Pak Solie guru agama sekaligus praktisi ilmu kebatinan. Dia mempunyai mantra ajaib yang berkhasiat. Segala keluhan dan masalah kejiwaan, Pak Solie bisa selesaikan dengan keahliannya itu.
Saat analisa dokter tidak cukup membantu, orang-orang akan pergi ke dia. Tempat praktiknya selalu penuh pasien dari sore sampai malam. Sulit dimengerti, tapi itu berhasil.
***
Leha muridnya di sekolah. Pak Solie selalu memperhatikan tingkahnya. Selain alasan tidak bisa baca kitab, Leha juga tidak berjilbab. Di pelajaran agama, Leha benar-benar terpuruk. Dia siswi yang payah. Ingin sekali Pak Solie menggunakan mantra ajaibnya. Tapi tak kunjung terlaksana.
Leha harus dirukiyah, pikirnya. Mungkin cara itu bisa membuatnya berubah.
Saat itu materi aurat. Pak Solie paling lantang kalau soal ini. Penjelasannya panjang lebar. Batas-batas aurat beserta tetek-bengeknya begitu ketat baginya.
“Jilbab itu ibarat pembungkus. Kalau bungkusnya jelek, isinya sulit dikatakan baik.”
“Tapi jilbaban itu gerah, Pak,” sahut Leha sekenanya. “Juga bikin keringetan dan bau badan. Gak cocok sama sekali.”
“Yang bikin gerah itu tingkahmu. Kamu selalu banyak tingkah di kelas,” balas Pak Solie. Sontak seluruhnya ketawa.
Leha memang paling sering ramai dan banyak tingkah. Dia lebih sering terlihat mondar-mandir ketimbang duduk rapi di bangkunya. Tidak peduli pelajaran apa pun, Leha selalu begitu. Alasan ini, alasan itu, ada saja alasannya untuk bikin ditegur guru.
“Kamu akan lebih cantik kalau berjilbab,” lanjut Pak Solie. “Lihatlah teman-temanmu, mereka lebih anggun, rapi, dan terhindar dari nafsu.”
“Jilbab juga membuatmu lebih terlihat suci dan berkarakter, Leha.”
“Aku tidak suka, Pak.”
Pak Solie tidak bisa memaksa muridnya sekalipun itu tuntutan agama. Apalagi ini sekolah umum. Pemaksaan atau pelarangan akan menimbulkan masalah yang serius.
***
Hari ini ujian praktik Agama. Semua murid wajib mempraktikkan salat beserta bacaanya secara lengkap dan benar. Ini mudah bagi lainnya, tapi tidak bagi Leha. Dia satu-satunya siswi yang tidak lulus. Pak Solie geleng kepala dibuatnya.
Saat yang lain ambil wudu, Leha malah celingukan mondar-mandir. Dia seperti orang tersesat. Saat yang lain pakai mukena, Leha sibuk menyisir rambutnya. Saat yang lain sibuk hapalan, Leha bergaya di depan kameranya.
Pak Solie mendekat. “Keluargamu orang yang taat, Leha,” terangnya. “Tapi kamu kok begini. Dari tadi kamu sibuk sendiri. Kamu tahu ini ujian, kan?”
Leha tidak menggubrisnya. Wajahnya benar-benar tak peduli. Pernyataan yang sangat klise. Sejak dulu selalu saja ada orang yang mengatakan itu padanya. Orangtuanya yang taat seakan menjadi beban bagi Leha. Semua tingkahnya selalu dibandingkan dan dikaitkan dengan keluarganya.
“Anggap saja saya orang kafir seperti Mikael, Pak. Dia tidak dibebani ketaatan. Begitu lebih baik. Bapak tidak akan susah memberi nilai. Toh banyak juga murid nasrani di sini.”
Mendengar itu, Pak Solie naik pitam.
“Cukup, Leha! Kamu keterlaluan! Habis ini kamu ke ruangan Bapak!”
Leha membantah. Dia tidak mau.
Agaknya kesabaran Pak Solie telah habis.
“Gak usah membantah!” nadanya meninggi. “Kamu ke ruangan saya!”
Itu kali pertama Leha ke ruangan Pak Solie. Leha tidak punya pilihan. Guru itu sudah marah besar.
***
Degup jantung Leha lebih kuat dari biasanya. Leha merasa takut kali ini.
“Duduk sana!”
Leha seperti kena kejutan mental. Mulutnya yang celometan tiba-tiba kaku. Dia meringkuk seperti kucing kehujanan. Kepalanya turun, raut mukanya pasi. Dia benar-benar takut kali ini.
Pak Solie memulai ceramahnya. Dia naik pitam.
“Kamu sudah keterlaluan. Selalu saja berulah. Harus dihukum!” Pak Solie tegas. “Tidak ada pantas-pantasnya kamu ucapkan itu. Apa kamu mau jadi kafir sungguhan? Jawab!”
Leha menunduk tajam. Hanya menggeleng pelan.
“Jawab!”
Leha diam saja. Tubuhnya kaku seketika. Lidahnya pelu.
Pak Solie meneruskan ceramahnya. Momen yang sudah lama ditunggunya. Mantra ajaib dirapal kuat-kuat. Pak Solie kali ini lebih serius. Dan Leha dibuatnya tak berdaya hari itu.
***
Ini hari yang menggemparkan sekolah. Leha datang dengan jilbabnya. Seisi sekolah dibuatnya tercengang. Leha benar-benar terlihat lebih cantik.
Leha habis dirukiyah Pak Solie. Seketika kabar itu menyebar. Entah siapa yang memulai. Cara kerja mulut manusia lebih cepat dari apa pun.
Pak Solie telah menunjukkan kesaktiannya. Seisi sekolah semakin percaya kalau mantra ajaib Pak Solie begitu mujarab. Seorang Leha yang dikenal bawel dan sulit diatur dibuatnya berubah.
Leha di kelas berubah jadi pendiam. Banyak guru berterima kasih pada Pak Solie. Terutama wali kelasnya. Surat peringatan dan panggilan orangtua sudah akan dikirim. Tapi dengan perubahan Leha, itu ditunda.
Kelas Leha sudah jarang ramai. Biang kerok sudah tobat, begitu celetukan para guru. Teman-teman Leha sebagian merasa kehilangan dan sebagaian bersyukur. Tapi lebih banyak yang kehilangan. Bagaimanapun Leha adalah siswa nakal yang selalu melekat di ingatan.
Saat jam istirahat, Leha sudah jarang ke kantin. Dia sering terlihat merenung di bangkunya. Entah apa yang dipikirkannya, Leha jadi lebih diam dari siapapun. Diajak ngobrol pun, sulit merespon.
Di sela itu, Pak Solie sering menghampirinya, memberinya nasi bungkus dan minuman ringan. Sikap guru agama itu kini lembut dan penuh perhatian. Semua murid mengetahuinya.
“Pak Solie luar biasa. Rukiyahnya berhasil. Kesaktiannya tidak diragukan lagi,” terang salah seorang siswa.
“Ini Leha mode baru,” kata siswa lainnya.
Selepas pulang sekolah Pak Solie juga sering memanggil Leha ke ruangannya.
***
Kabar berubahnya Leha benar-benar sulit dipercaya oleh sebagian siswa dan guru.
“Bapak apakan anak itu? Kok bisa-bisanya jadi begitu,” tanya guru BK yang sudah hampir menyerah menghadapi Leha.
“Pokoknya ada lah, Bu…”
“Saya mau diajari, biar bisa untuk siswa lainnya. Siapa tahu juga ikutan mujarab.”
“Cuma mantra jalajabu aja,” jawab Pak Solie sekenanya. Mereka ketawa bersama.
“Pokoknya sip. Pertahankan.”
***
Guru BK itu belum pulang. Ada beberapa siswa nakal yang harus diberi bimbingan ekstra.
Saat mau ke kamar mandi, dia melihat Leha sedang duduk sendirian di teras depan kelas. Wajahnya terlihat bingung, gerak-geriknya risau. Tidak ingin menegurnya, guru BK itu lebih penasaran.
Sekolah sudah hampir sepi. Mengapa kok dia masih ada di sini?
Dia menyelindap memantau pelan-pelan. Langkahnya ringan melayang seperti kapas. Caranya mendekat benar-benar sempurna. Itu tidak diketahui oleh Leha sedikit pun.
Guru BK itu menunggu dengan sabar. Penasarannya semakin menjadi-jadi, Leha begitu terlihat risau. Dia sedari tadi celingukan. Seperti sedang memastikan sesuatu. Tapi guru BK itu tahu tempat yang pas untuk memantau. Matanya benar-benar fokus tidak berkedip. Keahlian yang dia dapatkan di bangku kuliah dulu.
Leha berdiri. Lalu berjalan cepat menuju kamar mandi. Langkahnya terburu. Guru BK mengikuti dengan cermat. Tidak tertinggal sedikit pun.
Leha masuk ke kamar mandi. Guru BK masuk ke kamar mandi sebelahnya. Dia pasang pendengaran yang tajam. Leha cukup lama di dalam sana. Itu sedikit membuat guru BK tak sabar. Tidak terdengar ada suara dan pergerakan. Justru itu menambah penasarannya.
Terdengar suara siraman air. Leha keluar. Dia kembali berjalan cepat. Kali ini ia menyusuri lorong yang temaram. Leha masih belum menyadari keberadaan si guru BK. Dia mempercepat langkahnya sebelum akhirnya berbelok. Menuju ruang pojok belakang ruang guru.
Guru BK tahu, Leha menuju ke mana. Dia menjaga jarak seaman mungkin.
Leha celingukan. Guru BK itu kaget. Untungnya dia memunyai reflek yang lihai. Seketika dia membanting diri ke ruang kelas. Napasnya terengah. Hampir saja ketahuan. Pelan-pelan dilihatnya Leha dari celah jendela yang tipis. Agaknya dirinya belum ketahuan. Dia menghela napas sejenak. Terlihat Leha masuk ke ruangan itu.
Pelan-pelan Guru BK mendekat. Terdengar suara kunci pintu. Kali ini langkah kakinya benar-benar lebih ringan, mengendap, senyap.
Guru BK tahu persis ruangan yang dimasuki Leha. Itu bekas ruangannya dulu. Dia mengingat betul, ada celah yang bisa dimanfaatkannya. Guru BK memutar arah. Dia menuju ke arah belakang. Dia susun kursi dengan sangat hati-hati. Jendela itu selalu terbuka, persis seperti sedia kala.
Sungguh mengagetkan. Seperti dugaannya, Pak Solie ada di ruangan itu. Dari jendela belakang, keadaan ruangan itu nampak begitu jelas. Sementara, dari balik tirai terlihat jelas Leha ada di sana. Begitu pun dengan Pak Solie. Mereka mengobrol begitu pelan. Tidak terdengar sama sekali. Hanya terlihat bibir Pak Solie yang seperti sedang merapal mantra. Begitu rumit untuk ditangkap. Mata itu menyimak begitu saksama. Jantungnya berdegup kencang. Keringat dinginnya mulai berpeluhan. Napasnya terengah. Pikiran guru BK sudah tak keruan arahnya. Dia ingin menyangkal kenyataan ini. Kedua bola matanya tidak bisa berbohong. Itu benar-benar sebuah mantra. Seketika Leha menari dan meliuk-liuk. Sementara, Pak Solie mengikuti gerakan itu. Mereka sungguh gemulai indah, menikmati.
***
Editor: Ghufroni An’ars
Loh udah selesai ceritanya pak? Gitu doang endingnya? Apa gak bahaya ta? Lanjutlah pak