Klentang membeku di bangkunya. Hari ini ujian sekolah. Dia tidak mau melihat siapa-siapa. Teman-temannya sudah riuh, bingung, saling tukar strategi percontohan soal. Klentang tak ikut nimbrung. Dia tahu, pengawas akan segera datang.
***
“Kamu nanti contohi aku. Awas kamu!”
“Nanti pakai kode saja.”
“Gampang. Kamu pokoknya jangan pelit.”
“Buat apa buku itu?”
“Ya buat nyontoh, goblok!”
“Awas kalau pelit!”
Pengawas itu datang. Dia guru IPA. Para siswa lebih mengenalnya sebagai “Killer Woman”. Kacamatanya cukup tebal. Di usianya yang menginjak 40 akhir tahun ini, dia masih lajang.
“Segera bersiap! Ujian akan dimulai. Duduknya sesuai nomor. Yang ramai dan menyontek, kertas akan dirobek. Soal akan dibagikan. Sebelum mulai, mari kita berdoa.”
Itu seperti ucapan sales obat di pasar minggu. Begitu padat tanpa jeda.
Soal dan lembar jawaban dibagikan. Klentang berdoa cukup kuat dan dalam. Dia berdoa lebih dari siapapun di kelasnya.
Pengawas kembali berdiri.
“Semua kartu ujian letakkan di meja!”
Dari bangku nomor pertama, pengawas itu bergilir ke belakang terus kanan-kiri. Klentang ada di deretan seberang bangku tengah. Killer Woman semakin dekat ke arahnya, Klentang gemetar. Degup jantungnya terpacu cepat. Keringat dingin keluar dari kulit wajahnya, turun menjalar ke sekujur tubuh.
Waktu begitu cepat tak tercegah. Klentang tahu, dia tidak akan selamat. Ini sudah jadi hukuman bagi siswa sepertinya. Klentang cuma menunduk dan berharap guru IPA itu tak mendekatinya atau lupa.
“Mana kartu ujianmu?” tanya Killer Woman menghentikan detak jantung Klentang.
Itu pertanyaan tersulit di ujian ini. Klentang tidak bergeming, hanya diam menunduk. Tak ingin menatap mata penagih itu.
“Mana kartu ujianmu, Nak?”
Seketika semua mata terpusat ke Klentang. Tetap saja, tidak ada jawaban atas pertanyaan itu.
“Kalau tidak ada, kamu harus keluar. Panggil orangtuamu. Suruh ke TU.”
Soal dan lembar jawaban itu diambil. Dengan gontai yang tersisa, Klentang melangkah keluar. Keadaannya hancur seketika. Dia sungguh ingin ujian bersama yang lainnya.
***
Si Bapak di rumah sudah putus asa. Ini masa-masa sulit baginya. Betapa tidak, empat bulan ini pekerjaannya tak menentu. Alias serabutan. Kadang ikut ngamen tetangganya, kadang jual barang titipan di pasar, kadang juga jadi badut di lampu merah. Empat bulan lalu dirinya dipecat dari tempatnya bekerja sebagai petugas kebersihan. Alasan atasannya cukup klasik, kantor sedang sepi, minim pemasukan, harus ada pengurangan karyawan, kantor harus selamat.
Si Bapak tahu, hari ini anaknya butuh kartu ujian. Beberapa hari belakangan sampai pagi tadi sebelum berangkat, Klentang sudah memberi tahu tanpa telat. Tapi cuma anggukan yang didapat. Si Ibu apalagi, sibuk menimang anak keduanya yang belum genap setahun itu.
“Kamu ke sekolah saja. Nanti Bapak ke sana.”
Klentang tahu, bapaknya berbohong. Dua hari ini saja, dirinya, adiknya, dan ibunya cuma makan lauk kerupuk bumbu kecap. Mana mungkin bisa dapat kartu ujian? Klentang memendam pertanyaan itu dalam-dalam. Tapi orangtua harus lebih ia percayai ketimbang siapapun.
***
Di depan ruang TU, Klentang membatu. Jelas tidak mungkin dia yang harus bicara. Bapaknya harus datang. Klentang memilih menunggu beberapa saat. Sedikit keyakinan, dia ingin bapaknya menepati janji.
Klentang duduk sedikit menjauh ke arah teras. Pikirannya entah ke mana. Inginnya cuma satu dan sederhana, ikut ujian agar dapat nilai seperti anak-anak lainnya. Kalau mengulang ujian sendiri, bagi Klentang cukup rumit dan susah. Nuansa ujiannya berbeda. Tidak ada gregetnya, lebih mirip seperti hukuman privat di ruang guru. Dan yang pasti, ujian susulan jelas tidak ada temannya, tidak ada contohan.
Beberapa saat Klentang menunggu, terlihat dari arah gerbang sekolah, bapaknya datang. Klentang sedikit lega. Ada harapan dari arah gerbang itu.
Si Bapak bersama temannya membawa pakaian badut. Mereka berencana jadi badut di lampu merah hari ini. Melihat itu, Klentang tidak terlalu peduli. Baginya, orang miskin seperti dirinya dan keluarganya tidak perlu malu dengan segala nasib buruk. Bahkan, orang-orang miskin harus menjadikan sikap tak tahu malu menjadi karakter wajib.
Klentang mendekat, dielus kepala itu oleh bapaknya.
“Tunggu di sini. Mana gurumu?”
Klentang menunjuk ke arah TU. Pintunya sedikit terbuka. Si Bapak tidak pernah membawa uang. Tapi, dia berharap ada keajaiban di balik kata-katanya nanti.
Diletakkan pakaian badut itu di samping pintu. Klentang melihatnya. Atribut badut itu lucu dan berdebu. Tentunya bau asap knalpot dan keringat.
Apa perlu semua orang miskin mengenakan topeng badut? Klentang tersenyum lirih membayangkan bila semua orang miskin menutupi wajahnya. Betapa kesedihan tidak akan pernah terlihat. Karena semua akan terlihat lucu dan menggemaskan.
Teman bapaknya menunggu di depan gerbang. Klentang memilih bersandar di teras dekat TU.
Klentang tahu, bapaknya akan gagal merayu petugas TU. Tunggakan sekolah sudah beberapa bulan. Sekolah jelas tidak mungkin mengizinkan kalau tidak membayar sedikitpun.
Selang beberapa menit, bapaknya keluar. Klentang menghampiri.
Bapaknya menahan senyum. Suaranya berat dan dalam.
“Maaf, Nak. Kita harus pulang hari ini. Besok kamu dapat kartu ujiannya. Bapak janji.”
Klentang langsung menunduk lesu. Dia seharusnya tidak boleh sedih. Karena memang ini jawaban yang ada di pikirannya sejak tadi. Tetap saja kesedihan selalu sulit dihindari. Saat seperti inilah topeng badut tepat untuk dipakai. Orang seperti keluarganya harus bersahabat dengan air mata.
“Mana tasmu? Ayo pulang.”
Klentang mengambil tas sambil menyeka air matanya pelan. Kesedihannya harus disembunyikan. Dia tahu bapaknya pasti jauh lebih sedih.
“Kamu pulang sendiri dulu ya, Bapak cari uangnya. Tunggu Bapak di rumah. Bilang Ibu, Bapak di lampu merah hari ini.”
Klentang cuma mengangguk. Bapaknya berjalan berpisah. Klentang tidak ingin melihatnya. Wajah itu selalu tegar. Begitulah lelaki, tidak boleh menangis kata orang-orang.
***
Di rumah, ibunya duduk menimang adik Klentang.
“Bapak di lampu merah, Bu,” terang Klentang menyampaikan pesan bapaknya.
“Kamu makan dulu, Tang. Ada berkat dari tetangga tadi.”
Klentang langsung ke kamarnya, mengganti baju, menelentangkan, menanggalkan sedihnya. Ibunya tahu, anaknya gagal ikut ujian. Dia hanya menghela napas sejenak. Tidak banyak yang bisa dilakukan. Kondisi keluarganya begitu sulit sejak pemecatan itu. Pemasukan memang besar pasak daripada tiang.
Sepanjang hari itu, Klentang tiduran di atas tikar kamarnya. Tangisan adiknya terdengar samar-samar. Biasanya dia nimbrung menimang, kali ini lebih memilih menimang sedihnya sendiri. Klentang berharap, bapaknya segera datang membawa kabar baik, minimal uang buat bayar sekolah besok. Tapi, begitulah harapan si miskin. Selalu pupus sebelum terkembang.
Sampai malam pun, bapaknya belum juga datang. Si Ibu lebih banyak cemasnya. Sementara, Klentang terlelap menjelang tengah malam. Dia gagal menunggu bapaknya datang.
***
Pintu itu terketuk. Beberapa kali, cukup pelan. Si Ibu mendengarnya. Dilihatnya Klentang tertidur begitu pulas, adiknya pun juga. Di antara takut dan penasaran, pelan-pelan Si Ibu melangkah sembari mengintip samar. Bayangan itu bukan seperti suaminya. Siapa?
Si Ibu takut. Bisa saja pencuri. Tapi betapa bodohnya jika memang dia pencuri. Di rumah ini tidak ada apa-apa selain sprei pesing dan tempat galon, mentok cuma kompor dan elpiji yang laku dijual cepat. Atau mungkin genderuwo yang mau memberinya pesugihan? Jelas tidak mungkin juga, genderuwo tidak mengetuk pintu.
Jelas bukan pencuri, simpulnya.
Ketukan pintu itu benar-benar pelan. Seperti tidak ingin membangunkan banyak orang.
Si Ibu semakin takut. Tapi penasarannya kian membuncah. Jangan-jangan itu pemerkosa?
Perasaan takut sudah menguasai Si Ibu. Sedangkan, ketukan itu tak kunjung berhenti.
Berjalan cukup pelan, bayangan itu coba diterkanya. Langkah Si Ibu melayang seperti kapas, sangat pelan, mengendap. Seketika dia ingat, di etalase bapuk sebelum pintu ada linggis. Itu cukup melegahkannya. Minimal bisa jadi alat pukul. Diambillah linggis itu, digenggam erat-erat. Cukup berat, tapi cukup mudah kalau hanya sekadar dijulurkan ke depan sebagai perlindungan.
Kali ini langkahnya sedikit berani. Sudah begitu dekat dengan gagang pintu. Bergetar, takut, penasaran, bercampur aduk. Menghela napas sejenak, kunci itu diputar pelan, dan didorong ke bawah gagang pintu itu cepat-cepat. Sambil menodongkan linggis, pintu itu dibuka seketika.
Sungguh mengagetkan, tidak ada siapa-siapa di sana. Cuma terlihat ada bayangan pergi. Ibu Klentang melangkah keluar. Benar-benar tidak ada siapa-siapa. Perasaannya lega tapi banyak penasarannya. Dipastikannya sekali lagi, jalanan kampungnya kosong, sepi, dan sunyi.
Napasnya perlahan menurun normal. Ibu Klentang kembali masuk ke rumah. Terlihat di samping bagian bawah pintu luar rumah, ada kresek hitam. Terlihat padat berisi.
Betapa terkejutnya Si Ibu, itu berisi beberapa bendel uang ratusan ribu. Dilihatnya, ditolehnya kanan-kiri, tidak ada orang sama sekali. Seketika dia langsung membawa kresek hitam itu masuk, dan mengunci rapat rumahnya.
***
Pagi tiba. Begitu bangun, Klentang mencari bapaknya. Dia ingin ujian.
Dicarinya ke semua sudut ruangan. “Bapak mana? Belum pulang?” tanyanya.
Ibunya sibuk menyiapkan makanan dan membuatkan susu untuk adiknya. Tidak biasanya.
Klentang ke ruang depan, itu menggembirakan. Terlihat bapaknya tertidur berkemul sarung. Tidak ingin membangunkan, Klentang datang ke Ibunya. “Apa Bapak bawa uang?
Belum sempat menjelaskan, tiba-tiba terdengar suara teriakan orang. Klentang dan ibunya langsung keluar. Itu Kaji Tuni, lintah darat termasyhur di kampung ini. Pagi masih belum begitu tinggi, tapi teriakannya melebihi toa masjid.
“Tolong-tolong!!! Tolooong!” Teriaknya menggelegar.
Sambil meronta-ronta lintah darat itu berputar-putar mejambak-jambak rambutnya. Persis seperti orang kesurupan. Kaji Tuni tanpa kendali. Dia gulung-gulung, mencakar-cakar tanah, meraung.
Seisi kampung keluar. Orang di jalan besar tiba-tiba berhenti. Mereka mendekat, mencari tahu.
“Rumahku kemalingan!” Teriaknya kencang. “Uangku…. Uangku…. Tolong! Tolongggg! Rumahku dibobol maling! Tolong!”
Klentang dan ibunya saling tatap.
“Ayo cepat! Kamu harus ujian! Ibu antar.”
***
Editor: Ghufroni An’ars
Dua Jempol
Terimakasih Sudah Menampar Saya Dengan Realita Yang Ada
Negara Indonesia Yang Banyak Rezekinya Bagi Para ‘Pemegang Kartu Bantuan’
Tapi bagi orang-orang yang tidak memegang kartu, yawez kerjo wae opo onone sing penting iso nggedek’ke atine keluarga yg di rumah
Sila Ke 5 dari Pancasila hanya berlaku bagi “rakyat indonesia” Yg Kenal Akrab dng Pejabat Hukum Pejabat Pajak Pejabat Negara dll
Kalau ndak kenal, yawes cukup jadio rakyat yg Sesuai dng sila ke 1 dari Pancasila, jadilah rakyat yang Ber ketuhanan YME
😇