Tuesdays with Morrie: Kelas Terakhir Sang Profesor

Mina Megawati

6 min read

Tidak semua manusia punya waktu untuk mempersiapkan bagaimana akhir kehidupannya seperti Morrie.  Semesta seperti memberi privilege bagi dosen mata kuliah Psikologi Sosial itu.

Profesor Morrie Schwartz merupakan dosen di Universitas Brandeis di kota Waltham, Massachusetts. Masa-masa terakhir sang profesor terekam baik lewat pita perekam dan tulisan oleh muridnya, Mitch Albom. Mitch jugalah penulis buku bergenre novel, memoar, biografi, fiksi filosofis, fiksi biografis ini. Tuesdays with Morrie dirilis tahun 1997 bercerita tentang masa-masa terakhir hidup Morrie. Tak seperti curhatan, buku ini lebih mirip kamus kehidupan bermakna kompleks.

Setelah vonis ALS (Amyotrophic Lateral Sclerosis) sebuah penyakit ganas yang menyerang sistem saraf diterimanya bulan Agustus 1994, dunianya berubah. Morrie harus rela melepaskan kegemaran berdansanya, bahkan ke kampus pun terengah-engah. Sampai-sampai di suatu pertemuan dia mengucapkan ketidakyakinan akan bisa sampai akhir semester dan meminta mahasiswanya memikirkan ulang sebelum menjalani kuliah penuh risiko ini.

Buku ini saya pinjam dari seorang guru sekitar tahun 2019-2020. Sebetulnya dia merekomendasikan saya membaca versi Inggris, namun karena tidak ditemukan maka dia meminjami versi bahasa Indonesia. Awalnya agak canggung membaca buku terjemahan, karena sama sekali berbeda dari buku yang langsung ditulis oleh orang Indonesia dengan mengikuti kaidah bahasa Indonesia.

Dua tahun tersimpan rapi di rak, sampai di akhir tahun 2022 buku ini kembali memanggil untuk dituntaskan. Betul saja, buku ini syarat pesan kehidupan. Membacanya juga tidak bisa buru-buru karena kenikmatan justru ada di momen meresapi pesan Morrie lewat tiap kelas Selasa-nya.

Akhir Desember 2022 saya tamat membacanya, dan kemudian memutuskan membaca kembali di Januari 2023. Alasan membacanya ulang karena saya berniat membuat semacam catatan hasil bacaan karena isi buku ini memang laik disebarkan. Bukan hanya karena makna yang mungkin terdengar klise, tapi Morrie masih mau menghabiskan waktu, tenaga, pikiran untuk menyelesaikan kelas Selasa dengan Mitch muridnya. Bahkan saat dia berada di antara maut yang siap merenggut nyawanya.

Dinamakan kelas Selasa karena mereka sepakat bertemu dan berbincang setiap pekan di hari Selasa. Seperti yang biasa mereka lakukan enam belas tahun lalu saat Mitch masih menjadi murid Morrie. ‘Manusia Selasa’ begitu guru dan muridnya menjuluki diri mereka.

Pertemuan yang berjumlah empat belas itu dijuduli kuliah Makna Hidup di mana setiap kelasnya tak diperlukan buku-buku pelajaran, tidak ada nilai mata kuliah, namun pesertanya wajib mengikuti ujian lisan atas pertanyaan yang saling mereka lontarkan. Akhir dari tulisan ini bermuara menjadi sebuah buku dengan judul sesuai dengan pertemuan rutin di hari Selasa, yaitu Tuesdays with Morrie (Selasa Bersama Morrie).

Perkuliahan Akhir Seorang Profesor: Empat Belas Kelas Selasa

“Belajarlah dari lambat dan perlahannya proses kematianku. Perhatikan apa pun yang terjadi padaku. Belajarlah bersamaku,” kata Morrie sebagai obyek proyek buku berwujud manusia.

Awalnya saya berniat membuat kesimpulan atas kelas-kelas Selasa Morrie. Tapi, seperti ada rasa sayang memenggal pesan penting dari seseorang yang hidupnya akan segera berakhir. Untuk itulah saya memutuskan menjabarkan keempat belas kelas yang ditutup dengan prosesi wisuda: pemakaman Sang Profesor.

Selasa Pertama: Bicara Tentang Dunia

Enam belas tahun tanpa kontak dikhawatirkan Mitch akan menimbulkan kecanggungan. Namun kecanggungan justru dirasakannya sendiri ketika mendapati tubuh dosennya mengalami atrofi atau penyusutan sangat parah. Kita bahkan dapat melingkarkan jemari ke sekeliling pahanya. Mitch diempas kesedihan dan sesal, mengapa pertemuan ini terjadi saat kondisi dosennya tak baik sama sekali.

Selain mengenai fisik, Mitch pun heran mengapa Morrie yang sedang dalam kondisi tak baik masih saja menggunakan waktunya untuk membaca koran. Padahal melihat kejadian di luar sana justru bisa memicu overthinking.

Berbeda pandangan, Morrie merasa dengan membaca atau menonton TV dia menemukan banyak orang di luar sana yang merasakan penderitaan serupa. Mungkin itu membuat Morrie merasa memiliki rekan sepenanggungan. Bahkan dia bisa ikut menangis karenanya.

Kini, Morrie memandang hidup secara unik. Fokus pada hal penting dalam hidup. Baginya manusia harus memiliki dua hal sebelum melakukan sesuatu; waktu dan alasan. Meskipun tak dapat beraktivitas normal dia merasa penting memiliki dua hal itu.

Selasa Kedua: Mengasihani Diri Sendiri

Setiap pagi menjadi saat berkabung bagi Morrie. Ketika menggerakkan tubuh lalu mendapati ada kemampuan yang hilang ia lantas berkabung karenanya.

Dia bersedih karena lambat dan menyiksanya proses kematian. Ia memberi kesempatan kepada dirinya untuk menangis jika perlu. Tapi setelahnya, ia pusatkan perhatian kepada segala hal yang masih baik di hidup.

Dia tak membiarkan dirinya hanyut dalam rasa kasihan berlebihan. Cukup beberapa tetes air mata setiap pagi, kemudian menghadapi hari dengan tegar. Dia masih bersyukur atas kesempatan untuk mengucapkan salam perpisahan.

Selasa Ketiga: Penyesalan Diri

Morrie memandang hidup dari suatu tempat yang sangat berbeda dari kebanyakan orang. Sebuah tempat yang lebih sehat, tempat yang membuat orang lebih peka.

“Kita ini terlalu sibuk dengan triliunan perkara kecil yang membuat kita tak bisa berdiam diri sejenak untuk merenungkan hidup,” ucap Morrie. “Apakah kita pedulikan orang lain atau ‘anak kecil’ dalam diri kita sendiri?”

Selasa Keempat: Kematian

Morrie sudah memakai bantuan oksigen melalui pipa plastik panjang ke hidungnya. Meskipun tak nyaman, Morrie tetap melanjutkan kelasnya. Kalau kita percaya akan kematian, kita akan mengerjakan sesuatu secara berbeda. Karena kebanyakan dari kita hidup seperti orang yang berjalan sambil tidur. Kita terlalu sibuk dengan urusan kebendaan dan ternyata semua itu tidaklah membuat puas.

“Belajar tentang cara mati, maka kita belajar tentang cara hidup.”

Selasa Kelima: Keluarga

Peran keluarga begitu berarti bagi Morrie. Bagaimana jika dia melewati hari dengan tubuh kian melemah seorang diri tanpa istri dan anak. Baginya tak ada fondasi dan landasan yang lebih kokoh selain keluarga. Dukungan, cinta, kasih sayang, dan perhatian dari keluarga membuat kita seperti memiliki apa pun.

Morrie punya sudut pandang lain tentang memiliki anak. Banyak yang memandang anak sebagai penghalang orangtuanya, memaksa kita melakukan tugas-tugas sebagai ‘orangtua’. Namun tetap saja pengalaman punya anak tak ada bandingannya. Sebuah peran yang tak tergantikan.

Selasa Keenam: Mengulik Emosi

Keadaan Morrie memburuk. Dia kerap terjaga, batuk berjam-jam akibat lendir yang mengental di tenggorokan. Makin sulit baginya untuk menelan lendir itu. Dia perlu tenang sejenak mengatur napas tersengal sebelum memulai kelas.

Morrie mengingat ajaran Buddhisme tentang janganlah mengikatkan diri pada kebendaan, karena segala sesuatu tidak kekal. Ada kalanya kita perlu mematikan rasa atas perasaan asing yang singgah. ‘Mematikan rasa’ tak berarti membiarkan pengalaman, namun justru sedang meresapi pengalaman itu sendiri.

Belajar mematikan perasaan serupa belajar melepaskan kemelekatan pada kebendaan, karena segala sesuatu tidaklah kekal. Morrie sedang melepaskan rasa nyeri, rasa takut akibat penyakitnya.

Selasa Ketujuh: Takut Menjadi Tua

Morrie kehilangan satu lagi kemampuannya. Seorang asisten membantu mencebokinya. Sebagai orang yang teramat mandiri, tentu Morrie tersiksa dengan keadaan ini. Namun ini berbeda. Morrie memilih menikmati ketergantungannya, menjadikan dirinya seperti bayi dengan bantuan pengasuh. Dia memejamkan mata setiap kali Connie, asistennya membasuh bagian tubuh paling pribadinya.

“Apakah Anda tidak pernah takut menjadi tua?” tanya Mitch.

“Aku berusaha akrab dengan proses penuaan, Mitch,” kata Morrie menganggapi.

“Prinsipnya sederhana sekali. Semakin bertambah usia kita, semakin banyak yang kita pelajari. Apabila usia kita tetap dua puluh tahun, kita akan sama bodohnya dengan ketika usia dua puluh tahun. Penuaan tak hanya berarti pelapukan, tapi juga pertumbuhan. Tidak selalu bermakna negatif bahwa kita akan mati, tapi ada sisi positif bahwa kita mengerti kenyataan bahwa kita akan mati, dan karena itu kita berusaha untuk hidup dengan cara lebih baik.”

Selasa Kedelapan: Uang

Kita sering dibuat bingung tentang apa yang kita inginkan dan butuhkan. Karena semuanya ternyata tentang kepuasan, apa yang membuat kita merasa puas. Abadikan diri untuk mencintai sesama, masyarakat, dan menciptakan sesuatu yang punya tujuan dan makna.

“Perbuatan memberi membuatku merasa hidup. Ketika kuberikan waktuku dan mereka merasa senang. Maka aku merasa sesehat sebelumnya,” kata Morrie.

Berbuatkah apa pun sesuai dengan kata hati. Apabila kita berbuat demikian, kita tidak akan merasa kecewa, tidak merasa iri, tidak akan mendambakan milik orang lain. Sebaliknya kita akan kewalahan dengan ganjaran yang akan kita terima.

Selasa Kesembilan: Cinta yang Tak Padam

“Apakah kau takut dilupakan orang setelah mati?” tanya seorang teman pada Morrie.

Morrie meyakini dia akan tetap hidup di hati orang-orang yang mencintai dan dicintainya. Cinta adalah sesuatu yang membuat kita tetap hidup, bahkan setelah kita mati.

Guru Sampai Akhir’ begitu Morrie ingin tulisan di batu nisannya.

Selasa Kesepuluh: Perkawinan

Dalam perkawinan kita diuji. Kita mencari tahu siapa diri kita, siapa orang lain yang menjadi pasangan kita, mana yang harus kita sesuaikan, mana yang tidak. Jadi, saat kita terasa begitu sulit mengenal pasangan kita, jangan-jangan justru kita yang belum mengenal baik siapa diri kita. Cintai lalu saling mengenal.

“Saling mencintai atau punah,” Morrie menutup kelasnya hari itu.

Selasa Kesebelas: Budaya

Keadaan Morrie kian melemah, meskipun demikian tekadnya menyelesaikan proyek ini tetap kuat.  Bagi Morrie, setiap masyarakat mempunyai masalahnya sendiri. Lari dan menghindar bukan solusi, melainkan kita harus menciptakan budaya kita sendiri.

Dia minta Mitch mengambil contoh kondisinya. Banyak hal yang membuat Morrie merasa malu karena dia tak mampu lagi berjalan, tak bisa cebok sendiri, kadang menangis saat bangun pagi. Semua hal yang menurut budaya kita harus kita percayai. Namun dalam hal ini jangan percaya. Morrie memilih membentuk budayanya sendiri.

Selasa Keduabelas: Maaf

Maafkan dirimu sendiri sebelum kau mati, barulah kemudian memaafkan orang lain. Kelas ini dilakukan Mitch sambil memijati kaki dosennya. Sejak kehilangan kemampuan menggerakkan ibu jari kaki membuatnya butuh untuk disentuh dengan pijatan lembut.

“Mitch, jangan menunda untuk memaafkan diri sendiri dan memaafkan orang lain. Tidak semua orang punya kesempatan melakukannya. Tidak semua orang beruntung dalam hal itu,” kata Morrie.

‘Berdamailah dengan diri sendiri dan semua orang di sekitar kita’.

Selasa Ketigabelas: Hari yang Paling Baik

Mitch bertanya pada profesornya, “Jika diberi tubuh sehat 24 jam, kau ingin melakukan apa?”

Di luar dugaan, Morrie hanya ingin menghabiskan waktunya untuk mengobrol, makan, bersama keluarga dan teman-temannya. Itu hari paling baik baginya. Selama kita dapat saling mencintai, dan mengingat rasa cinta yang kita miliki, kematian tidak dapat membuat kita harus berpisah. Semua kasih yang kita berikan akan tetap ada. Semua kenangan tentang itu masih ada. Kita akan hidup terus dalam hati siapa pun yang pernah kita sentuh dengan kasih sayang.

‘Kematian mengakhiri hidup, tetapi tidak mengakhiri suatu hubungan’.

Selasa terakhir, Keempatbelas: Kami Saling Mengucapkan Kata Perpisahan

Morrie ada di titik terlemahnya, penyakit itu sudah sampai paru-parunya, pertanda waktunya tinggal sejengkal. Mereka, murid dan profesornya saling mengucapkan kata sayang.

Hari Wisuda telah tiba. Di suatu pagi Morrie meninggalkan dunia dalam damai, hening, di antara buku-buku, catatannya, dan orang terkasih. Abunya disemayamkan di lereng sebuah bukit, rumputnya basah dengan langit seputih susu. Mitch melihat ke arlojinya, tersadar kalau itu hari Selasa.

***

Profesor Morrie Schwartz mengajarkan kepada kita melalui proses tesis terakhirnya, bahwa tidak ada istilah ‘terlambat’ dalam hidup ini. Semua terus berubah sampai hari ketika kita mengucap selamat tinggal. Beruntung dia tak memilih menyerah. Tesisnya tentang makna hidup berjudul Tuesdays with Morrie rampunglah sudah.

***

Editor: Ghufroni An’ars

Mina Megawati

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Dapatkan tulisan-tulisan menarik setiap saat dengan berlangganan melalalui email