Darah lebih kental daripada air kini terdengar seperti kutukan ketimbang harapan bagi Dul. Kutukan yang ia dapat dari orangtuanya, kemudian ia wariskan lagi ke anaknya. Sebelum ia menikah dan punya anak, ia menganggap kemiripannya dengan sang bapak adalah takdir yang menentukan identitasnya, seperti juga namanya, warna kulitnya, rambutnya, matanya, sampai caranya bicara dan mengambil jeda antar kata.
Ia merasa perutnya menjadi hangat dan lega seperti habis buang hajat, ketika orang-orang di sekitarnya bilang ia sangat mirip Pak Sutardi, bapaknya. Meskipun sang bapak sudah tiada sebelum Dul sempat lulus SMA, ia senang sosok bapaknya masih hidup bersamanya–di dalam Dul. Dan jika nanti ia yang mati, maka sang anak juga akan meneruskan kehidupannya. Dul akan mati, tapi namanya akan bertahan lebih lama lagi.
Setelah Dul menikah dengan Aini, mereka berdua sempat tinggal di dekat alun-alun kota, mengontrak rumah kecil di perumahan kecil selama setahun. Selama itu pula ia jadi lebih mudah menjalankan bisnis jual-beli ikan koi, sementara jika ia tinggal di desa akan butuh waktu satu jam pulang-pergi hanya untuk mengambil atau mengirim paket. Namun, Aini menyerah hidup di pinggiran kota itu, 23 tahun ia tak meninggalkan rumah orang tuanya, ia terlanjur mengenal warga desa sekitarnya seperti keluarga sendiri.
Di dekat alun-alun kota itu ia merasa terasing, meski orang-orang selalu lebih ramai di sana dan malam selalu berakhir lebih lama. Semua keramaian itu, bagi Aini, tidak bisa meminggirkan kesepiannya.
“Mas, ayo pulang ke Grujukan,” pinta Aini suatu malam sehabis suaminya mengantarkan pesanan buah durian ke luar kota. “Aini gak kerasan di sini.”
Saat itu usia kandungannya baru delapan minggu, suaminya selalu membelikan makanan yang ia pinta, seminggu dua kali ia ditemani keliling alun-alun, tapi ia tak bisa lebih lama lagi tinggal di sana. Satu-satunya yang ia idamkan adalah pulang ke rumah.
Dul mengusap kepala Aini dan tangannya menetap di sana beberapa saat. “Bulan depan kita pulang ya, Dek.” Ia berjanji setelah habis setahun masa kontraknya, mereka berdua akan meninggalkan rumah kecil di dekat alun-alun itu.
Sesungguhnya pun Dul lebih senang kehidupannya di desa ketimbang di kota. Ia lebih senang melihat sawah, tanah, dan mendengar suara alam lebih nyaring daripada kendaraan bermotor. Maka keinginan untuk pulang bukan milik Aini seorang. Begitulah mereka berdua kembali ke Grujukan, kampung Aini yang harus ditempuh melewati hutan pegunungan dan jalan beraspal yang belum rapi.
Tujuh bulan setelah pulang ke Grujukan, perut Aini yang sudah membuncit seukuran bola basket kembali mengendur dan mengempis. Sebelumnya Dul mengira melahirkan adalah proses yang indah, tapi ternyata tidak sama sekali. Istrinya mengejan kesakitan, ampas kotorannya ikut keluar, napasnya putus-putus, suaranya menyesakkan untuk didengar, dan ia tak bisa berbuat apa-apa untuk membagi rasa sakitnya.
Dul berterima kasih tak habis-habis kepada Aini yang telah melewati semua itu dan tetap hidup. Kemudian bayi perempuan yang menangis nyaring setelah sembilan bulan terlindung dalam perut ibunya itu diberi nama Inayah. Dan sudah menjadi kebiasaan di kampung mereka untuk memanggil orang tua dengan nama anak pertamanya. Maka sejak hari itu, nama Dul dan Aini perlahan kian senyap, pudar melebur jadi satu. Mereka berdua akan dikenal sebagai Pak Naya dan Bu Naya, dan betapa keduanya sangat menyukai panggilan itu meski bukan namanya sendiri.
Dul sering mendengar bahwa anak perempuan pertama ibarat cerminan bapaknya. Mereka berdua akan memandang satu sama lain untuk mengenali diri mereka lebih dekat. Dul sendiri ingin jadi cermin yang lebar dan jernih untuk Naya, sehingga ia mampu memantulkan citraan putrinya dengan sempurna. Meskipun sejak rambut Naya mulai memanjang, kian jelaslah kalau ia lebih mirip ibunya ketimbang sang bapak. Rambutnya lurus terurai, tidak ikal sama sekali, dan sedikit pirang. Hanya dengan sekilas pandang, siapa pun akan menunjuk Aini sebagai ibunya. Sementara Dul hanya tampak menurunkan alisnya yang tipis. Itu pun harus diperhatikan betul-betul dan teliti untuk melihat kemiripannya.
Suatu ketika, Dul membandingkan foto kecil Aini dalam album dengan Naya yang sedang pulas sehabis menetek. “Kok bisa kembar ya, Dek?”
“Siapa toh, Mas?”
“Ini.” Dul menjulurkan foto di album kepada Aini. “Persis Naya, kan?”
Aini tersenyum tipis. “Ya wajar, Mas, Aini kan ibunya. Naya mirip Mbah Putrinya ya masih wajar, yang heran itu kalau dia mirip Mak Lik.”
“Mak Lik siapa, Dek?”
“Mak Likanah… yang biasa mijetin Ibuk itu loh, Mas.”
“Terus mirip aku gak?”
“Mak Lik?”
“Ya Naya…”
Aini tertawa. “Ya mirip juga, wah kembar malah.”
“Masak iya? Apanya Dek, selain alis?” Dul penasaran.
“Sama-sama suka nyusu!” Aini menahan tawanya agar tidak terlalu lepas dan membangunkan Naya. Dul tentu saja tak bisa menyanggah istrinya, meski itu bukanlah jawaban yang ia kehendaki.
Setiap hari lewat dan berganti, Dul berharap dapat menemukan dirinya lebih banyak lagi dalam diri anaknya. Ketika lewat usia Naya dua tahun, Dul mencoba menyuapinya daging durian, dan betapa bahagianya ia menyaksikan sang anak menyantap daging lembut kuning itu dengan lahap. “Ini jelas anakku, bukan main,” Dul membatin, sebelum teringat bahwa istrinya juga doyan durian.
Ia jadi menimbang-nimbang sebentar, apakah Naya mengikutinya atau ikut Aini. “Ah, ikut siapa juga boleh, Naya kan anak kami berdua, Dul dan Aini, Pak Naya dan Bu Naya,” Dul menjawab kegundahannya sendiri sambil terkekeh.
Sedari masih kecil, sebelum sempat Naya bisa mengeja namanya sendiri, Dul sudah mengajarinya mengaji. Baginya, keimanan adalah pondasi. Ia menikah untuk menyempurnakan agamanya, dan ketika Naya lahir, ia sepenuhnya yakin hal pertama yang harus diwariskan kepada anaknya adalah agama. Dul dan Aini menuntun Naya membaca doa-doa pendek sebelum tidur hingga sebelum makan. Sementara doa-doa sesudahnya mereka ringkas dengan ucapan alhamdulillah. Mulut Naya yang masih kecil memang tidak fasih dan tidak lancar membaca itu semua, tapi Naya kecil mengingat suara bapak dan ibunya, cara mulut mereka membuka dan mengatup untuk membunyikan huruf-huruf hijaiyah, bunyi yang mereka keluarkan, dan ia berusaha menirunya sepersis mungkin.
Naya didaftarkan di madrasah dekat rumah, dan setiap sore masih diantar mengaji ke musala, dititipkan kepada Mas Irul, sepupunya yang juga mengasuh TPQ untuk anak-anak. Dul mulai menemukan lagi dirinya dalam Naya, anaknya itu ia perhatikan pandai betul mengaji dan menghafal doa-doa, sama sepertinya dulu. Andaikan Naya laki-laki, pastilah tak butuh waktu lama ia bakal sering memegang mik dan mengumandangkan azan magrib, seperti bapaknya dulu jadi muazin cilik. Dul suka tersenyum-senyum sendiri saban menjemput Naya pulang mengaji. “Anak cantiknya siapa ini?”
Berkali-kali Dul menanyakan hal yang sama di perjalanan ke rumah, berkali-kali juga Naya menjawab, “naknya Bapak!”
Senang sekali Dul mendengar jawaban yang tak pernah berganti itu.
Seiring tinggi anaknya dan kosakata yang ia kuasai bertambah, seiring juga Dul merasa Naya makin mirip dirinya. Bertambah juga orang-orang yang memiripkan keduanya. Dulu-dulu, hanya sosok Aini yang sering disandingkan dengan Naya.
Wah cantik kayak ibunya. Senyumnya niru Bu Naya sekali. Kalau tidur anteng begini persis Aini.
Mata yang agak sipit mirip Aini. Lesung pipi sebelah kiri mirip Aini. Tahi lalat di wajah mirip Aini. Jidat lebar mirip Aini. Mereka berdua dibolak-balik sama saja. Naya mirip Aini. Aini mirip Naya.
Padahal, Dul bukan sekali dua kali dibilang mirip istrinya, meski begitu, jarang sekali ia dibilang mirip anaknya. Maka, ketika ibu mertuanya suatu hari bilang begini waktu bermain-main dengan Naya, “makin ke sini makin mirip Dul ya…” Dul tanpa sadar ikut tersenyum.
Ia hitung-hitung memang makin banyak kemiripannya dengan Naya. Sama-sama penggila durian, suaranya sama-sama enak dipakai mendaras Al-Quran, ke orang yang baru dikenal sama-sama pemalu, sama-sama cepat belajar naik sepeda, sama-sama tidak tahan melihat barang di rumah berantakan, sama-sama takut tikus, sama-sama ini, sama-sama itu. Dan karena Naya selalu diajak bermain ke sawah melihat traktor, atau menonton pertandingan bola dan gobak sodor di lapangan desa, ia tak pernah kepikiran hiburan lain untuk menyenangkan hatinya.
Keinginan yang sederhana macam itu sungguh mirip bapaknya. Saat banyak bocah di sekitarnya mulai akrab dengan layar ponsel, Naya tak pernah dibiasakan memegang ponsel bapaknya. Aini terkadang curi-curi kesempatan meminjamkan miliknya ke Naya, karena anaknya ingin nonton video traktor saat hari hujan dan tak bisa ke sawah.
Tiap kali Dul mendapati istrinya meminjamkan ponsel, ia selalu menyinggungnya. “Jangan sering-sering, nanti ketagihan.”
Dul ingin anaknya seperti bocah desa semasa ia kecil. Berlarian di lapangan, main di kali, mencari belut dan ikan, menangkap capung, membakar petasan tiap hari raya, pulang sebelum magrib, dan tidur sebelum larut. Paling jauh ia memboyong Naya jalan-jalan adalah menyusuri alun-alun kota bersama ibunya. “Bapak sama Ibuk dulu tinggal dekat sini.”
“Pas Naya masih dedek?”
“Pas Naya masih di perut Ibuk.”
“Di sini?” Naya menyundul perut Aini dengan telunjuk kanannya, membuat ibunya kegelian. “Di sini? Di sini?”
Naya kesenangan menggoda dan melihat ibunya cekikikan. Sama sepertinya, ibunya paling tidak tahan geli. Saat ia beralih menusuk perut bapaknya, Dul langsung kentut.
“Bauuu…” protes Naya sambil menutupi hidung dan memasang gaya pura-pura muntah. Aini menepuk punggung suaminya kencang, malu.
Naya ingat pertama kali bapaknya mengajak ke alun-alun saat ada pameran pohon bonsai di sana. Ingin sekali ia membawa pulang satu pot untuk ditanam di rumah, tapi bapaknya bilang pohon bonsai tak bisa dimakan. Naya tak sempat bilang kalau ia tak ingin memakan pohon itu meski berbentuk seperti kelinci yang berpelukan. Ia hanya ingin merawatnya sampai besar. Berkali-kali setelah itu ia datang ke sana, tak pernah lagi ada pameran pohon bonsai. Namun, alun-alun selalu menjadi hiburan favoritnya lebih dari sawah, traktor, dan lapangan desa.
Kini Naya sudah kelas 2 SD, tasnya baru dua kali ganti, dan teman-temannya masih sama. Hari pertama masuk sekolah setelah habis liburan semester ganjil, Naya pulang ke rumah membawa banyak cerita dari teman sekelasnya. Dari sekian banyak cerita liburan yang ia dengar, Naya paling penasaran dengan cerita dua bersaudara Nur dan Yati. Mereka diajak orangtuanya pergi ke mall, naik kereta kecil dengan kepala kebo, main tembak-tembakan air, masuk ke toko mainan dengan lampu kelap-kelip dan banyak tempelan hewannya.
“Aku beli ini!” ujar Nur semangat sambil memperlihatkan mainan teropong yang diisi piringan bulat. Saat Naya mencobanya dan memutar piringan itu, ia bisa melihat gambar-gambar berwarna, berganti-ganti seperti menonton TV.
“Yati beli senter, banyak gambar-gambar, tapi harus gelap,” tak berkurang rasa kagum Naya saat menceritakan itu ke Dul dan Aini. “Mall ada di mana, Pak?”
“Mall?” Dul tak pernah melihat anaknya seantusias itu. “Ada satu, jauh dari sini.”
“Lebih jauh mall apa alun-alun?”
“Mall.”
“Tiga kali alun-alun?”
“Hmm… empat kali.”
“Waaah…” Naya melongo polos membayangkan betapa jauhnya mall itu. Sebelum sempat ia meneruskan ceritanya, Dul sudah menyuruhnya mandi dan bersiap-siap mengaji ke musala. Naya menurut.
Dul sendiri jarang ke mall, bisa dihitung jari malah. Ia kuat berjalan berkilo-kilo meter naik-turun gunung, tapi anehnya, dua kali memutari mall terdekat di kota sebelah membuat kakinya seperti nyaris copot. Dul menganggap mall hanya sebagai tempat yang lebih dingin dari jalanan. Ia merasa itu juga tak akan cocok untuk Naya. Anaknya sejak kecil diajarkan lebih akrab dengan sawah dan hutan, sekali pun sejuk di dalam mall, tak ada yang bisa mengalahkan kesejukan gunung.
Namun, diam-diam Aini mencatat dalam benaknya pertanyaan Naya setiap susah tidur.
Mall itu alun-alun, Buk? Lebih besar mall atau alun-alun? Lebih besar mall atau lapangan? Di mall ada pameran pohon bonsai? Boleh belajar mengaji di mall? Mall ada berapa?
Rentetan pertanyaan seputar mall lama kelamaan membuat Naya mengantuk, dan gantian Aini yang susah tidur karena terus memikirkannya. “Mas, ayo ke mall kapan-kapan.” Sambil duduk di pinggiran kasur, akhirnya Aini menyampaikan permintaan yang selama ini menghantui kepalanya.
“Mall? Kamu mau ke mall?” Dul keheranan.
“Iya Mas, Aini mau ke mall.”
“Kok tumben?”
“Begini Mas…” Aini menarik pundak suaminya dan mendekatkan kepalanya. “Naya sejak liburan terakhir, tiap malam sering nanya mall ini, mall itu.”
“Naya?”
“Iya Mas….”
Dul tidak heran jika Aini lebih tahu banyak hal tentang anaknya dibanding ia sendiri, meski mereka bertiga tidur di atas kasur yang sama. Sebab ketika mengantuk, Naya selalu bergantung di leher dan dada ibunya biar bisa tidur nyenyak. Namun, Dul tidak menyangka sama sekali kalau anaknya terus bertanya tentang mall. Hari itu, di perjalanan pulang sehabis menjemput Naya dari musala, Dul menggendong anaknya di atas punggung. “Terbaaang!” seru Naya kegirangan. “Nay, liburan semester besok mau ke mall?” tanya Dul tiba-tiba.
“Mall?”
“Iya, ke Mall kayak Nur sama Yati.”
“Ke mall bertiga sama Bapak sama Ibuk?”
“Iya bertiga, mau?”
“Waaah…” Naya tak bisa menahan senyumnya. Sambil mengangguk-angguk keras dan membenturkan dagunya ke kepala bapaknya, ia menjawab, “mauu!”
“Anak cantiknya siapa ini?”
“Anaknya Bapak!”
***
Malam itu, Naya membawa pulang pohon bonsai kecil di mimpinya, ia menanamnya di belakang rumah, dan menyiraminya dengan segayung air dari dapur, lalu seketika pohon bonsai itu tumbuh menjulang ke langit dan membawanya naik di atas dahannya yang kokoh seperti lengan bapaknya. Ia melihat awan-awan seperti rimbun daun pohon bonsai dan meraihnya satu per satu. Di kasur dengan seprei bunga kamboja itu, Aini terbangun karena rambutnya dicabuti anaknya yang terpejam sambil tersenyum.
Dua bulan setelah ajakan Dul, tibalah liburan semester genap yang dijanjikan. Tak ada mall di kota itu, hanya ada alun-alun dan pasar malam. Mereka bertiga harus pergi ke kota tetangga dan menghabiskan dua jam perjalanan di atas bus antar kota. Untungnya, Dul dan Aini diberkati dengan anak yang jarang mengeluh, dan Naya sepertinya rela meski harus menempuh jarak seharian menuju mall itu. Ia mengenakan baju garis hitam-putih yang sama waktu pertama kali diajak pergi ke alun-alun, dengan sandal slop berhiaskan gambar burung hantu.
Burung hantu di kakinya bergerak lincah seperti angin ketika mobil yang mengantarkan mereka berhenti di depan Lippo Mall. “Waaah…” senyum Naya tak sudah-sudah waktu berdiri di depan gerbang lobi yang dijaga dua orang sekuriti. Masing-masing tangannya tak sabar untuk melepaskan genggaman Dul dan Aini. Ia menatap bergantian wajah bapak dan ibunya, lalu mereka berdua melepaskan anaknya untuk terbang ke dalam bangunan megah dan dingin itu.
“Awas, hati-hati!” pesan Aini melihat Naya berlari masuk tanpa menoleh kanan-kiri. Ia segera mengekor anaknya masuk, sementara Dul tertinggal di belakang.
Langkah Dul terhenti di depan pintu masuk, hawa dingin menguar menerpa tubuhnya, ia mematung dan baru melangkah ke dalam setelah sekuriti memberi isyarat agar tak menghalangi jalan. Istri dan anaknya sudah lebih dulu menyusuri lantai dingin dalam mall, Dul masih terdiam. Matanya melihat Naya berlarian dari jauh, memperhatikan kedua telapak kaki anaknya yang sedikit pecah-pecah karena terlalu sering bermain di sawah tanpa alas kaki. Di tangannya, Dul menenteng sepasang sandal bergambar burung hantu milik Naya. Secara naluriah, Naya melepasnya begitu hendak masuk ke dalam mall. Aini tak sempat memperhatikannya, hanya Dul yang tahu.
Darah lebih kental daripada air baginya dulu adalah takdir. Hari itu, semua yang pernah ia percayai berubah menjadi kutukan. Dan hanya Dul yang tahu bahwa di depan gerbang itu, dengan kedua sandal burung hantu di tangannya, ia tak bisa berhenti menangis karena diam-diam ia telah mewariskan kutukannya dengan rasa bangga. “Anak cantiknya siapa ini?” bisiknya dari jauh yang tak bisa ia dengar jawabannya.
Jakarta, 2022
***
Editor: Ghufroni An’ars