Menulis puisi dan prosa. Bergiat di Komunitas Damar Korong, Sumenep.

Like & Share: Kompleksitas Persoalan Remaja di Era Virtual

Daviatul Umam

5 min read

Kehadiran film Like & Share merespons banyak hal yang berkaitan dengan isu-isu aktual yang marak terjadi di Indonesia. Gina S. Noer—sutradara sekaligus penulis skenario film ini—sangat berani mengusung tema sentimental, di samping juga piawai menghubungkan beragam problem yang begitu kompleks dalam satu kemasan menarik, tanpa terkesan dipaksakan atau dilebih-lebihkan.

Dibuka dengan visualisasi warna-warni berikut suasana yang cerah-bergairah, Like & Share ternyata menyimpan senarai cerita muram dan mencekam. Berbagai macam konflik serta ketegangan antar tokoh dihidangkan secara dominan sepanjang durasi film.

Walaupun ditaburi sedikit bumbu romansa, justru dari situlah persoalan-persoalan krusial bermunculan. Namun, pada akhirnya penonton mendapatkan kelegaan dari ending cerita meski emosi yang bergolak sejak awal tidak sepenuhnya padam.

Dari keseluruhan isi film, setidaknya ada enam garis besar yang saling bertaut satu sama lain. Di sini agama dan negara turut serta menjadi akar masalah selain topik seksualitas yang menempati posisi teratas. Sebagaimana film-film Indonesia mutakhir yang tidak ragu-ragu menampilkan adegan seks secara eksplisit, Like & Share tak kalah banyak menayangkan hal serupa. Sudah bisa ditebak, kontroversi publik tidak dapat dihindari seperti yang sudah Gina S. Noer alami untuk film Dua Garis Biru-nya (2019).

 

Kreativitas yang Dipandang Miring

Bermula dari pengenalan dua tokoh remaja perempuan yang diperankan oleh Aurora Ribero (Lisa) dan Arawinda Kirana (Sarah), Like & Share mengisahkannya sebagai sepasang sahabat yang suka bikin konten Autonomous Sensory Meridian Response (ASMR) di akun YouTube-nya dengan nama channel “Like & Share”.

Dari nama channel inilah, barangkali, judul film diambil berdasarkan suatu pertimbangan: biar tampak akrab dengan target utama, yakni anak-anak milenial yang tak bisa dipisahkan dari dunia digital.

Istilah ASMR konon dicetuskan Jennifer Allen pada tahun 2010. Sebagaimana diungkapkan Sarah, ASMR dipercaya bisa memperlambat detak jantung penikmatnya, lebih tenang, rileks, dan tidak gampang stres. Bahkan, bagi Lisa, kreativitas yang terus dieksplorasinya ini bukan sekadar hobi, melainkan masa depan. Keduanya tidak peduli akan komentar mesum dari netizen, pun selalu tegas menyangkal tanggapan miring yang condong meremehkan dari pihak keluarga masing-masing, tak terkecuali yang keluar dari mulut Devan (Jerome Kurnia), pacar Sarah. Satu hal yang terpenting, mereka harus tetap fokus untuk mewujudkan sebuah impian yang telah direncanakan bersama.

 

Pilihan Hidup yang Terkungkung

Gara-gara konten ASMR yang dianggap nakal itu, keluarga mereka juga sama-sama risi terhadap hubungan persahabatan Lisa dan Sarah. Bahkan lebih dari sebatas risi. Yang agak janggal, Lisa dan Sarah begitu rutin dan leluasa saling mengunjungi, masuk rumah, ngobrol atau ngonten di kamar, tanpa ada reaksi apa pun dari Ibu Lisa (Unique Priscilla) kepada Sarah, maupun reaksi Kakak Sarah (Kevin Julio) kepada Lisa. Dan nyatanya mereka memang tidak pernah dipertemukan di masing-masing rumah. Sikap acuh tak acuh Kakak Sarah kepada Lisa baru terlihat ketika cerita sudah hampir tamat. Itu pun bertemunya di jalan raya.

Selain itu, dalam kehidupan sehari-hari, Lisa dan Sarah sama-sama terbelenggu oleh peraturan keluarganya. Punya ibu mualaf yang cepat ‘menggilai’ agama baru yang dianutnya, Lisa sering kali mendapat teguran dan omelan keagamaan. Sangat kontras dengan pikiran Lisa yang berhasrat untuk hidup bebas sesuai fantasi keremajaannya.

Kontradiksi itu membuat Lisa dan ibunya tak jarang bersitegang sehingga terciptalah kesenjangan di antara keduanya. Pada bagian ini Gina berhasil menyajikan masalah keluarga yang dilematis. Di satu sisi, semua orangtua pasti menginginkan yang terbaik buat anaknya. Tapi di sisi lain, gerak-gerik si anak jadi sangat terbatas jika apa-apa harus dilihat dari sudut pandang agama.

Rencana untuk kuliah di Bali bersama Sarah juga tidak direstui. Lisa begitu tertekan, yang demikian membuatnya seolah tidak mengenal sosok sang ibu lagi. Suasana batinnya seperti terwakili oleh gorden jendela kamarnya yang bermotif panorama laut berlumur cahaya senja. Dan semakin diperkuat oleh keberadaan stiker “Lupa Bahagia” pada cermin rias Lisa yang sempat jadi sorotan kamera.

Begitupun Sarah. Alih-alih mendapat dukungan karena hendak mengejar cita-citanya ke Bali, si kakak malah memilihkan kampus lain di luar negeri tanpa membicarakannya terlebih dahulu dengan Sarah. Keputusan tersebut membuat Sarah marah sekaligus sedih. Permasalahan jadi sulit terpecahkan. Tapi Sarah tidak menyerah. Dia terus beradu pikiran dengan kakaknya serupa permainan catur yang mesti dimenangkan. Bandul kalung dan silikon ponsel Sarah yang berwarna hitam-putih kotak-kotak persis papan catur, menjadi simbol unik atas situasi rumit tersebut.

 

Dampak Negatif Video Pornografi

Di samping gemar menikmati sensasi dari konten ASMR-nya sendiri, Lisa juga punya obsesi menonton video porno yang sedang viral. Akibatnya, dia benar-benar kecanduan sampai terserang fetish. Gejolak seksualnya mudah sekali bangkit yang sialnya justru terpacu oleh benda-benda mati, seperti makanan, pulpen, mulut ikan, dan adonan kue. Setiap hal itu terjadi, terbayang-bayanglah di benak Lisa wajah dan tubuh wanita yang menjadi objek perekaman adegan mesum tontonannya.

Kalau sudah demikian, Lisa akan memanjakan api berahinya dengan melakukan masturbasi. Suatu perbuatan yang sangat tabu bagi kebanyakan orang, apalagi jika hal itu dipraktikkan oleh seorang perempuan.

Adegan ini menjadi nilai plus tersendiri buat Gina, karena dia sama sekali tidak ragu menyuguhkannya kepada penonton. Seolah dia ingin menegaskan bahwa masturbasi berhak dilakukan oleh semua orang untuk memenuhi kebutuhan biologisnya, dan itu wajar-wajar saja, tak terkecuali bagi perempuan.

 

Pelecehan Seksual dan Aneka Modusnya

Tema yang tak kalah urgen dalam Like & Share adalah kasus pelecehan seksual. Kasus ini Gina kemas dalam sejumlah adegan yang tampak natural dan sangat relevan dengan realita.

Modusnya bermacam-macam dan itu bisa terjadi di mana saja, kapan saja, kepada siapa saja, serta bisa dilakukan oleh siapa saja, baik melalui ucapan maupun tindakan, baik secara terang-terangan maupun samar-samar. Gina mempersiapkan itu semua dengan matang, sehingga sekian konflik yang tersaji sedemikian konkret dan porsinya pas.

Adapun suatu adegan pada setting ruang kelas sekolah merupakan salah satu contoh. Di mana video rekaman Lisa yang berenang di kolam dengan memakai baju seksi—untuk memenuhi tugas dari guru olahraganya—dipertontonkan oleh guru itu kepada semua siswa di ruang kelas sehingga menyita perhatian yang amoral.

Lisa pun segera angkat bicara bahwa dirinya tidak tahu kalau video tersebut akan jadi tontonan bersama. Spontan komplain Lisa terpotong oleh suara seorang siswa yang semakin menyudutkannya, “Kenapa? Mau pakek baju yang lebih seksi?”

Modus lain tampak pada perekaman persetubuhan antara Fita (Aulia Sarah) dan suaminya. Menurut pengakuan Fita kepada Lisa, ia melakukan hal itu atas tuntutan suaminya yang terobsesi video-video porno. Setelah semua keinginan suaminya yang konyol itu dia penuhi, entah kenapa sikap si suami malah jadi kasar. Akhirnya Fita minta cerai. Dan setelah mereka resmi bercerai, tersebarlah rekaman persetubuhan tadi hingga viral.

Dampaknya, harga diri Fita hancur. Fita harus menanggung malu seumur hidup. Dia pun disebut-sebut sebagai “cewek bokep” oleh orang-orang di sekitarnya. Begitu dia melaporkan permasalahan pelik itu ke aparat hukum, dia malah diminta untuk buka baju terlebih dahulu dengan tujuan validasi.

 

Kuasa Maskulinitas dan Hukum yang Tumpul

Kasus pemerkosaan juga menjadi sorotan yang intens dalam Like & Share. Tidak tanggung-tanggung, adegan kekerasan seksual itu pun di-shot secara vulgar walau tidak segamblang film-film Barat saat menampilkan adegan panas.

Namun, untuk ukuran perempuan yang masih terbilang remaja, Arawinda Kirana berani memerankannya sebagai korban. Ia telah melakukan yang terbaik untuk dunia keaktrisannya.

Sementara itu, film ini tidak serta-merta menyinggung kasus pemerkosaan sebagaimana telah diketahui khalayak umum. Ia bergerak dari hal-hal yang paling subtil. Mulai dari terpautnya rasa cinta antara Devan dan Sarah, lantas mereka mulai berani berduaan dalam satu kamar, kemudian Devan meminta Sarah untuk mengirimkan foto-foto seksinya, sampai akhirnya mereka melakukan hubungan badan, yang mana ada unsur pemaksaan sekaligus kekerasan di situ.

Pasalnya, Sarah sudah berkali-kali menolak ketika Devan mengajaknya bersetubuh, tetapi Devan tidak acuh dan tetap melancarkan hawa nafsunya.

Melalui adegan tersebut, Gina merangsang kesadaran kita agar secermat mungkin menilai suatu tindakan sehingga dapat membedakan, mana pemerkosaan dan mana hubungan yang dilakukan atas dasar suka-sama-suka. Sekilas, penonton mungkin tidak menemukan perbedaan yang kentara dalam adegan itu. Tapi justru di situlah titik pencapaian Gina meramu karyanya. Karena karya seni yang bagus adalah karya seni yang mengajak penikmatnya untuk berpikir, bukan mendikte.

Gina menyentil masyarakat kita yang gemar menghakimi tindakan asusila, yang sialnya lebih cenderung mengucilkan korban meski juga tidak memihak kepada si pelaku.

Penghakiman yang kurang-lebih sama juga kerap muncul manakala kasus semacam itu dibawa ke meja hukum. Sebab, “Undang-undang yang sah bukan berarti perangkat hukumnya siap,” kata pengacara Sarah.

Tak terelakkan, ujung-ujungnya Surat Pernyataan Perdamaian yang keluar. Korban dipaksa menerima hasil perundingan pahit itu dengan trauma yang dalam, sedangkan pelaku dinyatakan bebas dari segala dakwaan.

 

Upaya Melawan Budaya Patriarki

Selanjutnya, isu kesetaraan gender yang kian digaungkan oleh kelompok feminisme juga menjadi pokok esensial dalam film ini. Perlawanan terhadap budaya patriarki ini terwakili oleh sikap kritis Lisa dan Sarah saat menghadapi berbagai kejanggalan lisan lawan bicaranya. Di antaranya ketika Sarah dimarahi kakaknya gara-gara ‘ketahuan’ menonton video porno, lalu Sarah membantahnya dengan sinis, “Sejak kapan ada peraturan gender yang gak boleh nonton bokep?”

Kesinisan yang jauh lebih menusuk terlontar dari mulut Lisa tatkala ibunya mengata-ngatai Sarah di depannya, seakan-akan Sarah memang pantas direndahkan sebagai akibat dari ulahnya sendiri.

“Perempuan baik macam apa yang tidak punya empati kepada sesama perempuan?” sanggah Lisa dengan ekspresi wajah penuh amarah, dan itu sangat meyakinkan.

Memang, akting Aurora Ribero tidak pernah mengecewakan sepanjang film. Dia begitu menguasai karakter Lisa yang diamanahkan sang sutradara kepadanya: kritis, keras kepala, ambisius, tetapi punya rasa simpati yang tinggi.

***

Editor: Ghufroni An’ars

Daviatul Umam
Daviatul Umam Menulis puisi dan prosa. Bergiat di Komunitas Damar Korong, Sumenep.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Dapatkan tulisan-tulisan menarik setiap saat dengan berlangganan melalalui email