Pengkhianatan Jokowi terhadap Reformasi dan Demokrasi

Durohim Amnan

5 min read

Rezim Joko “Jokowi” Widodo akan dicacat dalam sejarah sebagai rezim yang memutarbalikkan arus reformasi melalui aksi menggerus demokrasi dan pengkhianatan terhadap prinsip negara hukum.

Banyak kalangan seperti akademisi, budayawan, intelektual publik menilai piranti negara hukum kita telah rapuh, bahkan hancur berkeping-keping di bawah pemerintahan Jokowi. Sejalan beriringan, pletora demokrasi mengalami degradasi secara sempurna yang bermuara pada nihilnya partisipasi publik dalam proses pengambilan kebijakan. Hal yang seharusnya tidak terjadi dalam rumpun negara hukum demokratis. Satu dasawarsa terakhir setidaknya dapat mengambarkan bagaimana roda bernegara tidak dijalankan sesuai dengan dalil pemerintahan yang baik (good governance). Beberapa catatan mengenai kemunduran itu akan diulas di bawah ini.

Rapot merah demokrasi Indonesia menengarai laju negara hukum yang bergerak sentrifugal menjauhi prinsip yang seharusnya. Keadaan itu membentang mulai dari pembentukan hukum, pengawasan hukum, hingga penegakan hukum yang semakin menjauhkan dari cerminan negara hukum modern. Sebagaimana pandangan K.C. Wheare tentang negara hukum modern dalam bukunya Modern Constitutions (1960) menjelaskan setidaknya terdapat 4 prasyarat yang dapat membenarkan laku negara hukum modern yaitu badan peradilan yang bebas, pemilu yang jujur dan adil, berjalannya sistem pengawasan (check and balances), dan keterlibatan publik.

Pandangan tersebut patut untuk dijadikan parameter apakah klaim Indonesia sebagai negara hukum betul-betul terejawantahkan dalam tataran praktis.

Problematika aktualisasi

Pertama, prasyarat independensi badan peradilan. Mengapa harus independen?, pertanyaan itu selalu menjuntai bersamaan dengan skeptisisme publik terhadap tangan kekuasaan yang selalu bekerja ekspansif. Prinsip pembatasan kekuasaan didalam konsep negara hukum sedikit banyak dapat memenggal watak ekspansionis kekuasaan. Yudikatif, eksekutif, dan legislatif diberikan mandat secukupnya dengan batasan-batasan ketat agar meminimalisir silang-sengkarut yang potensial terjadi.

Syarat ini mewajibkan kerja-kerja badan peradilan yang bersih dari praktik intervensi. Hal tersebut berkorelasi dengan gagasan negara hukum demokratis atau dalam istilah lain “constitutional democratic” yang mereposisi konsep kekuasaan absolut dengan konsep pembatasan kekuasaan. Kebutuhan akan badan peradilan yang mandiri disebabkan oleh kedudukannya sebagai lembaga penyeimbang yang diberi tugas untuk mengoreksi kebijakan yang dihasilkan oleh proses politik (eksekutif dan legislatif).

Dalam hal pengujian norma peraturan perundang-undangan, Mahkamah Agung (MA) dan Mahkamah Konstitusi (MK) menjadi benteng terakhir untuk menyelesaikan sengketa pasal (materil) maupun sengketa prosedur (formil). Untuk menengahi perselisihan itu, sterilisasi badan peradilan dari infiltrasi kepentingan menjadi sebuah keniscayaan. Sayangnya, kemandirian badan peradilan dibawah trajektori rezim Jokowi mengalami proses erosi.

Dalam kurun waktu sewindu, badan peradilan tak kuasa menahan arus kepentingan (politik dan kekuasaan) yang menyelinap masuk hingga ke meja hijau hakim. Beberapa kasus seperti pemecatan hakim Aswanto di tahun 2022, putusan MK 90/PUU-XXI/2023, dan terbaru putusan MA 23 P/HUM/2024 menjadi tengara bahwa proses dekadensi badan peradilan memang betul adanya. Dua badan peradilan itu bak bidak catur yang bisa digiring sesuai dengan selera dan hasrat penguasa.

Lemahnya sistem pengawasan

Kedua, prasyarat pemilu yang jujur dan adil. Jhon F. Stahl (1940-2023) menekankan ciri khusus negara hukum pada tahapan pemilihan umum yang bebas. Frasa ‘bebas’ disini mempunyai makna steril dari campur tangan kekuasaan, elite politik, dan kepentingan lain yang dapat merongrong kelembagaan pemilu.

Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) punya tanggung jawab besar untuk melaksanakan fungsi tersebut. Lacurnya, dalam kurun waktu sepuluh tahun terakhir, agenda pagelaran pemilu/pilkada yang diharapkan jujur dan adil justru berbalik arah. Dalam penyelenggaraan pemilu serentak 2019 misalnya, salah satu komisioner KPU, Wahyu Setiawan, terjerat kasus korupsi karena terbukti menerima suap dari salah satu peserta pemilu guna memuluskan pergantian antar waktu (PAW) calon terpilih legislatif sebagai partai pemenang pemilu saat itu (kasus Harun Masiku).

Sampai saat ini penyelesaian kasus suap Harun Masiku masih tertungkus-lumus. Bahkan kasus tersebut diamplifikasi sebagai alat sandera-menyandera kepentingan politik tertentu. Bagaimana bisa memproduksi pemilu yang jurdil pada saat residu pemilu 5 tahun lalu (2019) tak sempat terselesaikan.

Belum sempat menutup borok pemilu sebelumnya, kontestasi pemilu 2024 justru menyisakan deretan kasus terbaru. Perkara paling menggemparkan yakni perangai Ketua KPU, Hasyim Asy’ari, yang berkali-kali (4 kali) diputus terbukti melakukan pelanggaran kode etik penyelenggara pemilu oleh Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP). Kasus pelecehan seksual terhadap salah satu anggota penyelenggara pemilu luar negeri menggenapkan asumsi publik bahwa instansi kelembagaan pemilu telah mengalami pembusukan sempurna.

Ketiga, pelaksanaan sistem pengawasan (check and balances). Konsep ini lahir dari benih yang ditanam oleh Montesquieu (1748) dalam bukunya The Spirit of The Laws, yang dikenal dengan ajaran Trias Politika. Ajaran ini menggariskan elemen pengawasan antar tiga cabang kekuasaan melalui model pemisahan kekuasaan (separation of power). Pembahasan ini khusus menyoroti kiprah lembaga legislatif (parlemen) dalam menjalankan mekanisme pengawasan selama satu dekade terakhir.

Konsep ideal pengawasan yang dimaksud agaknya tak berlaku di Indonesia. Lembaga parlemen yang berisikan anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan Dewan Perwakilan Daerah (DPD) berkamuflase menjadi teman karib pemerintah. Proposal kebijakan pemerintah kerap kali melaju begitu saja tanpa ada interupsi apalagi eliminasi. Selama 10 tahun terakhir, lembaga parlemen lagaknya lebih mencitrakan tukang stempel pemerintah, bukan stempel rakyat yang semestinya kritis dalam melantangkan suara publik.

Ruang pengawasan yang disediakan konstitusi seperti hak angket, hak menyatakan pendapat, dan hak bertanya (UUD 1945) berubah menjadi “hak menyatakan setuju” terhadap kebijakan pemerintah. Pengawasan yang lemah itu nyaris tampak dalam semua kebijakan pemerintah seperti revisi UU KPK, UU MK, UU P3, UU Minerba, UU Desa, UU ITE, dan pembentukan UU super kilat seperti UU Omnibus Law Cipta Kerja, UU IKN. Produk hukum yang lebih genting disahkan seperti RUU PRT, RUU MHA, RUU Perampasan Aset, RUU lembaga kepresidenan justru disikapi bagai angin lalu.

Bukti lain sistem pengawasan tidak bekerja ialah hak angket untuk mempertanyakan dan menyelidiki kebijakan pemerintah yang bersifat strategis tidak pernah digunakan kecuali dalam kasus e-KTP terhadap Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) di tahun 2017 yang notabene bertentangan dengan resonansi suara publik. Publik sempat diberi secercah harapan dengan narasi hak angket untuk menyelidiki kecurangan pemilu 2024 yang dilakukan pemerintah. Namun isu itu layu sebelum berkembang.

Paparan tersebut menandakan sistem pengawasan parlemen sebagai pendulum demokrasi belum bekerja secara maksimal. Padahal, sistem pengawasan lah yang membedakan antara negara yang berstatus demokratis dimana kritik menjadi instrumen utama dan negara berstatus otoriter dimana lembaga parlemen hanya diletakan sebagai aksesoris pelengkap. Ulasan lebih lanjut tentang optimalisasi lembaga parlemen bisa dibaca dalam tulisan saya yang berjudul “Menggugat Keberadaan Dewan Perwakilan Daerah”.

Keempat, aspek keterlibatan publik. Pemikiran filsafat politik Jurgen Habermas (1929) mengenai demokrasi deliberatif akan menggenapkan tulisan ini. Ia menilai bahwa demokrasi deliberatif menekankan akuntabilitas publik guna berpartisipasi dalam proses pembuatan kebijakan. Syarat yang harus ditempuh adalah jaminan adanya ruang partisipasi publik yang bebas dan steril dari potensi yang bisa membatalkan ruang partisipasi itu sendiri.

Melihat gagasan demokrasi deliberatif yang memosisikan publik sebagai titik pusat kebijakan (baik proses maupun hasil) amat sejalan dengan kosep kedaulatan rakyat (Pasal 1 ayat 2 UUD 1945). Logikanya: seluruh produk kebijakan negara yang dihasilkan melalui proses deliberatif tidak akan menjumpai suara ketidaksetujuan dari masyarakat. Namun hal itu tidak bekerja selama 1 dasawarsa terakhir yang tercermin dalam putusan MK 90/PUU-XVIII/2020 tentang pembatalan UU Cipta Kerja secara bersyarat karena ketiadaan partisipasi publik yang bermakna.

Protes baru-baru ini terhadap kebijakan pemerintah mengenai tapera dan asuransi kendaraan bermotor menjadi bukti ketertutupan ruang partisipasi publik. Bahkan tidak sedikit jumlah masyarakat kritis yang kemudian dipersoalkan secara hukum dengan jeratan pasal karet UU ITE. Kasus Haris-Fatia karena mengkritik proyek pertambangan di wilayah Papua dan revisi UU Penyiaran yang hendak menghapus komponen jurnalisme investigasi semakin menegaskan rezim pemerintahan yang anti kritik karena menutup kanal-kanal informasi.

Penyempitan demokrasi

Berdasarkan uraian di atas maka dapat disimpulkan bahwa laju demokratisasi Indonesia tidak sejalan dengan prinsip-prinsip negara hukum. Vedi Hadiz (2017) menyebut Indonesia masih berada dalam tataran demokrasi prosedural bukan demokrasi substansial karena gurita praktik oligarki dan kleptokrasi. Begitupun halnya Yudi Latif (2019) yang sepakat dengan penyematan “demokrasi prosedural” itu dikarenakan gejala arus balik reformasi yang kian menguat.

Pandangan tersebut dikuatkan melalui rilis data Economist Intelligence Unit (EIU) 2023 yang mencatat Indeks Demokrasi Indonesia turun 2 poin dan terkategori sebagai demokrasi cacat atau flawed democracies (viva.co.id, 19/2/2024). Begitupun data Freedom House (kompas.id, 31/1/2024) yang menunjukan pelemahan demokrasi khususnya dalam aspek kebebasan pers yang menggambarkan kurva menurun.

Tidak bekerjanya empat prinsip negara hukum yaitu independensi peradilan, pemilu yang jurdil, check and balances, dan partisipasi publik, sudah cukup membuktikan bahwa rezim ini telah memerosotkan demokrasi. Seiring berjalannya waktu, sukma demokrasi terus mengecil dan tidak dapat lagi dirasakan masyarakat.

Negara hukum dan demokrasi berjalan beriringan dan saling terhubung. Rusaknya demokrasi menunjukan hal serupa bagi negara hukum. Pada ujung pemerintahannya, Jokowi bahkan menambah kekeruhan di aliran air demokrasi dengan merevisi UU kementerian negara dengan menambah kursi menteri dan revisi UU Wantimpres yang berkaitan dengan banyaknya jumlah anggota.

Kebijakan Jokowi yang picik selalu mendapat penolakan masyarakat luas dan terus berulang sampai di akhir masa jabatannya. Dan ada satu istilah yang membekas di benak publik tentang legasi rezim pemerintahan Jokowi yang meluluhlantakkan konsep negara hukum yaitu politik dinasti. Politik dinasti sebagai term yang ditukas masyarakat sipil (kolusi, korupsi, dan nepotisme) ketika reformasi berkecambah, justru hari-hari ini dipertontonkan secara telanjang tanpa ada rasa penyesalan.

Betapapun hancurnya demokrasi dan hukum Indonesia di bawah Jokowi, kita tetap berharap semoga pembusukan yang berlangsung secara kolosal ini akan mendapat perlawanan, berbalik serta menyemai benih baru demokrasi yang menjadi harapan bagi keberlangsungan negara hukum Indonesia. (*)

 

Durohim Amnan

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Dapatkan tulisan-tulisan menarik setiap saat dengan berlangganan melalalui email