Penulis dan Imajinator Ulung. Aku akan menjadi penulis buku best seller Indonesia

Menunggu Sungguh Bukan Pekerjaan yang Menyenangkan

safi sahri

4 min read

“Aku akan menunggu.”

“Sampai kapan?”

“Sampai kamu datang kembali.”

“Yakin? Menunggu sungguh bukan pekerjaan yang menyenangkan.”

Di ruang dan dimensi yang semakin meluas dan menyempit ini, distorsi menjadi hal mutlak dalam neraca kehidupan yang seringkali tidak seimbang. Hanya ada dua pilihan. Setidaknya itu yang kudengar. Menunggu, atau berhenti untuk melupakan. Berharap pada kemungkinan adalah cela dan aib yang tak patut dipertontonkan. Meskipun begitu, kita harus tetap memupuknya hanya agar kita masih punya alasan untuk bertahan.

Demitri hanya menginginkan sebuah rumah. Sarang. Tempat peraduan. Ia menjanjikannya kepadaku. Tidak perlu luas. Cukup empat puluh dua meter persegi. Meski rumah itu belum berwujud, kami bisa menggambarkannya dengan jelas. Satu daun pintu dengan dua jendela tinggi di bagian depan. Selembar teras keramik yang cukup untuk duduk bersantai. Demitri meminta dua buah kursi dengan satu meja di teras depan. Lengkap dengan pot yang berisi aneka tanaman. Dia memang suka bercocok tanam. Rumah kami tidak perlu AC karena akan ada sembilan jendela. Masing-masing dua di depan, dua di ruang keluarga, menghadap ke kebun, tiga yang lain masing-masing di tiap kamar, dan dua jendela yang tersisa berada di dapur dan ruang belakang.

“Mengapa begitu banyak jendela?”

“Aku suka punya rumah yang berjendela banyak. Jadi tidak pengap.”

Impian yang sederhana. Sekedar penghibur hidup.

Lelucon?

Apa yang lebih penting dari sebuah jumlah paket energi terkecil yang dapat dipancarkan atau diserap oleh atom atau molekul dalam bentuk radiasi elektromagnetik? Norma memiliki semuanya. Impianku. Harapanku. Semua angan-anganku. Tapi tidak dengan kebahagiaan milikku. Setidaknya tiga gelar berderet mengiringi namanya. Satu di depan, dua lainnya di belakang namanya. Amboi!

Seiring dengan embusan napas yang mengalun teratur serupa instrumen Mozart dalam harmoni yang mengalun, aku memandang Norman dengan prihatin. Wajah kusut masai. Mata cekung. Tubuh kering meranggas. Macam pohon cemara angin yang tersambar kilat. Petang ini ia kembali datang. Masih sama dengan sebelumnya. Keluh kesah. Kekesalan. Dia tak perlu lagi bercerita panjang lebar karena aku telah mengetahui semuanya. Dua puluh satu kali setidaknya dia pernah mengulangnya. Aku menghafal tiap kalimat. Tiap jeda. Dan tiap kali emosi yang kerap mencuat kala dia menyebutkan suatu frase tertentu. Keluarga. Anak. Istri. Kolega. Hanya berputar-putar di sana. Menganggap tidak ada kerumitan yang lebih agung dibanding masalahnya.

Polarisasi hidup yang menggelikan memang kerap terjadi. Hadir dalam pola dan bentuk yang berbeda. Siapa peduli. Kudengar kemarin Dista, saudara Norman bunuh diri dengan menenggak racun. Alangkah baiknya itu. Setidaknya dia bisa mewariskan dua belas petak lahan. Masing-masing tujuh petak sawah dan lima ladang jagung ke dua anaknya. Celaka! Tidak ada yang bisa menjelaskan mengapa Niar dan Niko menjadi seperempat waras. Berita yang sampai kepadaku adalah tekanan yang kerap diterima secara sporadis mengakibatkan senyum sering tersungging dari bibir mereka tanpa bisa dikendalikan lagi.

Ah, itu tidak penting. Toh sejatinya aku terlalu sibuk dengan impian dan angan-anganku. Memiliki sebuah rumah, tinggal bersama untuk menghimpun anak-anak dalam kebahagiaan. Tentu tidak ada yang murah untuk setiap impian. Pengorbanan yang tak sedikit seringkali harus dibayarkan. Apa itu penting? Kurasa tidak. Aku rela menukar semua kepedihan kini untuk kebahagian yang dijanjikan esok hari. Meski semua harus tunduk pada probabilitas dan skala kehidupan yang serba relatif, merencakan kehidupan masa yang akan datang bukanlah tindakan yang tercela.

Norman kembali datang. Masih dengan keluh kesahnya. Aku rela menunggu. Waktu yang terasa lama. Ruang yang kian menyempit. Kali ini dia menekankan kata istri. Ah, aku tahu. Istrinya kembali bercumbu dengan kumbang jalang di luar sana. Lalu anak-anak. Ah, anak-anaknya kembali memegang botol sambil sempoyongan sepanjang malam. Lalu apa lagi? Karier. Uangnya habis untuk mencicil bank. Oh, demi pohon-pohon! Aku ingin menyumpal mulut Norman. Apa yang bisa aku—wanita yang masih menumpang ini lakukan untuknya? Aku hanya punya harapan dan angan-angan. Dan berita buruknya, angan-anganku tak menyelesaikan apa-apa baginya.

Sementara Norman sibuk dengan keluh kesahnya, Niar berjalan di depan rumahku. Terkikik. Sesekali dia melempar kerikil ke jendela depan rumahku. Ah, bukan. Maksudnya rumah ibuku. Bunyi ‘ting’ beberapa kali terdengar. Aku mendelik ke arah Niar. Dia memeletkan lidah sambil membelalakkan mata. Mencibir kepadaku. Dasar gila!

Pun daripada itu, aku tetap bersabar menunggu. Menanti ia kembali. Meski ruang terasa semakin menyempit, aku tetap bertahan. Ruang terasa makin menyempit dengan celotehan dan cibiran mulut-mulut tercela itu. Bukan hanya dari ibu, tetangga-tetangga berengsek itu juga gemar sekali mengusik urusan orang lain. Persetan dengan anggapan perawan tua. Mereka hanya tidak tahu. Aku hanya sedang menunggu. Aku menunggu harapan dan angan-angan yang diciptakan oleh Demitri mewujud. Lagipula, siapa mereka berani mengusik ketenanganku? Tak sebutir nasipun masuk ke mulutku dari periuk mereka.

Oh, Ibu! Aku sudah mengatakan padamu untuk menutup telinga. Apa susahnya berpaling dari perempuan-perempuan ular itu?

“Apa ibu tidak sadar kalau selama ini menjadi penyambung omongan perempuan-perempuan ular itu?”

Ibu mendelik. “Kalau kau bosan dengan celotehan itu, menikahlah!”

“Aku menikah karena keinginanku, Bu. Bukan karena keinginan, apalagi karena celotehan perempuan-perempuan ular itu.”

Ibu mendengus. Dari mulutnya, bermacam-macam celoteh yang memojokanku kembali berhamburan.

“Bu … kalau Ibu tak ingin kuanggap perempuan ular juga, sebaiknya ibu berhenti bicara!”

Ibu mendelik siap menyemprotku. Aku berpaling ke kamar, membanting pintu keras-keras.

Norman masih gemar datang ke rumah. Masih dengan keluh kesahnya. Entah sudah berapa kali dia datang ke sini. Aku memutuskan berhenti menghitung. Niar masih tetap sama. Betah sekali dia berjalan-jalan di depan rumahku. Betah juga untuk terus melempar kerikil ke jendela depan. Aku mendelik. Dia menjulurkan lidah dan membelalakan mata. Lain Niar, maka lain pula Niko. Niko sibuk dengan warisan Ibunya. Sibuk mencabut batang-batang padi yang baru saja ditanam dan mencabut jagung-jagung yang masih muda. Tirkum, paman mereka berdua berbaik hati mengurus lahan warisan ibunya. Kalau bukan disebut merampas lebih tepatnya. Sepuluh kuli yang mengurus lahan sering merasa kesal mengetahui tanaman mereka dirusak. Jika tak mengingat kedudukan Niko sebagai anak mantan majikan mereka, sudah pasti kuli-kuli berkulit legam itu akan meraupkan lumpur ke mukanya.

Menunggu sungguh bukan pekerjaan yang menyenangkan. Sepertinya aku mulai memercayai kalimat itu. Terkurung dalam ruang dan waktu yang serba melambat sungguh sangat menyiksa. Setiap detik napas dalam penantian adalah siksaan tak kasat mata. Seperti bertaruh dengan mata dadu tanpa titik. Setiap yang keluar hanyalah dadu polos tanpa titik pola. Norman juga berkata demikian. Semuakan terasa makin menyempit. Melambat.  Barangkali hanya di dalam dunia Niar dan Niko saja waktu berjalan begitu stabil. Atau barangkali lebih cepat. Siapa yang bisa memastikan.

Rumah itu masih tetap berada di dalam impianku. Biarlah dia tetap berada di sana. Tidak lupa aku memupuknya setiap hari. Membiarkannya tetap tumbuh subur. Menyenangkan sekali tiap melihatnya mekar di pagi hari. Namun, senja adalah kutukan bagi impian yang tumbuh subur itu. Dia layu. Mati. Tepat saat matahari telah sempurna ditelan malam. Aku mendapati kenyataan bahwa Demitri tak kunjung datang. Kabar darinya hanya serupa angin penghibur. Ada. Tapi tak kasat mata. Terkadang hanya sekedar lewat tanpa aku pernah merasakannya.

Dan semuanya kian menyempit setelah lebih dari lima kalender telah sempurna kulipat. Dia tak kunjung datang mewujudkan janjinya. Demitri, demi pohon-pohon, kau sungguh lelaki brengsek!

*****

Editor: Moch Aldy MA

safi sahri
safi sahri Penulis dan Imajinator Ulung. Aku akan menjadi penulis buku best seller Indonesia

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Dapatkan tulisan-tulisan menarik setiap saat dengan berlangganan melalalui email