Bukan Surat Cinta
: Purwa
/1/
Salah satu situasi
gawat darurat
adalah dicintai
diam-diam
seorang penyair.
Sebab mereka lihai sekali
menyembunyikan gemuruh
di balik dadanya itu.
Tak jarang dengan
penuh debar ia menangkap
senyum gadisnya
sembunyi-sembunyi,
menyimpannya pada
relung yang paling sunyi.
Menjadikannya bara
yang menjaga gemuruh
di dadanya supaya
tetap membara.
/2/
Satu-satunya yang
membikin mereka resah
adalah waktu yang
terus bergulir.
Sebab ia juga tahu
gemuruh itu
bisa meledak
sewaktu-waktu
bila hanya dibiarkan
terpendam.
Agaknya mereka
kurang radikal
perihal debar-debar.
/3/
Kuceritakan hal ini padamu
agar kau hati-hati.
Kau hanya tersenyum,
tak mengamini
atau mengingkari.
(2022)
–
Tak Berjudul
Dulu kita
sering saling
memecah hening
masing-masing:
antara senyap
yang berderap,
kita menemu obrolan
antah-berantah itu,
terhanyut deras arus
kata yang membikin kita
selalu ingin bertatap
dan bercakap-cakap.
Biarpun kini kita
kembali menjadi
sepasang lengang,
kuharap nyeri
tak kunjung datang
bertandang
ke rumahmu lagi.
(2022)
–
Tek-tek!
Di persimpangan jalan,
sepasang kekasih
yang lama berpisah
bertemu.
Malam kian sesak
hari itu
gerobak tahu tek-tek
dan sepasang mata beradu.
“tek-tek!”
Bunyi dua mata
gunting bertemu.
Menambal resah
dengan tahu
dan kecambah
berselimut
sambal kacang
: malam, kau lapar?
Sepiring malu,
segelas haru.
Perjamuan usai.
Kangen terbayar,
malam kekenyangan.
(2022)
–
Malam Penghabisan
Kau harus siap-siap
saat malam pertaruhan
waktu semua orang terbuai;
kau jangan sampai lalai
atau akan tenggelam
dalam semu kebebasan.
(2023)
–
Secangkir Puisi
Alhamdulillah, tak rugi aku
menyesap puisi tiga kali sehari;
ia berhasil menjagaku tetap
waras, di tengah-tengah
kesintingan
yang makin mewabah.
(2023)
*****
Editor: Moch Aldy MA