Mahasiswa S1 Ilmu Sejarah Universitas Padjajaran. Tartarik terhadap isu-isu hubungan internasional, politik domestik dan sejarah

Prabowo dan Adagium Lord Acton

Adrian Aulia Rahman

4 min read

Bahtera kita telah berganti nahkoda. Jokowi menuntaskan dua periode jabatannya, dan Prabowo memulai perananan barunya sebagai Presiden Republik Indonesia. Suksesi kepemimpinan yang ditandai inagurasi, berlangsung pada 20 Oktober 2024, di Gedung Dewan Perwakilan Rakyat. Kitab suci menjadi saksi. Prabowo dan wakilnya, Gibran Rakabuming Raka resmi memimpin negeri ini. 

Realita ini sepatutnya kita terima, karena memang sukar diingkar. Betapun enggannya kita menerima. Jejak nir-etika dari awal pencalonan Gibran, berbagai penyalahgunaan kekuasaan yang telanjang, hingga munculnya akun fufufafa yang diduga kuat milik wakil presiden RI yang narasi-narasinya memalukan dan begitu rendahan, membuat skeptisisme menjadi kewajaran. Namun terlepas dari itu semua, ada realita yang sukar dielak bahwa saat ini Presiden kita adalah Prabowo dan wakil presidennya adalah Gibran, putra sulung Joko Widodo. 

Begitu sulit membangun optimisme untuk rezim baru ini. Sangat sulit. Bukan tanpa sebab, jejak oportunisme politik yang kuat dari Prabowo, dan Gibran yang begitu ‘tidak meyakinkan’ sebagai pemimpin dengan aturan-aturan yang diubah demi pencalonannya, belum lagi intervensi penguasa lama sang begawan pencitraan, membuat sinar mentari harapan itu terhalang awan hitam yang begitu pekat. 

Program makan siang entah bagaimana kalkulasinya. Hutang yang membelit pinggang. Balas budi yang berimplikasi terbentuknya kabinet raksasa yang menguras anggaran. Wajah lama yang penuh cela di kabinet yang konon ‘baru’. Anggaran yang begitu ketat dinanti janji yang begitu banyak. Belum lagi bayang-bayang ibu kota baru yang berpotensi mangkrak. 

Namun baiklah. Prabowo-Gibran baru dilantik. Tentu ada kesempatan membuktikan janji dan programnya. Membuktikan slogan-slogan pro-rakyatnya. Karena bagaimanapun kita berharap suksesnya kepemimpinan Prabowo. Karena dengan begitu berarti ada perbaikan kondisi bangsa kita ini, di berbagai aspeknya. 

Kekuasaan Hanya Media, Bukan Tujuan

Penilaian kita terhadap kinerja Prabowo-Gibran tentu tak bisa diutarakan sekarang. Mereka baru mulai bekerja, bahkan sampai tulisan ini dibuat, kabinet belum diumumkan. Namun ada hal yang sangat krusial yang saya kita penting untuk sama-sama kita renungkan sebagai homo politicus. Renungan itu, yang tentu kita berharap dipegang teguh dan direnungkan pula oleh Prabowo dan wakilnya, adalah adagium termasyhur dari seorang sejarawan besar, John Emerich Edward Dalberg Acton. Atau lebih dikenal dengan Lord Acton. 

Pada 1887,  Lord Acton, sejarawan dan juga seorang liberal pendukung Perdana Menteri Gladstone, menulis surat kepada Uskup Creighton. Dalam suratnya inilah muncul kemudian adagium yang melekat dengan mamanya: Power tends to corrupt and absolute power corrupts absolutely. Kekuasaan cenderung korup, kekuasaan absolut pasti korup. 

Dengan mengatakan bahwa kekuasaan cenderung korup, Acton begitu ketat menaruh curiga pada kekuasaan. Ya, memang sudah seharusnya kita selalu curiga pada motif dan jalannya kekuasaan. Sekali saja kita permisif pada penyalahgunaannya, maka akibatnya akan sangat fatal. Kekuasaan atau otoritas -sebagaimana disinggung Hobbes, John Locke, dan Rousseau- eksis karena adanya kontrak sosial. Wujud riilnya tentu dalam proses politik yang demokratis, dimana rakyat menitipkan aspirasinya pada seorang pemimpin. 

Prabowo tentu tahu dan paham adagium Lord Acton. Kita harap Gibran pun demikian. Namun poin pentingnya adalah, Prabowo harus menjadikan kekuasaan sebagai media semata untuk mewujudkan mimpi-mimpi yang sering diutarakannya panjang lebar mengenai kesejahteraan rakyat. Bahkan sering ia sesumbar siap mati untuk rakyat. Presiden RI ke-8 itu harus menanamkan prinsip mutlak bahwa kekuasaan adalah media menuju maksud dan tujuan yang lebih luhur. Hanya media, dan bukan tujuan. Sekali saja kekuasaan dijadikan tujuan utama seorang pemimpin, kehancuran negara adalah bayarannya. Jokowi di penghujung jabatannya sudah mempraktekkannya dengan sangat baik. Kegagalannya untuk memperpanjang kekuasaan, membuat ia melegalkan cara apapun agar anaknya bisa dicalonkan. Miris memang. Namun paling tidak inilah contoh pemimpin yang dalam adagium Acton disebut korup. Korup karena ambisi menggenggam kekuasaan absolut.

Membatasi Ambisi

Prabowo bukan wujud sebuah harapan. Sama sekali bukan. Terlebih puja-pujinya pada Jokowi dan oportunisme politiknya dengan menggandeng Gibran demi kemenangan, membuatnya tak lebih dari seorang pragmatis politik. Namun sekali lagi kita ingin pemerintahan ini sukses. Karena apabila gagal, rakyat yang akan semakin menanggung beban. Karenanya, memegang teguh adagium Lord Acton adalah prinsip utama yang harus dimiliki Prabowo-Gibran, dengan menyadari bahwa kekuasaan tak lebih dari media dan bukan tujuan. Karenanya ambisi kekuasaan perlu limitasi.

Dalam pidato perdananya sebagai presiden, Prabowo menyinggung tentang kekuasaan. Sebagaimana dikutip Kompas, Prabowo dengan lantang mengatakan bahwa: “Kekuasaan itu milik rakyat. Kedaulatan itu adalah kedaulatan rakyat. Kita berkuasa seizin rakyat. Kita menjalankan kekuasaan harus untuk kepentingan rakyat”. Retorika ini jelas sekali menunjukkan bahwa ‘sepertinya’ Prabowo akan menjunjung tinggi kedaulatan rakyat dan kepentingan rakyat. Namun apalah arti retorika tanpa realita. Untuk mewujudkan retorika dan idenya, Prabowo sekali lagi perlu menanamkan prinsip limitasi kekuasaan. Bisa dilakukan dengan beberapa cara, dan saya memiliki beberapa catatan tentang itu.

Pertama, De-Jokowisasi. Prabowo harus berani meninggalkan praktik politik Jokowi yang ugal-ugalan. Kendati mendeklarasikan diri sebagai penerus kebijakan Jokowi, Prabowo tidak boleh mengikuti langkah pendahulunya itu dalam melegalkan segala cara untuk meraih ambisi kekuasaan. Manipulasi, sikap plonga-plongo seakan tak tahu padahal kelicikannya sedang bekerja, dan pencitraan yang berlebihan memoles dirinya, membuat muak siapapun yang berakal sehat. Apabila Prabowo ingin membuktikan bahwa ia konsekuen dengan ucapannya bahwa kekuasaan adalah kedaulatan rakyat, maka ia harus melakukan de-Jokowisasi dalam langkah dan kebijakan politiknya, termasuk dengan tidak mengizinkan Jokowi mengintervensi kebijakan ataupun kabinetnya.

Kedua, membuka seluas mungkin ruang kebebasan sipil dan politik (civil and political liberties). Oposisi parlementarian sudah beku. Kekuasaan begitu membengkak dalam pemerintahan Prabowo dengan adanya KIM plus, saat dimana hampir semua partai mendukung pemerintah. Dengan bekunya potensi oposisi parlemen, satu-satunya harapan balance of power adalah dari masyarakat sipil. Mulai dari dosen, mahasiswa, para aktivis, dan media harus diberikan ruang menjadi narasi alternatif bagi kebijakan pemerintah. Setiap suara berbeda yang keras mengkritik pemerintah tidak boleh dianggap pemecah belah dan anti persatuan. Hilangkan pemikiran dungu itu. Dengan adanya ruang kebebasan sipil dan politik, potensi akumulasi kekuasaan yang berlebihan yang dalam adagium Lord Acton disebut absolute power, bisa dihindari. 

Ketiga, perkuat koalisi rakyat. Dua poin di atas lebih pada apa yang bisa dilakukan pemerintah, sedangkan poin ketiga ini menyangkut apa yang bisa dan harus dilakukan rakyat. Rakyat harus paham bahwa seluruh elit politik kini sudah solid. Tukar tambah kekuasaan sedang berlangsung bebas. Balas jasa akan terlihat secara telanjang. Elit yang bersatu sangat berpotensi menjadi kekuatan mengerikan yang dalam terminologi Hobbes dikenal istilah Leviathan, yang bisa mencabik-cabik rakyat untuk kepentingan dan kekuasaan mereka. Jika elit bisa solid untuk kepentingan mereka, kita rakyat pun harus solid untuk kepentingan kita yang lebih utama. Kita adalah pemilih supremasi kekuasaan. Kita adalah pemilik kedaulatan. Koalisi rakyat bisa diperkuat dengan kritisisme yang tajam memantau jalannya pemerintahan. Jika ada yang melenceng, jangan ragu suarakan dengan lantang baik dengan aksi demonstrasi maupun tulisan kritik tajam. Jangan biarkan elit menikmati kekuasaan disaat rakyat tertindas dan sengsara. 

Sekali lagi, kita berharap Prabowo dan wakilnya bisa konsekuen atas janjinya dan tetap memegang peringatan Lord Acton lebih dari satu abad lampau. Barangkali akan sangat baik sekali jika ada penasihat Prabowo atau Gibran yang menyarankan menyimpan kutipan Lord Acton di meja kerja atau kamar pribadinya. Setiap bekerja di belakang meja atau memasuki kamar tidur, Prabowo-Gibran akan selalu disuguhi kutipan: Power tends to corrupt and absolute power corrupts absolutely.

 

Adrian Aulia Rahman
Adrian Aulia Rahman Mahasiswa S1 Ilmu Sejarah Universitas Padjajaran. Tartarik terhadap isu-isu hubungan internasional, politik domestik dan sejarah

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Dapatkan tulisan-tulisan menarik setiap saat dengan berlangganan melalalui email