nazi Jerman. Kesebelas pejuang tertangkap dan berujung pada hukuman mati. Hanya Jan yang menjadi satu-satunya yang selamat.
Sendirian, misi yang gagal dan tidak akan mungkin untuk dituntaskan, dan sekarang menjadi buronan tentara Nazi seNorwegia, benar-benar membuat Jan berada dalam tekanan yang tidak bisa dibayangkan. Tentu hasutan untuk mengakhiri hidup ada dipikirannya, bahkan ia nyaris melakukannya. Tapi ia sadar kematiannya lah yang diinginkan pihak Nazi. Ia tak ingin pihak Nazi yang menang, ia ingin Norwegialah yang menang. Hidupnya adalah simbolik dari api perjuangan Norwegia yang masih menyala. Dan setelah semua yang terjadi, dalam benaknya kini hanya ada pikiran: ia harus kabur dengan selamat keluar dari Norwegia, jangan sampai Nazi Jerman berhasil menangkapnya.
Kisah Jan andai disamakan dengan pejuang Indonesia, agaknya nama Tan Malaka akan muncul untuk dikaitkan. Kisah petualangan Tan yang berkeliling di berbagai negara, yang selalu kabur dari polisi imperial internasional dan akhirnya dapat kembali ke Indonesia, barangkali mirip dengan kisah seorang Jan Baalsrud.
Tapi terdapat satu nama lagi yang mungkin jarang didengar. Seorang pejuang yang jalan perjuangannya sama seperti Jan juga Tan, dengan lari dan kabur. Seorang tokoh pergerakan pada masa periode 1920an, saat Hindia penuh dengan gerakan radikal menentang pemerintah kolonial. Pejuang itu bernama Thomas Najoan.
Thomas Najoan di Tanah Pembuangan
“Thomas Najoan adalah tokoh unik yang kurang dikenal meski ia sebenarnya juga orang penting pada masa-masa pergerakan nasional,” tulis sejarawan Petrik Matanasi dalam buku tipis yang memang ditujukan untuk Thomas Najoan berjudul: Thomas Najoan Si Raja Pelarian Dalam Pembuangan. Tak diragukan, Najoan memang tokoh penting pada pergerakan nasional awal. Hal ini dapat dilacak dengan mencari tahu nama tempat yang Najoan tempati selama dibuang di Boven Digul. Tempat itu bernama Tanah Tinggi.
Di Boven Digoel, tempat pembuangan buatan kolonial Belanda, terdapat dua tempat yang ditujukan kepada mereka para penentang pemerintahan kolonial saat itu. Kedua tempat itu bernama Tanah Merah dan Tanah Tinggi. Tanah Tinggi adalah nama tempat yang dikhususkan untuk orang-rang buangan khusus. Di sana lah para pemimpin pergerakan, propagandis, dan orang-orang yang merupakan ancaman serius pemerintah kolonial bertempat. Mereka yang menempati Tanah Tinggi adalah golongan, yang pemerintah kolonial menyebutnya, de naturalisten.
Takashi Shiraishi dalam bukunya Dunia Hantu Digul menjelaskan bahwa golongan de naturalisten adalah mereka yang menolak melakukan pekerjaan apa pun pada pemerintah kolonial. Mereka adalah orang yang memegang teguh “prinsip” mereka. Pemerintah kolonial menganggap mereka adalah orang-orang yang sangat radikal. Akibatnya tindak-tanduk mereka di Digul selalu diawasi, jatah pangan yang berbeda dengan jatah makan orang buangan di Tanah Merah, sampai tidak memiliki kesempatan untuk pulang ke keampung halaman.
Keteguhan penghuni Tanah Tinggi untuk menolak pekerjaan selama masa pembuangan adalah bentuk perlawanan, dan Thomas Najoan adalah salah satunya. Soe Hok Gie pernah menulis dalam bukunya yang menjelaskan ketidak kompromian Najoan dan kawan-kawannya.
Gie menulis, “Betapa kerasnya watak Mas Marco, Boedisotjitro, Winanta dan Najoan yang menolak utusan Gubernur Jendral menemui mereka. Padahal pertemuan dengan utusan itu mungkin akan membebaskan mereka dari neraka digoel.”
Di mata orang buangan yang berada di Tanah Merah, melihat orang buangan yang berasal dari Tanah Tinggi adalah antara benci dan kagum. Mereka barangkali membayangkan bahwa orang-orang Tanah Tinggi adalah orang yang tidak mengenakkan. Tapi Najoan adalah figur yang berbeda. Meski termasuk orang-orang yang berpunggung keras utuk tunduk pada pemerintahan kolonial, tetapi secara pribadi, dia adalah orang yang menarik. Najoan adalah orang yang riang, optimis, humoris, dan suka tertawa.
Deskripsi bagaimana sosok Thomas Najohan dapat ditemukan dalam catatan Sutan Syahrir. Tokoh nasional yang berjuluk bung kecil ini menuliskan bagaimana Najohan di matanya. Dia pun punya panggilan tersendiri untuh Najoan.
“Seorang manusia yang baik, berbudi luhur dan berpendidikan. Rasa humanitasnya yang besar berasal dari etika agama Kristen; ia seorang Manado dan beragama Kristen. Selain itu, ia salah seorang sosialis Indonesia yang pertama-tama, mulai dari zaman Sneevliet dan Baars,” tulis Syahrir.
Rudolf Mrazek, seorang pakar sejarah modern Asia Tenggara, pernah mewawancarai seseorang yang semasa kecilnya adalah penghuni Digul. Seseorang itu mengatakan kepada Mrazek bahwa Najoan itu perawakannya tidak tinggi tetapi kekar. Jalannya gagah dan selalu berpakaian rapi dengan memakai topi serta membawa tongkat. Hal ini selaras dengan catatan Mas Marco, seorang rekan Thomas Najoan yang juga pernah menulis bahwa Najoan adalah orang yang kekar serta riang. Pribadinya yang positif membuat ia mudah bergaul. Juga ia memiliki senjata untuk musuh terkuat dan paling mematikan yang bersemayam di Boven Digul: rasa sepi.
Minggat adalah Jalan Perjuangan
Tan Malaka pernah menuliskan perasaannya atau barangkali kegundahannya menjadi seorang pelarian dalam buku autobiografinya. Tan mengungkapkan bahwa orang Indonesia baru akan bersyukur akan hidupnya jika berada di lingkungan yang asing. Lingkungan yang asing dalam hal ini adalah luar negeri yang mana orang yang berbangsa beda, bahasa beda, dan sebagainya.
“Terutama kalau kita berada dalam kemiskinan di tengah-tengah hawa iklim, masyarakat, dan semuanya asing, sehingga banyak iman yang pecah, orang buangan kembali diam-diam, bunuh diri atau hidup seperti hewan (demoralisasi). Jarang yang bisa memegang prinsip semula teguh dan imannya,” tulis Tan.
Seperti uraian Tan, Thomas Najoan juga pernah mengalaminya. Meski lingkunngannya bukan sedang berada di luar negeri, serta merupakan seorang periang dan mudah bergaul, ia pernah merasakan pada titik frustasi dan putus asa. Hal itu pernah dia ungkapkan pada petugas pemrintahan yang sedang melakukan survei. Petugas itu kemudian mencatat, “Najoan yang terkenal tangguh menyatakan dengan sungguh-sungguh: “Disini hidup benar-benar sepi.” Petugas itu berasumsi bahwa kejiwaan Najoan tidak stabil bahkan mengira Najoan telah Gila. Ungkapan Najoan yang didapat dari petugas itu mendapat tafsiran lain dari sejarawan Petrik Matanasi. Petrik menjelaskan bahwa itu sebatas pernyataan yang umum dan bukan menunjukkan masalah kejiwaan. Menurutnya itu merupakan sikap bahwa perlawanan dari Najoan masih dilakukan: tetap bertahan di Tanah Tinggi yang situasi sepinya melebihi situasi sepi Tanah Merah. Puncak dari frustasi Najoan adalah percobaan bunuh diri yang dia lakukan. Untungnya dia selamat karena lekas dibawa ke rumah sakit.
Siksaan rasa sepi memang tidak main-main. Supaya terlepas dari siksaaan ini, penghuni Boven Digul, baik yang berada di Tanah Merah atau Tanah Tinggi menyibukkan diri. Thomas Najoan juga seperti mereka, tetapi mungkin mencari kesibukan dengan cara kabur dari Digul hanya dimiliki sedikit penghuni. Najoan paham betul ia tidak mungkin dipulangkan ke Manado, kampung halamannya. Pikiran untuk kabur inilah yang juga menjadi semangat Najoan untuk hidup dan menyelamatkannya dari arus kegilaan yang banyak didera oleh penghuni lain. Serta menjadi upaya perjuangannya.
“Siapa yang hendak lari Musti berani Mati. Siapa yang Cuma ingin hidup saja dengan selamat jangan coba melarikan diri.”
Kutipan ini berasal dari cerpen berjudul Pandu Anak Buangan karangan Abdoe’lXarim M.s. Cerpen ini dapat ditemukan dalam kumpulan cerpen Cerita dari Digul suntingan Pramoedya Ananta Toer. Pengarang tersebut, yang juga merupakan teman sekamp dengan Thomas Najoan di Boven Digul, terkait kutipannya kiranya sangat relevan bila ditujukan pada perjuangan Thomas Najoan untuk keluar dari Boven Digul.
Pada 1942 waktu tentara Jepang menginvasi Hindia Belanda, Najoan memutuskan untuk kabur yang ketiga kalinya. Ia kabur bersama dua kawan lain yaitu Mustajab dan Saleh Rais. Najoan dan Saleh Rais tidak pernah ditemukan, sedangkan Mustajab ditemukan dengan bagian organ dalam tubuh yang hilang, mengapung di Sungai Digoel. Rumor beredar rombongan tersebut diserang suku kanibal yang masih menghuni disana.
Meski Najoan hilang dan sampai sekarang keberadaannya belum jelas rimbanya, pelariannya membuktikan ia adalah figur yang menentang kolonial bagaimanapun caranya. Ia tidak tunduk pada pemerintah kolonial meski bujuk rayu, sanksi, dan sebagainya pernah diberikan padanya.
Sekalipun, ia musti hidup di Boven Digul yang merupakan neraka kesepian selama 11 tahun dan dua kali gagal dalam upayanya kabur. Yang paling jelas akhirnya Najoan adalah pemenangnya. Ia berhasil kabur dari Digul, walaupun menghilang. Tapi pengorbanannya ini menandakan dua hal: pertama, pemerintah kolonial Belanda tidak dapat menangkap dan membawa kembali Najoan; kedua, Thomas Najoan yang hidup selama 11 tahun di Boven Digul menunjukkan, meminjam kalimat Petrik Matanasi bahwa “senyuman dan sikap riang Thomas Najoan adalah kegagalan pemerintah kolonial dari tujuan menciptakan Boven Digul. (*)
salam untuk mustika mas ,