menikmati sepakbola dari pinggiran

Tali Kekang

Ilham Badawi IB

4 min read

Langit menghitam kelam. Deru angin menggoyang rimbunan daun pohon karet. Rintik hujan yang tersapu bayu memaksa Salasa berlari kecil ke arah sebuah batu besar berceruk. Meski tubuhnya terlalu besar untuk sekadar berteduh, asalkan tiga kambing piaraannya terhindar dari air hujan. 

Salasa terjebak badai di tepi hari yang kian temaram, di perkebunan karet yang teramat seram. Kaus oblong bertuliskan “PT Solum Berdikari” dan celana pendek berbahan jeans basah menembus kulit tubuhnya. Dingin menyerang sampai ke tulang. Kakinya gemetar tak keruan.

Dipandangnya tiga ekor kambing piaraannya sedang meringkuk di bawah ceruk bebatuan. Si jantan berusaha melindungi si betina dan si kecil. Embikan pelan di antara mereka seperti merapalkan kegelisahan. Seolah ingin segera berlari menuju kandang dan menyelimuti tubuh dengan rerumputan, meski terkekang oleh seutas tali tambatan.

Salasa menggenggam tali kekang ketiga kambingnya sembari bersandar di dinding bebatuan. Di bawah guyuran hujan, wajahnya mendongak ke atas langit. Pikirannya jauh menyelam ke dalam liang kenangan. Di tempat ia berdiri, pernah ada kemalangan yang menimpa keluarganya di Dusun Pakkadeang. 

***

16 Agustus 1987. Sehari sebelum gegap gempita perayaan kemerdekaan, Dusun Pakkadeang sedang genting. Para suami dan kebanyakan anak muda mengikuti rapat di kolong rumah Pak Sabedi. Rencananya, esok sebelum pekerja PT Solum Berdikari berdatangan untuk menyadap karet, mereka akan melakukan reklaiming. Aksi ini sebagai bentuk protes atas pencaplokan lahan penduduk Dusun Pakkadeang oleh perusahaan milik seorang konglomerat di ibukota.

Salasa kecil berlarian bersama kawannya di tengah obrolan serius orang dewasa tentang keadilan dan kemerdekaan yang sesungguhnya. Sementara para ibu dan perempuan muda sibuk menanak panganan sebagai bekal persiapan di hari esok, hari yang sungguh genting bagi penduduk Dusun Pakkadeang.

Esoknya, tepat di waktu yang sama ketika lapangan utama Desa Akkalukuang mengumandangkan Indonesia Raya, ratusan warga Dusun Pakkadeang melancarkan aksi reklaiming-nya. Salasa beserta puluhan bocah lainnya dan juga para ibu serta perempuan muda harap-harap cemas menanti di kolong rumah Pak Sabedi. Nasib apakah kiranya yang menerpa mereka di ujung petang nanti.

Terik matahari terhalang gumpalan awan hitam. Hujan turun membasahi Pakkadeang, ketika paman Salasa, Pak Sabeddu menghampiri kerumunan ibu-ibu. Napasnya terengah, tubuhnya sempoyongan. Darah segar mengalir di pelipis kirinya. Betis kanannya sedikit menganga, seperti habis terkena sayatan benda tajam.

“Sabedi… Sabedi… Sabedi dibawa preman.” Sabeddu jatuh pingsan usai mengucap kata yang membuat seisi kolong rumah patah hati.

Malam di Dusun Pakkadeang begitu mencekam. Puluhan orang berpakaian preman lalu lalang. Para ibu dan perempuan muda sembunyi di balik kelambu, berselimut khawatir kepada para suami dan sanak saudara mereka yang entah ke mana perginya. Salasa menatap ibunya, seolah merajuk ingin dijelaskan tentang situasi apa yang menimpa dusunnya. Tapi, hanya diam yang ia dapati dari ibunya. Hening.

Seminggu berlalu, ketika sebagian dari para suami dan lelaki muda kembali dari persembunyian dan preman perusahaan tak lagi lalu lalang di jalan-jalan dusun, Pak Sabedi belum juga terlihat. Hanya dirinya yang tak diketahui keberadaannya, sementara yang lain sembunyi di ibukota provinsi, bahkan nekat menyeberang ke Kalimantan. Sebegitu mengerikannya situasi saat aksi reklaiming, hingga tak ada satupun warga Pakkadeang yang berani mengisahkan kepiluan itu, sampai hari ini.

Salasa tak henti-hentinya memberi tatapan penasaran kepada ibunya, tentang ayahnya yang entah bagaimana nasibnya. Namun, ibunya diam seribu bahasa. Di balik mukena, di atas sajadah, ia bersimpuh. Memohon petunjuk agar suaminya dikembalikan apa pun kondisi yang menyertainya.

Doa ibu Salasa terdengar oleh Tuhan ketika seorang penyadap karet datang memberi kabar. Di Lembah Arruntungang, sebelum keluar dari wilayah perkebunan karet menuju kawasan hutan desa terdapat batu besar dengan ceruk lebar. Di dalamnya, seorang lelaki terkapar dengan tubuh penuh sayatan parang dan tujuh peluru bersarang di dadanya. Pak Sabedi, seorang suami, seorang ayah, seorang teladan Pakkadeang meninggal begitu mengenaskan tanpa pernah memperoleh keadilan.

***

Hujan turun dengan derasnya, bercampur air mata yang mengalir dari pelupuk mata Salasa. Di balik batu besar berceruk, di tengah Lembah Arruntungang, Salasa tenggelam dalam kepiluan. Tubuhnya bergetar hebat, seolah akan meledakkan semua nestapa yang mengitari hidupnya selama ini.

Gelap semakin pekat. Belum ada tanda hujan akan berhenti. Salasa masih berdiri di atas derita, menatap ke arah ceruk di sampingnya. Tiga ekor kambing piaraannya lelap dalam kemesraan. Ibarat seorang suami yang tertidur pulas di samping istri dan anaknya. Rasa iri menyeruak dari nurani Salasa. Serawak, Malaysia tetiba menghampiri ingatannya.

***

Sarawak, 11 Januari 2005, di subuh hari yang berkabut, terdengar teriakan dan bunyi perabotan yang berjatuhan dari rumah kontrakan ujung gang sebelum pagar pembatas areal kilang minyak. 

Salasa baru saja pulang berjudi. Napasnya bau alkohol. Kepalanya pening dan tenggorokannya menahan rasa ingin muntah.  Ia mendapati rumahnya dalam keadaan mirip kapal pecah. Di dalam kamar, istrinya membongkar isi lemari. Mengeluarkan apa saja yang bisa dijangkau tangannya. 

“Apakah saya harus menanggung jutaan ringgit utangmu pada Mandor Safee?” bentak Sannari kepada suaminya sembari memasukkan secara asal pakaiannya ke dalam tas jinjing bertuliskan “PT Solum Berdikari”.

“Jadi kau mau pulang ke Pakkadeang?”

“Bukan urusanmu! Baliklah ke kawanmu di sana. Kau bisa berjudi sepuasnya, minum sebanyak kau mau.”

“Kalau gajiku dibayar penuh akhir bulan nanti, utang ke Mandor Safee bisa sedikit demi sedikit kita lunasi. Bersabarlah sedikit.”

“Sudah lima bulan kau mengulang perkataan itu. Bahkan uang yang kusimpan buat persalinan anak kita nanti, kau pakai pula di meja judi.”

“Kali ini saya janji. Janganlah kau balik ke Pakkadeang, anak kita sebulan lagi akan lahir.”

“Biarlah anak ini tak mengenali ayahnya, ketimbang ikut menanggung utangmu.”

Sannari berjalan cepat menuju pintu rumah. Keinginannya sudah bulat untuk meninggalkan suaminya. Salasa berusaha menahan dengan sedikit tenaga yang tersisa akibat pengaruh alkohol. Tubuhnya terempas begitu saja ketika Sannari menarik paksa genggaman tangan di pundak istrinya. Penglihatannya kabur sebelum Sannari hilang dari pandangannya.

***

Pakkadeang, 11 Januari 1998. Di radio, berita prahara politik nasional pun terdengar di sudut dusun yang dikelilingi perkebunan karet itu. Katanya, Presiden Soeharto bakal mundur dari tampuk kekuasaan nun jauh di sana. Di Pakkadeang, kehidupan masih berjalan normal. Tapi tidak dengan Salasa.

Prahara cinta sedang menggerogoti jiwanya. Senyum seorang gadis membangkitkan gairah hidup yang selama ini hilang sepeninggal Pak Sabedi dan ibunya. Salasa kehilangan ibunya, sebulan setelah tragedi di Lembah Arruntungang. Ibunya tertelan penderitaan sampai seluruh tubuhnya berakhir lumpuh. Di hari selasa, sebelum fajar menyembul di timur cakrawala, sang ibu mengembuskan napas terakhirnya.

Salasa menumpang hidup pada pamannya, Pak Sabeddu. Di hari-hari setelah ayah dan ibunya meninggal, ia seperti orang asing di Pakkadeang, bahkan di rumah pamannya sendiri. Tragedi memilukan sebelas tahun yang lalu membuat warga mengutuk Pak Sabedi dan keluarganya. Sebab, retorika perlawanan pada perusahaan berasal dari mulut pria pemberani itu. Salasa pun dianggap sebagai warisan yang layak dikucilkan. Bagi warga Pakkadeang, kesejahteraan yang pada akhirnya dihadirkan perkebunan karet jangan sampai ternodai oleh jiwa-jiwa pembangkang di masa mendatang.

Kehadiran Sannari, gadis yang datang dari Nunukan, Kalimantan memaksa Salasa tersenyum untuk kali pertama. Sendu wajahnya kini perlahan berganti cerah. Ada noktah kehidupan yang bangkit dari jiwanya. Kehangatan mengalir di seluruh tubuhnya ketika Sannari tanpa pamrih menukar senyum kepada Salasa saat berpapasan di tepi sungai dekat Lembah Arruntungang, sebulan yang lalu.

Kini, di Lembah Arruntungang, Salasa membuat janji temu kepada Sannari. Di tempat ayahnya tiada, ia ingin memulai kehidupan yang baru. Sebagai tanda cinta, ia membawa bibit pohon cendana. 

“Kita tanam di sini saja ya?” tunjuk Sannari ke arah barat, sekitar lima depa dari batu berceruk tempat Salasa menunggu.

“Semoga wanginya menyertai kehidupan kita di masa mendatang.” balas Salasa.

***

Lembah Arruntungang, Selasa, 11 Januari 2011. Tiga ekor kambing tanpa tali kekang berlarian di bawah pohon cendana yang tampak terasing di balik rimbunan kebun karet. Tak ada penyadap karet yang berani terlalu dekat, apalagi menebang pohon cendana itu. Terlebih, lima depa ke arah timur, sebuah batu besar berceruk pernah jadi saksi tragedi memilukan. Kesan angker dan menyeramkan menyertai area ini selama berpuluh tahun.

Hujan sudah berhenti sejak pukul 06.00 pagi itu, usai sempat mengundang petir di kala subuh. Penyadap berdatangan hendak memanen getah karet atau sekadar membersihkan rerumputan di sekitar pohon. 

Tiba-tiba seorang penyadap berteriak histeris dari atas Lembah Arruntungang.

Tidak jauh dari tempat ia berdiri, sebatang tubuh tergantung di dahan Pohon Cendana. Tubuh itu tampak gosong seperti habis tersambar petir dengan tali kekang masih melilit lehernya. Di bawahnya, tiga ekor kambing masih berlari kecil sembari mengembik pelan. Entah gembira ataukah bersedih, siapa yang tahu. Semerbak wangi cendana tercium ke mana-mana.

“Salasa itu! Salasa itu!” teriak seorang penyadap lainnya.

Salasa tak lagi merasakan sakitnya kekangan tali kehidupan. Di hari yang sama ketika tragedi di Lembah Arruntungang. Di hari yang sama saat kematian ibunya. Di hari yang sama waktu ditinggal istrinya. Dan di hari yang sama kala ia lahir ke dunia.

***

Editor: Ghufroni An’ars

Ilham Badawi IB
Ilham Badawi IB menikmati sepakbola dari pinggiran

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Dapatkan tulisan-tulisan menarik setiap saat dengan berlangganan melalalui email