“Jadi, kapan kau akan mengawiniku?”
Tanya yang hadir laksana undangan bagi petir untuk menyambar bumi, kemudian dibungkusnya tanah dengan api tanpa siapa pun dapat menangkal ganasnya jilatan panas. Imroatus bergidik ngeri hingga bulu-bulu halusnya serasa hampir rontok. Tubuhnya kemudian diguyur keringat dingin hingga malam yang keparat semakin buas menusuk dengan ujung kuku tajamnya. Ia menggigil ngeri akibat suara dari dalam mimpinya sekaligus tegel pelataran toko yang membeku.
“Bangun kalian! Bangsat!” Tempurung kecilnya belum sempat memproses suara di ambang mimpi, tapi seember air telah membasahinya. Haji Emen, selaku pemilik toko marah besar karena keberadaan makhluk yang ia anggap sebagai kutu busuk.
“Pergi kalian! Dasar dungu. Tempat ini bukan penampungan gembel.” Teriakan Haji Emen mengiris sunyi yang membelenggu di waktu sepertiga malam. Tak lama berselang, seorang lelaki cungkring menarik rantai panjang yang terhubung dengan leher Imroatus sehingga ia pun terpaksa bangkit tanpa persiapan apa pun. Sambil berjalan terhuyung-huyung, pria yang kerap dipanggil Mat Gendeng itu mengumpulkan beberapa peralatan kecilnya. Ia membawa satu kotak kayu berwarna hijau serta sebuah kendang.
Mat Gendeng masih dikuasai bir oplosan sehingga sisa kesadaran hanya digunakan untuk mengumpulkan kepingan-kepingan benda yang dianggap penting. Ia pun tak mempedulikan Imroatus yang terkatung-katung dengan kaki telanjangnya. Tanpa seberkas rasa kasihan, Mat Gendeng tidak memberi kesudiannya untuk menggendong tubuh mungil Imroatus. Mereka pun berjalan di sepanjang malam kemarau yang berhasil menggugurkan daun-daun ketapang.
Sesampainya di ujung jalan, mereka berbelok ke kiri dan terus melangkah melewati jembatan besar yang pada bagian bawahnya terdapat sungai kotor hasil pembuangan limbah pabrik. Bau busuk lantas menyeruak hingga membekap hidung. Bagi para pendatang baru, mungkin mereka akan muntah sampai mulutnya dipenuhi kecutnya asam lambung. Namun, lain halnya bagi Imroatus atau Mat Gendeng yang telah bertahan lama di tengah wilayah kumuh.
“Dasar binatang jalang! Kau tidur di luar!”
Mat Gendeng tidak membiarkan Imroatus tidur di rumahnya. Ia melilitkan ujung rantai yang menjerat Imroatus pada tiang tinggi dan tak lupa menggemboknya juga. Untung saja kondisi sedang kemarau sehingga ia hanya akan dipeluk angin yang kering kerontang. Jika hujan sedang lebat-lebatnya, Imroatus harus mencari tempat meneduh di antara padatnya pemukiman dan gerak yang terbatas akibat dirantai.
Pada batas malam yang mulai bergeser menuju dini hari, Imroatus turun ke tepi sungai. Ia mengabaikan bau busuk yang menyengat hidung. Kaki kecilnya berjalan perlahan untuk menghindari gerakan yang dapat menghasilkan bising sebab kalau terlalu tergesa, rantai-rantai penjerat akan bergemerincing dan membangunkan Mat Gendeng. Jika hal tersebut terjadi, maka amarah pria itu akan memuncak.
Imroatus masih merasakan ngilu di punggung berkat tangan Mat Gendeng. Beberapa hari lalu, ia tak sengaja menjatuhkan bir oplosan milik tuannya hingga beberapa pecutan dari lidi harus diterima. Padahal, luka-luka lama belum kering seutuhnya. imroatus kerap menerima dera yang bertumpuk hingga tak terbilang jumlahnya. Orang waras akan cepat-cepat lari dari situasi semacam ini, tapi sayangnya dia monyet. Mungkin monyet memang tidak punya insting untuk berlari dari penindasan.
“Sebaiknya kau kabur selagi dia tidur.” Kalimat itu membuyarkan lamunannya. Imroatus lantas mengarahkan kepala menuju pusat suara. Rupanya ada Kojek. Dia adalah kucing jantan milik Haji Emen yang sering berkeliaran di malam hari. Entah bagaimana dia bisa keluar dari rumah Haji Emen yang pagarnya saja berlapis-lapis dan tinggi.
“Heh, apa kau bisu? Kenapa tidak menanggapiku?” Kendati sempat bertukar tatap, Imroatus hanya diam tanpa menyahut.
“Apa kau lapar?” Barulah tanya itu mendapat tanggapan. Imroatus pun mengangguk. Rupanya Kojek bisa mempekerjakan instingnya dengan baik. Ia sering mengamati tuannya yang mendadak lebih tenang ketika lemas karena kelaparan dan dirinya melihat itu pada Imroatus.
“Tunggu sebentar, aku akan mencarikan makan untukmu.”
Kojek berbaik hati mengorek-ngorek sampah dari tempat pembuangan yang tak jauh dari kolong jembatan. Ia mengais benda-benda yang mungkin masih bisa dimakan. Beruntungnya, malam itu Kojek menemukan bekas nasi bungkus yang di dalamnya terdapat pisang utuh. Manusia memang gemar menghamburkan sesuatu. Mereka selalu serakah dan merasa tidak pernah kenyang, tapi menyia-nyiakan apa yang ada di depan mata.
“Makanlah ini.” Kojek berbicara setelah meletakkan pisang hasil pencariannya. Ia membawa buah itu dengan mulutnya sehingga ada sedikit bekas gigitan. Namun, bukan masalah besar sebab Imroatus tidak makan pisang dengan kulitnya.
“Dengan apa aku harus berterima kasih?” Imroatus mulai membuka suara.
“Makanlah dulu, baru pikirkan cara berbalas budinya nanti.” Kojek dapat menyaksikan tangan Imroatus yang gemetaran. Monyet itu pasti sudah sangat kelaparan. Tanpa berlama-lama, Imroatus langsung mengupas pisang dan menghabiskannya dalam waktu singkat.
“Jadi, apa alasanmu bertahan dengan orang gila itu? Kau tidak pernah menceritakannya padaku.” Kojek duduk bersebelahan dengan Imroatus sambil menggoyangkan ekor panjangnya.
“Kau pasti akan mengejek jika aku menceritakannya.”
“Bagaimana mungkin aku begitu tanpa tahu isi ceritanya?”
“Baiklah. Intinya, aku ingin menjadi manusia.”
“Kenapa?” Alih-alih mengolok, Kojek malah dilanda penasaran.
Mata Imroatus seketika berbinar. Ia sudah lama tidak mencurahkan isi hatinya. Monyet pun perlu melepas keluhan untuk menebas gundah yang dialami. Bukan hanya manusia, binatang di muka bumi ini pun tumbuh bersama perasaan untuk dirawat.
Imroatus bercerita jika ia memiliki seorang kekasih yang bernama Oya. Mereka hidup damai di hutan Cigasong. Keduanya sudah bersahabat sejak masih balita. Dari hubungan itu, benih-benih cinta tumbuh hingga membuat hati mereka mantap untuk berkembang biak. Namun, ada satu hal yang membuat niat itu mesti tertunda. Imroatus ingin hidup bahagia dengan Oya hingga di kehidupan setelah mati.
Apa yang menjadi masalah dari keinginan itu adalah kenyataan jika Tuhan tidak membiarkan binatang masuk ke gerbang surga maupun neraka. Mereka akan mati dan lenyap tanpa ada alam sesudah kematian. Lantas, Imroatus berpikir untuk mencari cara agar bisa menjadi manusia. Itu adalah satu-satunya jalan agar bisa hidup abadi bersama kekasihnya. Katanya, jika cinta sudah mengakar dalam nadi para anak manusia, maka Tuhan akan bermurah hati untuk mempertemukan setiap pasangan di alam kekal nanti. Oya yang terlanjur dibuai cinta hanya mengangguk setuju, walaupun ia sendiri tidak memahami caranya mengubah wujud.
***
“Jadi, kapan kau akan mengawiniku? Lebih baik kita kawin tanpa memikirkan hidup setelah mati. Biarkan saja semuanya mengalir.” Oya mulai gelisah. Monyet-monyet lain sudah menimang tiga anak, sedang ia masih digantung ketidakpastian.
“Sudah aku bilang, kita harus menjadi manusia terlebih dahulu. Aku sangat mencintaimu. Apa kau paham?” Secara refleks, Imroatus membentak kekasihnya.
“Baiklah.” Oya tidak memberikan perlawanan apa pun. Selagi Imroatus menyebut kata cinta untuknya, maka hatinya akan luluh. Gunung es tidak akan muncul karena kalimat cinta saja sudah cukup untuk melelehkan perasaannya.
Pada bulan keenam, langit disulam kegelapan. Tidak ada lagi nyanyian burung dan daun-daun mulai basah ditimpa hujan deras. Rerumputan yang layu tercelentang diam di atas tanah. Mereka kaget karena hujan turun di bulan Juni. Selain keanehan karena mega tiba-tiba menjatuhkan bergalon-galon air, para pemburu pun datang ke rumah para monyet.
Manusia dengan ganas mengambil bayi-bayi monyet dari induknya. Hutan Cigasong yang tentram tiba-tiba saja berubah mencekam. Ketika para monyet dewasa hendak melawan tindakan yang semena-mena itu, maka satu peluru akan tertanam di tubuh mereka. Imroatus pun menjadi sasaran para manusia kejam hingga kesadarannya hilang.
Ketika matanya sudah terbuka, Imroatus memandang area di sekitarnya. Tidak ada lagi daun rimbun di antara pepohonan tinggi. Hidungnya pun tidak mencium kesegaran. Aroma yang ada hanyalah bau busuk. Ia kemudian tersadar jika dirinya sedang berada di dalam sebuah kerangkeng dengan kaki yang dirantai. Selain itu, Oya tidak berada di sampingnya. Imroatus lantas berteriak dan mengamuk. Tak lama kemudian, seorang pria datang dan membuka kerangkeng itu.
Pria yang membukakan kerangkeng itu kemudian ia kenal sebagai Mat Gendeng. Dalam keadaan putus asa dan terluka secara lahir maupun batin, Imroatus malah mendapat dera. Setiap kali ia menjerit, maka tiga batang lidi yang lentur akan berubah menjadi pecut. Perlahan-lahan Imroatus paham jika ia harus diam untuk menghindari penyiksaan.
Hari demi hari, Imroatus terjebak bersama kegilaan Mat Gendeng. Ia dipaksa menjadi aktor di balik topeng monyet. Selama beberapa pekan, Mat Gendeng mengajarinya berjalan dengan tegak atau berlenggak-lenggok selayaknya biduan kampung. Seluruh tulangnya hampir retak karena eksploitasi tersebut. Namun, Imroatus tidak bisa berlari dan pasrah.
Dari segenap rasa sakit yang merengkuh erat, ada satu masa di mana ia bisa tersenyum. Imroatus melihat layar besar yang menayangkan sosok monyet dengan bulu seputih salju. Wajahnya pucat dengan mata berwarna merah. Ia yakin jika itu adalah Oya. Kekasih hatinya paling mencolok dibanding monyet lainnya di Cigasong.
Imroatus akan selalu antusias dan berjingkrak-jingkrak setiap kali diajak Mat Gendeng berkeliling pusat kota sebab ia dapat melihat Oya dari layar kaca di depan toko peralatan elektronik. Di tengah kegirangan tatkala menemui sang pujaan hati, ada hal yang tidak diketahuinya. Manusia memelihara monyet albino untuk dipamerkan demi kepuasan yang melenceng.
Selama berbulan-bulan, berita mengenai si monyet albino terus menjadi rubrik utama dalam berita. Namun, setelah dua atau tiga tahun lamanya, ulasan tentangnya perlahan hanyut dan tergantikan oleh macan putih. Keberadaan binatang langka di lingkungan manusia seperti proses penciptaan aktor penghibur. Mereka menempatkan hewan liar itu pada lokasi yang bukan habitatnya dengan alasan menunjukkan cinta kasih. Padahal, itu hanyalah kamuflase dari hasrat tidak sehat.
***
“Lalu, bagaimana dengan Oya? Apakah kau sudah menemuinya lagi?” Kojek makin penasaran karena Imroatus menghentikan ceritanya. Ia melihat sahabatnya mulai berkaca-kaca.
“Aku melihat berita jika monyet cantik itu dipindahkan ke habitatnya. Aku tidak mengerti apa maksud dari habitat, tapi aku yakin bahwa maksudnya adalah penggantian wujud.”
“Kenapa kau berpikir begitu?” Kojek memiringkan kepalanya.
“Aku bertemu seorang gadis putih di pasar. Dia sangat mirip Oya. Matanya agak merah, kulitnya putih. Bahkan, rambutnya pun putih.” Imroatus berjingkrak-jingkrak tanpa mempedulikan jika rantai panjang yang terhubung ke gelang lehernya akan bergemerincing. Dia terlalu bersemangat.
“Aku yakin jika dia adalah Oya. Perubahan itu ia dapatkan setelah tinggal bersama manusia selama bertahun-tahun. Maka dari itu, aku mesti bertahan dengan Mat Gendeng sampai giliranku tiba.”
Kojek akhirnya mengerti alasan mengapa si monyet kecil masih bertahan dengan kehidupannya sekarang. Dia miris dan masih separuh percaya akan keajaiban Tuhan. Namun, penjelasan Imroatus adalah bukti jika hewan bisa bereinkarnasi menjadi apa pun selagi mereka meyakininya.
“Imroatus, sepertinya aku mengenal gadis itu.” Kojek menatap mata Imroatus dengan tajam. Suaranya pun tegas.
“Bagaimana kau bisa tahu?”
“Ada gadis berkulit sangat putih yang menyewa rumah Haji Emen. Dia pendatang baru dan tinggal sendirian. Sepertinya dia tidak punya keluarga sama sekali. Mungkin dialah Oya.”
“Apa kau bisa mengantarkanku ke sana?”
“Aku bisa, tapi bagaimana caranya? Kau saja masih terkunci.”
Mereka hanya diam dan merenungkan banyak hal. Mungkin pertemuan itu tidak akan terjadi sekarang. Namun, ia tidak akan lekas berputus asa. Selagi maut belum menjemput, tulisan Tuhan masih berlanjut. Pastilah keindahan akan tiba jika kesabaran terus dipupuk.
Malam pun surut dan raja siang menguasai hari. Imroatus sudah kembali terbaring di depan rumah Mat Gendeng. Begitu pula dengan Kojek, ia sudah kembali ke pangkuan sang majikan untuk mendapat usapan lembut di punggung. Masing-masing dari mereka kembali berjalan pada garis edarnya.
Hari yang gelap kian bertambah muram. Kerinduan terhadap Oya semakin kejam menyiksa. Masa lalu yang telah ditinggalkan semakin rajin mengolok-olok dan terbang berkelebatan. Apakah ada jalan pulang menuju waktu saat masih bersama? Mereka tersesat di lautan mimpi dengan Imroatus sebagai nahkoda kapalnya. Menyesal adalah salah satu jenis kata dari jamaknya perasaan yang menggelayuti relung hati.
Imroatus lantas mengumpulkan air mata yang jatuh untuk membasuh luka di dalam batinnya. Adakah yang di sana merasakan sakit ini jua? Mungkinkah Oya sudah bahagia sebagai manusia sejati atau dia meratapi apa yang tengah diratapinya?
Mungkin memang benar jika tidaklah sanggup bagi matahari mengejar bulan, dan malam pun tidak dapat mendahului siang. Haruskah ia berhenti mengendarai angan ketika hati kecilnya terus memapah menuju mimpi-mimpi itu? Dia berada dalam simpang dilema. Benarkah jika segala cita-cita hanya tipu daya pikiran atau sesungguhnya dia semakin dekat dengan ambisinya? Seandainya berhenti berlari, apakah itu pertanda jika dia berhasil menghempaskan ego atau ciri pecundang yang mudah menyerah?
“Hei, monyet! Sekarang kita akan pergi ke alun-alun. Di sana pasti ramai orang karena partai Kebo Ireng sedang berkampanye.” Tak seperti biasanya, pagi itu kegilaan Mat Gendeng sedikit menurun. Ia memberikan sarapan sepotong pisang dan pepaya. Tangannya pun dengan lembut mengusap tubuh Imroatus. Mungkin hari indah akan menyambutnya.
Di sepanjang perjalanan, Mat Gendeng terus bersiul dan sesekali menyenandungkan lagu dangdut. Ia pun menunjukkan kemurahan hatinya dengan menggendong Imroatus. Mungkin kebahagiaan sedang memerangkap perasaannya. Lain halnya dengan sang majikan, Imroatus malah gelisah. Jantungnya seolah berdebar lebih cepat dari yang semestinya.
“Oi Bang, mau pergi ke alun-alun?” Saat hendak menyebrang jalan, mereka berpapasan dengan Mukhsin. Ia adalah anak dari Haji Emen yang sekolah di Kairo. Biasanya pemuda itu pulang ke tanah air ketika sedang libur panjang.
“Iya. Kau mau ke sana juga?” Mereka saling bertukar senyum.
“Iya, Bang. Saya mau ajak Kojek berjalan-jalan.” Kedua orang itu kemudian saling bertukar perbincangan yang hangat. Sebetulnya, Mat Gendeng merupakan sobat karib dari sang pemuda tampan. Namun, keduanya memiliki garis takdir yang berbeda. Mukhsin adalah orang yang sangat berkecukupan sementara Mat Gendeng harus berputar dalam lingkaran kemiskinan. Dinding pemisah tersebut menjadikan Mukhsin masuk ke dalam kalangan terpelajar, sementara kawannya hanyalah remahan rempeyek.
Nasib nahas kemudian semakin mencekik ketika kedua orang tua Mat Gendeng bercerai. Ia berubah menjadi anak yang nakal dan tak henti-hentinya membuat keonaran. Padahal, dulunya Mat Gendeng adalah sosok yang cukup dikagumi. Nama aslinya sendiri adalah Anwar. Ia disebut gendeng setelah mencuri bedil angin milik Haji Emen. Kemudian, ia sering tertangkap basah mabuk-mabukkan. Seiring berjalannya waktu, orang-orang pun melupakan nama lahirnya.
Di tengah obrolan yang terjadi di antara tuannya, Imroatus dan Kojek juga ikut membuka percakapan dengan suara pelan binatang.
“Aku tidak tahu apakah kau akan marah atau tetap tenang setelah mendengar berita ini,” ujar Kojek.
“Memangnya ada apa?” Imroatus yang sedang digendong merangkak turun dari tubuh majikannya. Untung saja Mat Gendeng tidak menyadari karena asyik berbincang dengan sahabatnya dulu.
“Oya akan segera pergi. Dia dijemput paksa oleh dua orang yang terlihat seperti suami istri.”
“Kau serius?” Kegelisahan yang sempat ditahan semakin meluap. Imroatus pun memukul-mukul dadanya.
“Iya. Aku baru saja melihat mereka memasukkan barang-barang Oya ke dalam mobil.”
Tanpa berpikir panjang, Imroatus berlari kencang dan tidak mempedulikan tuannya. Sadar tangannya seperti ada yang menarik, Mat Gendeng buru-buru mengencangkan genggaman pada rantai-rantai penjerat si monyet. Meski akan tertahan, namun Imroatus tak gentar. Ia terus berlari dan hendak menyebrang jalan sendirian.
Di tengah usahanya untuk menemui sang kekasih, sebuah mobil sedan melaju kencang di jalan raya. Si monyet lantas tertabrak dengan ekor dan kaki yang terlindas.
“Imroatus!” Orang-orang mungkin hanya mendengar suara mengeong ketika sesungguhnya Kojek menyerukan nama sahabatnya. Bersamaan dengan jerit keputusasaan dari si kucing, Mat Gendeng dan Mukhsin lekas bergerak menuju titik terjadinya kecelakaan.
“Aku tidak akan mati.” Walaupun telah berlumur darah, ia masih belum menyerah. Ia mesti menjadi manusia terlebih dahulu. Katanya tidak ada binatang di surga. Mereka tidak ada pula di neraka. Andaikan Oya telah mati, betina itu akan menjadi jodohnya di alam atas. Akan sulit bertemu sang kekasih jika mereka bukan jenis yang sama.
“Imroatus! Apa kau mendengarku?” Getaran yang memilukan keluar dari erangan panjang si kucing. Kojek mengelilingi sahabatnya yang terbaring mengenaskan. Di sekujur tubuhnya, mengalir cairan merah yang pekat.
Meski telah berusaha, rupanya garis takdir enggan memihak. Ambisinya untuk menjadi manusia harus diputus oleh pedang panjang malaikat. Imroatus tidak akan bertemu dengan cinta yang membakar gairah dan menyambung hidupnya selama ini. Segalanya tamat sebelum benar-benar dimulai.
***
Editor: Ghufroni An’ars