Pemimpi pagi, pekerja malam

Tak Selamanya Ngopi itu Ngopi

Muhammad Farhan Azizi

3 min read

Joyogrand, Dermo, Sudimoro, Dau, Merjosari, dan sekitarnya adalah nama lokasi atau kawasan yang menjadi pilihan tempat ‘ngopi’ mahasiswa Malang. Secara umum mahasiswa Malang lazim mendengar ungkapan yang kira-kira bunyinya begini:

“Kalau belum ngopi di kawasan-kawasan itu, berarti kamu bukan mahasiswa Malang.”

Masa iya, hanya karena perkara ‘ngopi’ status mahasiswa seseorang dipertanyakan?

Jawaban yang tidak menjawab mungkin bisa kita ambil dari hasil riset Toffin Indonesia (2020), yang menunjukkan pertumbuhan bisnis kedai kopi nasional yang kian meningkat: 1000 kedai pada 2016, dan meningkat lebih dari 2.950 pada Agustus 2019. Pertumbuhan kedai kopi nasional pada tahun 2019 meningkat hampir tiga kali lipat, yang mula-mula 1.083 unit outlet gerai kopi pada tahun 2016, meningkat menjadi 2.937 unit lebih pada tahun 2019.

Begitulah yang juga terjadi di Malang. Misalnya, kawasan Dermo, sekitar 2015-2016, awal saya kuliah di Malang, hanya ada dua warung kopi: Ngesis dan Ndalu (sekarang Equal). Sedangkan sekarang, saat tulisan ini dibuat, jumlah warung kopi di kawasan itu mencapai puluhan, baik itu cabang dari kedai di kawasan lain, atau yang memang pusatnya di sana. Apalagi kawasan Sudimoro, seingat saya, pada awal tahun saya mulai kuliah sama sekali tidak ada warung kopi. Sementara sekarang, jika saya melewati kawasan tersebut, untuk mengingat satu per satu nama warung kopinya saja saya merasa tidak sanggup saking banyaknya.

Demikian juga kawasan lain, seperti di Joyogrand, Dau, Merjosari, dan sekitarnya. Kawasan-kawasan tersebut kini diwarnai berbagai macam kedai kopi, yang jumlahnya sangat banyak dan selalu ramai pengunjung. Sampai saat ini, saya belum menemukan hasil riset yang spesifik menunjukkan jumlah kedai kopi di Malang.

 

Sekilas tentang ‘Ngopi’

‘Ngopi’ asal katanya kopi, dan menunjukkan arti kegiatan minum kopi, di manapun dan kapanpun. Berharap tidak mengantuk menjalani suatu pekerjaan adalah alasan seseorang memutuskan untuk ngopi. Itu kemudian menyebabkan identitas seseorang yang ngopi akan identik dengan bapak-bapak atau laki-laki yang hendak bekerja, perjalanan jauh, atau jaga malam (ronda).

Seingat saya sewaktu kecil, istilah ngopi identik dengan orang tua dan kaum laki-laki, berupa aktivitas meminum atau menikmati kopi. Perempuan—pada masa itu—sangat jauh dari ‘ngopi’.

Di sisi lain, ada pula istilah ngopi yang beririsan dengan status pekerjaan seseorang. Aktivitas ngopi, dalam kasus ini, dipersepsikan sebagai kegiatan yang dilakukan oleh seorang pengangguran.

“Ngopa-ngopi, ngopa-ngopi, kayak nggak ada perkerjaan lain aja,” kira-kira begitulah ujaran yang biasa dilontarkan kepada si penganggur.

Zaman kian berubah, istilah ngopi pun turut berubah. Bagi sebagian besar mahasiswa Malang, istilah ngopi sangat terikat ruang. Misalnya; ngopi itu harus datang ke tempat ngopi, dan tidak mesti memesan menu yang berbahan dasar kopi. Boleh saja memesan teh, josua (ekstra jos susu), atau menu lain selain kopi. Tak selamanya ngopi itu ngopi.

Kesimpulan ini semata saya buat dari pengalaman pribadi, karena beberapa waktu lalu saya sempat dilabeli tidak pernah ngopi. Padahal, hampir setiap hari—di pagi hari—saya selalu minum kopi di rumah. Namun, karena saya mulai jarang datang ke warung kopi, saya dibilang tidak pernah ngopi.

‘Ngopi’ itu Nge-gim

Istilah ‘ngopi’ bagi mahasiswa Malang pada saat ini adalah aktivitas berkumpul di warung kopi dan melakukan kegiatan yang beragam. Ngopi tidak lagi dilatari oleh alasan kerja, perjalanan jauh, atau jaga malam. Bahkan, saya yakin mahasiswa Malang—secara tidak langsung dan mungkin tanpa sadar—menyepakati ngopi sebagai perkara wajib sehari-hari yang haram ditinggalkan.

Beberapa hal yang dapat menerangkan mengapa dugaan di atas muncul: Pertama, hasil wawancara saya kepada salah seorang pengunjung warung kopi (kita sebut saja dia ‘Aktivis Warung Kopi), yang memberi keterangan terkait alasannya ‘ngopi’ setiap hari.

“ngopi itu ya ngumpul, jadi teman yang nggak ngopi itu penghianat.”

Begitulah jawaban dia. Dalam hati, saya berucap, “luar biasa, yang tidak ngopi bisa menjadi penghianat.”

Hasil wawancara itu sederhana dan tidak basa-basi. Dari situ, kita bisa tahu, betapa cingkrang otak seorang agen of social control yang digadang-gadang menjadi calon pemimpin di hari esok.

Informasi yang lebih mengherankan tentang dunia ngopi mahasiswa ini, adalah hasil wawancara saya dengan Mas Arief, pemilik Galdas Café.

 

“Lebih banyak orang yang ngopi di sini tuh mahasiswa, Mas. Kalau pagi sampai sore itu, kebanyakan mereka cuman mabar (main gim bareng), misalnya main Mobile Lengend, atau PUBG itu, Mas. Kecuali malam, jarang pelanggan yang saya lihat ngopi di sini itu mabar mas, soalnya di sini kan jadi venue nobar (nonton bareng) resmi jadi gak banyak yang mabar, lebih banyak orang nobar.”

Keterangan Mas Arief jelas memberi gambaran kegiatan mahasiswa yang ngopi itu cuma datang untuk mabar dan nobar.

Saya berani memvalidasi penjelasan owner Galdas tersebut. Dari hasil observasi saya—yang bisa dibilang sangat terbatas—menunjukkan, memang benar sebagian besar mahasiswa yang ngopi, hanya sibuk beraktivitas dengan layar gawai masing-masing. Kondisi gawai miring, minim komunikasi (hanya keperluan gim), hingga teriak-teriak karena kalah atau dicurangi di permainan.

Emile Durkheim, peletak dasar sosiologi modern, jika melihat para mahasiswa Malang yang katanya ngopi tapi malah sibuk menghabiskan waktunya dengan gim dan gawai masing-masing, mungkin akan sedih dan meratapi teorinya tentang solidaritas sosial. Berkumpul sebagai solidaritas mekanik (salah satu jenis dari teori solidaritas sosial Durkheim), yang sekurang-kurangnya kerap terbangun di dalam masyarakat desa tercemari karena aktivitas ngopi mahasiswa ini.

 

‘Ngopi’ itu Ngerumpi

Dalam pembahasan ini, saya tidak akan mengenyampingkan fakta bahwa tidak semua mahasiswa seperti yang dijelaskan, ataupun yang saya amati. Sebagian tentu ada juga yang melakukan kegiatan positif. Ya, memang ada mahasiswa yang tidak mabar, karena opsi kedua yang dilakukan dalam aktivitas ‘ngopi’ mereka adalah focus group discussion (FGD) dengan topik: membahas teman-teman yang tidak ikut ‘ngopi’ alias ngerumpi.

Ingat, ada suatu pepatah; orang besar membicarakan ide, orang biasa membicarakan peristiwa, dan orang kecil membicarakan orang alias ngerumpi. Apalah arti ngopi kalau hanya ngerumpi. Tidak perlu jadi mahasiswa, ibu-ibu yang melingkari pedagang sayur keliling di pagi hari juga bisa melakukannya.

Dengan demikian, realitas ngopi seperti itu akan menjadi tantangan bagi pemangku kebijakan dan penyelenggara pendidikan tinggi, terutama jika banyak mahasiswa yang terbengkalai aktivitas perkuliahannya karena lebih banyak menghabiskan waktu untuk ngopi yang tidak ngopi itu.

***

 

Editor: Ghufroni An’ars

Muhammad Farhan Azizi
Muhammad Farhan Azizi Pemimpi pagi, pekerja malam

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Dapatkan tulisan-tulisan menarik setiap saat dengan berlangganan melalalui email