Nenek moyang kita bukan pelaut, tapi ketiadaan.

Kata Siapa Jadi PNS Tak Boleh Mengeluh?

Rido Arbain

2 min read

Lantaran dianggap sebagai profesi idaman, setidaknya bagi segelintir orang, entah kenapa Pegawai Negeri Sipil (PNS) selalu dituntut untuk bersyukur sepanjang hidupnya. Ketika lulus seleksi penerimaan hingga tiba saatnya pensiun, PNS seolah-olah diharamkan untuk mengeluh.

Sebelum memancing perdebatan di luar konteks, ada baiknya kita sepakati dulu bahwa pekerjaan apa pun itu penting—begitu juga dengan menjadi PNS.

Sering kali kita mendengar nasihat, “Kamu seharusnya bersyukur jadi PNS. Coba lihat orang lain yang tidak seberuntung kamu, macam si Pulan yang masih pengangguran.” Menurut saya, ini konsep yang salah. Seharusnya kita bersyukur atas apa yang kita capai, bukan atas apa yang tidak bisa dicapai oleh orang lain. Lagi pula, tidak etis rasanya kalau harus bersyukur atas penderitaan seseorang, bukan?

Menjadi PNS dengan Modal Keberuntungan

Kalau mau ditilik lebih jauh, bergabungnya seseorang menjadi birokrat sebetulnya tak melulu berkaitan dengan usaha keras. Di kehidupan nyata yang jauh dari gambaran utopis, banyak orang menjadi PNS hanya bermodal keberuntungan. Beberapa di antaranya hanya iseng mendaftar saat rekrutmen dibuka, entah karena inisiatif sendiri atau disuruh orang tua. Sebagian lagi tak pernah ikut les, tetapi dengan ajaibnya memperoleh nilai tinggi pada tahap seleksi kompetensi dasar (SKD).

Baca juga:

Sebelum mengenal konsep privilese, kita mungkin setuju bahwa sebagian orang memang dikelilingi oleh keberuntungan, lahir dan tumbuh di lingkungan yang stabil, memiliki orang tua lengkap dan berkecukupan, hingga mengenyam pendidikan tinggi yang layak. Meskipun demikian, ternyata ada sebuah studi yang mengatakan bahwa keberuntungan itu sebenarnya ada polanya, sehingga bisa dipelajari dan dipraktikkan.

Selama delapan tahun, profesor di bidang psikologi publik dari universitas Hertfordshire di Inggris, Richard J. Wiseman, melakukan riset tentang orang-orang yang beruntung. Tak hanya itu, ia juga meneliti mereka yang hidupnya sering sial atau menderita. Penelitian itu kemudian ia tuangkan dalam bukunya, The Luck Factor (2003).

Dari hasil riset tersebut, Profesor Wisemen menyimpulkan bahwa mereka yang semula sering sial dapat berubah menjadi lebih beruntung apabila mengikuti kebiasaan orang-orang yang sering beruntung. Menurutnya, orang-orang yang hidup penuh keberuntungan memiliki beberapa kebiasaan: senang memaksimalkan peluang, mendengarkan hati nurani, selalu yakin akan mendapat keberuntungan, dan percaya bahwa di balik kesialan selalu ada keberuntungan.

Saya setuju kalau mereka yang berprofesi sebagai PNS termasuk golongan orang-orang yang beruntung, akan tetapi menuntut mereka untuk selalu bersyukur adalah hal yang durjana.

Menjadi PNS di Tengah Banyaknya Tuntutan

Dalam menjalankan moda pemerintahan, tuntutan pekerjaan seorang PNS kadang menyebabkan mereka lelah. Itu sangat mungkin terjadi, mengingat manusia bukanlah produk mesin ataupun robot.

Menjadikan PNS daerah—yang dikenal sering berkutat dengan kodok Zuma pada jam-jam kantor—sebagai tolok ukur atau representasi perilaku PNS pada umumnya, jelas sudah tak relevan lagi. Tuntutan pemerintah yang ingin mengejar peningkatan indeks reformasi birokrasi, menjadikan PNS memiliki beban kerja berlebih di luar tugas dan fungsi jabatannya. Begitu banyak dokumen laporan yang harus dibereskan, sementara di luar sana ada masyarakat yang menuntut peningkatan kualitas pelayanan publik.

Belum lagi jika kita membicarakan gaji dan tunjangan kinerja PNS yang tak merata antarkementerian atau lembaga. Ketika ada PNS yang berani mengangkat isu ketimpangan remunerasi ini, banyak masyarakat yang akan berbondong-bondong menyerang, “Jadi PNS kok ngeluh? Resign sajalah, masih banyak yang siap gantikan!” Lagi-lagi PNS diminta bersyukur bahkan ketika mereka hanya ingin menuntut haknya.

Apabila ditimbang-timbang, sebetulnya perihal bersyukur itu urusan vertikal—antara manusia dengan Tuhan. Sedangkan mengeluh atau menggugat ketidakadilan dalam hubungan kerja, itu baru urusan horizontal. Tidak ada yang kontradiktif antara keduanya, toh bisa dijalankan secara bersamaan.

Akan berbeda kasusnya jika ada PNS yang menuntut kesejahteraan, sementara setiap bulannya sanggup gonta-ganti kendaraan. Untuk golongan ini, mereka pantas menelan keluhannya sendiri.

Baca juga:

Menjadi Pelayan Publik yang Tak Antikritik

Memang tak bisa dimungkiri, terkadang birokrasi menuntut seorang PNS menjadi manusia produktif dan memberikan performa terbaik, akan tetapi tak ada yang bertanggung jawab dalam memastikan bagaimana itu bisa terjadi. William Morris dalam bukunya yang berjudul Useful Work versus Useless Toil (1893) bahkan menyebut tubuh manusia tak ubahnya alat produksi. Seolah-olah hidup untuk bekerja, bukan bekerja untuk hidup.

Padahal tak ada yang salah dengan bekerja sewajarnya, termasuk mereka yang berprofesi sebagai PNS. Bahkan jika diperlukan, sudah saatnya kita menganulir keputusan politis di berbagai lini masyarakat yang selalu mengagungkan kerja dan produktivitas di atas segalanya. Sebab, untuk apa bekerja dengan produktivitas tinggi kalau ujung-ujungnya malah membuat sakit fisik dan mental?

Jadi, alih-alih menuntut PNS untuk senantiasa bersyukur di tengah ketidakadilan yang mereka rasakan, alangkah lebih elok jika masyarakat lebih fokus mengawasi kinerja mereka dan instansinya, program dan kebijakan apa yang mereka jalankan, serta dampaknya terhadap kemajuan bangsa dalam segala sektor pemerintahan.

Sejalan dengan itu, hendaknya kritik terhadap kinerja PNS bukan semacam lukisan Monalisa di Museum Louvre, yang untuk mendatanginya pun sulit, apalagi bersentuhan. PNS tetap saja harus siap menerima aspirasi dan kritik karena mereka adalah pelayan publik.

Editor: Prihandini N

Rido Arbain
Rido Arbain Nenek moyang kita bukan pelaut, tapi ketiadaan.

One Reply to “Kata Siapa Jadi PNS Tak Boleh Mengeluh?”

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Dapatkan tulisan-tulisan menarik setiap saat dengan berlangganan melalalui email