Tata Cara Mengiris Negeri
Ambillah pisau tajam bernama efisiensi,
lalu letakkan negeri ini di atas talenan.
Pegang erat, jangan ragu,
irislah dengan tangan mantap,
tapi hati-hati,
jangan sampai melukai jari-jarimu sendiri.
Mulailah dari tepian:
potong anggaran kesehatan,
biarkan rumah sakit menua,
biarkan tubuh-tubuh ringkih mengantre napas,
biarkan bayi menangis tanpa inkubator,
biarkan pasien memohon di lorong-lorong sepi,
mengadukan nyawa mereka pada kasur yang telah berdebu.
Biarkan darah mengalir,
asal bukan dari dompet pejabat.
Lanjutkan ke daging lunak bernama pendidikan.
Kupas perlahan, buang bagian yang dianggap mubazir:
buku-buku, gaji guru, beasiswa anak tani.
Biarkan mereka belajar di bawah atap yang bocor,
beralaskan lantai tanah,
menulis dengan pensil patah,
menghapal janji-janji yang tak pernah ditepati.
Jadikan kebodohan sebagai warisan,
sebab orang cerdas terlalu berani bertanya.
Kini tibalah pada otot dan nadi:
subsidi pangan, listrik, dan air.
Potong!
Biarkan harga melompat seperti ikan terperangkap jaring,
biarkan rakyat menyesap lapar seperti angin menyusup celah jendela.
Sebab kenyang bukan hak mereka,
mereka hanya angka dalam laporan tahunan,
yang bisa dicoret, bisa ditambah, bisa dihapus,
sesuka tangan-tangan di ruang sidang ber-AC.
Jangan lupakan tulang-tulang kasar:
pekerja, buruh, petani, nelayan.
Remukkan sedikit, patahkan sendinya,
biarkan mereka bekerja lebih lama,
tanpa upah layak, tanpa jaminan esok hari.
Biarkan mereka membungkuk di bawah terik,
menyerahkan keringat untuk membangun negeri,
yang tak pernah memberi mereka tempat di bawah atapnya sendiri.
Jika ada yang berteriak,
bungkus mulut mereka dengan retorika manis,
tentang pengorbanan demi negara,
tentang pembangunan yang butuh waktu lama.
Jika mereka masih melawan,
sirami dengan gas air mata,
agar suara mereka menghilang,
bersama asap yang mengepul di jalanan.
Jika mereka menulis protes,
sobek kertasnya, bakar kata-katanya,
lalu umumkan di televisi:
“Negara aman, rakyat bahagia, ekonomi stabil.”
Jika mereka menangis,
katakan bahwa air mata adalah wujud cinta,
bahwa penderitaan adalah bentuk pengabdian,
bahwa kelaparan hanyalah cobaan.
Dan jika mereka mati dalam diam,
katakan bahwa mereka pergi dengan penuh keikhlasan.
Lalu, setelah semuanya terkikis,
setelah negeri ini kurus kering,
setelah setiap ruasnya tak lagi berdaging,
barulah kau angkat pisau itu,
lap bersih dengan sapu tangan sutramu.
Tatap cermin, tersenyumlah,
dan ucapkan dengan bangga:
“Kami telah berhasil mengefisiensi anggaran.”
Sementara di luar sana,
seorang anak kecil mengais tempat sampah mencari makan,
seorang ibu menghitung receh untuk beras setengah liter,
seorang lelaki tua berbaring di trotoar,
memandang lampu-lampu gedung yang terang,
dan bertanya:
“Negeri ini hemat untuk siapa?”
–
Upacara Pemakaman Akal Sehat
Hadirin sekalian, selamat datang!
Hari ini kita berkumpul bukan untuk berpikir,
tapi untuk merayakan kematian akal sehat.
Mohon berdiri, mari kita beri penghormatan terakhir
kepada sesuatu yang dulu bernama logika.
Lihatlah peti matinya,
dibuat dari kayu dogma,
dipaku rapat dengan opini pribadi,
dihiasi bunga-bunga prasangka,
dan ukiran indah dari “katanya”, “konon”, dan “aku rasa”.
Silakan berbaris, ucapkan belasungkawa.
Tuan pertama, pemuka hoaks, maju ke depan.
“Ilmu? Itu hanya alat propaganda!
Kami lebih percaya grup WhatsApp keluarga,
karena di sanalah kebenaran lahir!”
Terima kasih, sungguh pidato yang menggugah.
Kini giliran Ibu Penganut Mitos.
“Kesehatan? Ah, cukup air rebusan daun,
vaksin hanya konspirasi, dokter cuma jualan obat!”
Sungguh keyakinan yang tak tergoyahkan.
Silakan duduk, tepuk tangan untuk beliau.
Selanjutnya, Yang Mulia Para Politikus.
“Kami tak butuh fakta, hanya suara mayoritas!
Kami akan menetapkan hukum berdasarkan trending topic,
karena kebenaran sejati adalah yang paling viral!”
Luar biasa, sungguh kepemimpinan yang visioner!
Di barisan belakang,
kaum akademisi yang tersisa hanya bisa terdiam.
Dulu mereka pilar peradaban,
kini sekadar hantu di sudut ruangan,
menyaksikan kemunduran dengan mata sayu.
Lalu hadirin, marilah kita angkat sekop,
kuburkan akal sehat bersama sejarah,
biarkan dunia berjalan tanpa beban,
tanpa analisis, tanpa pertanyaan,
tanpa perlu repot-repot membedakan fakta dan fiksi.
Terakhir, sebelum bubar,
jangan lupa ambil cinderamata di pintu keluar.
Setiap tamu mendapat satu paket eksklusif:
sebungkus ego, segelas kebodohan,
dan brosur bertajuk “Merasa Pintar Tanpa Harus Berpikir”.
Sekian upacara hari ini,
terima kasih telah hadir.
Silakan kembali ke hidup masing-masing,
dan ingat, jangan terlalu banyak bertanya—
itu hanya akan membuat segalanya rumit!
–
Santapan Gratis yang Paling Mahal di Bumi
Hari ini, sekolah bersorak gembira,
nasi putih mengepul di piring plastik warna-warni,
telur dadar setipis harapan diletakkan rapi,
segelas air bening seperti janji yang menguap ke langit tinggi.
“Anak-anak tidak boleh kelaparan!” seru mereka di layar kaca,
dengan jas mahal, dasi ketat, senyum yang penuh busa.
Satu anak makan siang gratis—
negara bertepuk tangan, para pejabat merasa manis.
Tapi di rumah yang jauh dari meja konferensi,
ibu menatap dapur seperti museum tragedi.
Panci-panci berdebu tanpa tanda kehidupan,
beras di toples tinggal kenangan.
Ayah pulang dengan langkah lesu,
menghitung receh di saku yang berlubang,
menimbang-nimbang,
mana yang lebih dulu dijual: kasur atau harga diri?
Makan siang gratis di sekolah,
tapi makan malam hilang dari meja rumah.
Satu anak diselamatkan di siang bolong,
satu keluarga tersesat dalam kelaparan yang digendong.
Mereka bilang, “Ini demi masa depan, demi generasi emas!”
Tapi siapa yang peduli pada generasi yang merintih keras?
Di mana otak kenyang jika perut orang tua kempis?
Di mana masa depan jika hari ini saja tragis?
Bendera berkibar, angka-angka dilaporkan,
statistik keberhasilan dipuja-puja di panggung besar.
Tapi di lorong-lorong gelap yang tak tersorot cahaya,
seorang ibu mengulum air liur,
berharap rasa lapar bisa diisap udara.
Mereka tepuk tangan atas nasi satu piring,
tapi tak melihat meja-meja kosong yang menjerit nyaring.
Pejabat tertawa di gedung megah,
rakyat mengais di tong sampah.
Negara memang penuh kejutan,
dengan skema yang licin dan anggaran yang menguap perlahan.
Hari ini, satu anak diberi makan—
besok, siapa tahu,
giliran kita yang dimakan.
–
Makna yang Tersesat di Antara Halaman Buku
Kita—huruf-huruf yang bergetar di antara jeda
Diapit dua halaman yang tak pernah sepakat
Sejarah menulis kita dengan tinta yang samar
Dan kita pun bertanya: benarkah kita pernah ada?
Sebuah kisah mati sebelum sempat bernapas,
Terjerembab di antara koma yang terlalu lama ragu.
Kita membaca diri kita di dalam buku-buku tua,
Tapi nama kita tak pernah cukup penting untuk ditulis.
Apakah kebenaran lahir dari tangan yang menang?
Apakah dusta terjaga dalam bait-bait yang tak terbaca?
Lihatlah—berapa banyak tokoh agung yang hanya menjadi catatan kaki?
Berapa banyak yang bertahan, hanya untuk dilupakan?
Kita menyusun ulang bab-bab yang berserakan
Memunguti makna yang jatuh di antara lipatan waktu
Seakan berharap bahwa dengan menata kata
Kita bisa menulis ulang takdir yang sudah lama membatu.
Dan nanti, ketika buku-buku ini akhirnya tertutup
Saat rak-rak berdebu dan halaman-halaman menguning
Kita pun akan bertanya,
Apakah kita menulis makna atau hanya sekadar mengisi ruang?
Apakah kita akan diingat, atau hanya menjadi sisa huruf yang tersesat?
Maka jangan diam, biarkan pena berdarah
Lukiskan kisah sebelum tinta mengering
Tulis, meski dunia tak mau membaca
Tulis, meski kau tahu tak semua makna akan sampai.
–
Elegi Pada Singgasana Hampa
Denting waktu menggema di ruang tak bernama,
Di mana mahkota hanya sekadar lingkaran duri,
Tahta berlapis emas yang retak dalam diam,
Mengusung beban janji yang hampa makna.
Para penjaga istana berpakaian mimikri,
Berselimut jargon, bersepatu angkuh,
Namun jejaknya hilang di lumpur ketidakpedulian,
Meninggalkan rakyat sebagai bayang-bayang.
Perempuan, bak rembulan dalam kabut,
Cahayanya dipinjam untuk menerangi dusta,
Dipahat menjadi patung yang tak mengenal suara,
Hanya elok untuk dipuja, tak pernah didengar.
Di meja panjang yang bernoda kepentingan,
Setiap suara perempuan adalah petikan kecapi,
Indah namun ditenggelamkan genderang perang ego,
Liriknya patah sebelum sampai pada pendengar.
Apa guna anggur yang dituangkan dalam piala retak?
Minuman kebijakan itu mengalir keluar,
Membasahi tanah tanpa kehidupan,
Meninggalkan haus yang tak terpuaskan.
Negeri ini adalah labirin tanpa cahaya,
Di mana kesetaraan menjadi mitos dalam dongeng,
Sementara patriarki berdiri sebagai penjaga gerbang,
Mengunci mimpi perempuan dalam sangkar keheningan.
Namun lihatlah, angin perlahan menusuk celah-celah baja,
Menyusup lembut namun tak terhentikan,
Ia membawa suara yang selama ini dibungkam,
Meniup bara kecil menjadi api yang menggulung.
Bukan piala emas yang kami inginkan,
Hanya ladang luas tempat benih kami tumbuh,
Dengan hujan keadilan yang tak berpihak,
Di mana semua berdiri setara, tanpa ilusi hierarki.
–
Sepasang Tali Sepatu dan Luka Tak Bernama
Di ujung malam, aku tunduk pada keraguan,
membiarkan waktu mengikis pikiranku yang goyah,
sementara kau meringkuk di sudut ruangan,
membalut dirimu dengan diam, seolah itu satu-satunya perlindungan yang tersisa.
Aku menatapmu, mencoba menafsirkan,
“Apakah yang kau takutkan lebih besar dari yang kusesali?”
Di matamu, ada bayang-bayang malam yang tak pernah tidur,
sejarah panjang yang kau lipat rapi, tapi tetap merembes di sudut-sudut bibirmu.
Aku mengenalkan sepasang tali sepatu merah muda
pada sepasang mata yang masih percaya pada dunia,
yang tak letih-letihnya bicara,
yang tak luruh tawanya,
seolah luka adalah sesuatu yang hanya hidup di dunia lain.
Kita duduk di tepi waktu,
di antara desir angin yang membawa suara-suara yang tak sempat kita selesaikan,
menatap semesta yang diam-diam diam di genggaman tangan,
seperti dandelion yang terlalu kau genggam erat,
takut tertiup angin,
takut akan hilang sebelum sempat kau titipkan harapan.
“Kau tahu,” katamu dengan suara lelah,
“Aku selalu ingin pulang, tapi aku tidak tahu di mana rumahku berada.”
Dan malam itu, tanpa aba-aba, kau mulai menanggalkan segalanya.
Segala topeng dan jubah yang selama ini kau kenakan agar dunia tetap percaya
bahwa kau baik-baik saja.
Kau biarkan dirimu telanjang dalam arti yang paling sunyi.
Menanggalkan tawa yang kau pakai setiap pagi,
menanggalkan tutur kata yang selalu terdengar tegar,
menanggalkan beban yang selama ini hanya kau pikul sendiri.
Di hadapanku, kau menjadi seseorang yang akhirnya lelah berpura-pura.
Melepaskan kepalsuan seperti melepas sepatu usang setelah perjalanan panjang,
mengakui bahwa kau telah letih—
dengan dunia yang terlalu banyak meminta,
dengan hidup yang terasa seperti sandiwara yang kau perankan tanpa naskah.
Dan aku hanya diam.
Karena apa yang bisa kukatakan?
Beberapa kelelahan tidak butuh jawaban,
hanya butuh ruang untuk bernapas.
Jadi aku hanya duduk di sana, membiarkanmu meluruhkan semua yang membebani,
membiarkanmu menjadi dirimu yang sebenar-benarnya.
Lalu ketika pagi datang,
kau kembali pergi,
meninggalkan sepasang tali sepatu merah muda di tepi ranjang—
tanpa debu,
tanpa jejak,
tanpa siapa-siapa yang bisa menemani langkahnya pulang.
*****
Editor: Moch Aldy MA