Setelah Pertanyaan Konyol

Puteri Soraya Mansur

5 min read

Rupanya engkau perlu tiga belas tahun untuk menegakkan layarmu. Setelah sekian lama berjuang untuk bangkit, kapalmu berlabuh jua. Aku bahagia melihatnya. Akhirnya engkau bisa melepasku. Terlintas di benakku bayangan-bayangan perandaian. Seandainya engkau berlabuh bersamaku, seandainya kita bisa mengarungi samudera bersama, seandainya semesta merestui kita, seandainya yang memang tak akan pernah terwujud di antara kita.

Wajar, bayangan-bayangan itu muncul karena engkau pernah mengisi hari-hariku selama lima tahun. Waktu yang tidak sedikit untuk menjalin ikatan kasih yang diharapkan akan abadi. Namun, keabadian itu seketika sirna saat aku harus memilih dan pilihan itu meninggalkanmu. Rasa sakit meninggalkanmu masih terasa meski beberapa ingatan sudah tenggelam ke dasar palung terdalam. Aku memang banyak melupakan momen-momen bersamamu tapi sakit meninggalkanmu tak bisa dihilangkan.

Aku berusaha mengingat kembali saat engkau belum bisa melupakanku. Di dua tahun pertama kita berpisah, engkau masih menghubungiku. Seketika aku membuka pesan-pesan yang kau kirimkan padaku tapi tak pernah kubalas satu pun. Di salah satu pesan yang dikirimkan sehari sebelum ulang tahunku, engkau mengatakan bahwa segala keinginanku saat kita bersama telah terwujud, seperti membuat miniatur kapal yang tertuliskan nama kita berdua, melayarkannya di antara pulau, kemudian mengabadikannya dalam dinding rumah yang engkau bangun untukku. Sehari berikutnya, saat ulang tahunku, engkau memberi doa-doa terbaik untukku. Seolah engkau sudah ikhlas melepasku. Aku nyaris percaya pada kata-kata itu. Dua bulan berikutnya, saat di hari pahlawan, engkau mengirimiku gambar-gambar gagahnya sosokmu. Hatiku bergetar tentu, namun aku memilih untuk setia.

Dua tahun berikutnya, aku menerima pertemanan mayamu. Kupikir, sudah cukup waktumu melepaskan, benar-benar mengikhlaskanku. Tak ada curiga dan aku menganggap semua akan baik-baik saja, selayaknya pasangan-pasangan yang berpisah. Aku berusaha untuk memaafkan diriku, tidak menyalahkan diri sendiri atas perpisahan yang menyakitkan itu. Namun, engkau membuat rangkaian kata yang menjadikan hatiku terasa perih dan bergemuruh bagai terbakar api. Apa maumu? Tak bisakah melepaskanku? Apa engkau tak ingin bahagia? Mengapa engkau terus menyiksa diri?

Aku pun menuliskan paragraf panjang untuk membuatmu mengerti bahwa takdir sudah tertulis. Berharap bahwa engkau memahami tentang pilihanku dan berhenti menyalahkan, aku maupun engkau. Aku menjelaskan situasi yang tak pernah sempat dijelaskan padamu, keputusan meninggalkanmu dan tak bisa menepati janji yang telah diikrarkan. Sungguh, tiada pilihan untukku pada waktu itu untuk tidak meninggalkanmu. Aku tak sanggup membayangkan hidup tanpa restu kedua orang tuaku. Mereka tak merelakan putrinya menikah dengan perwira sepertimu. Bukan karena sosokmu, bukan karena keluargamu, melainkan karena resiko atas pekerjaanmu. Engkau lelaki yang baik, gagah, penyayang keluarga, dan penyabar, pasti bakal banyak perempuan yang mau menikah denganmu. Tiga tahun tiga bulan, aku rasa cukup untuk melabuhkan hatimu ke hati perempuan lain. Tapi itu tidak terjadi.

Engkau sudah membaca paragraf panjangku. Kulihat reaksimu yang menyiratkan bahwa engkau memahami situasiku. Engkau berhenti menyalahkanku dan aku berterima kasih atas keputusan itu. Hanya saja, engkau belum bisa melepasku sehingga membuatku jengah dan memutuskan pertemanan maya denganmu. Aku tak ingin membuka hubungan apapun lagi denganmu. Rasanya sia-sia aku memulai hubungan positif pasca perpisahan kita. Keras kepalamu itulah yang membuatku semakin tak ingin mempertahankan jalinan kasih selama lima tahun itu.

Tiga tahun kemudian, engkau menghubungiku lagi. Menanyakan sesuatu yang konyol: Bisakah kita bertemu?

Setelah pertanyaan konyol itu, engkau tak pernah menghubungiku. Aku juga sudah tak mempedulikanmu. Itu pilihan hidupmu untuk terus memendam ingatan tentangku. Meskipun aku berusaha untuk mengerti bahwa lima tahun bersamamu memang bukan sekejap. Aku juga terganggu dengan kenangan-kenangan itu. Kadangkala, kenangan itu muncul begitu saja bahkan terbawa sampai ke alam mimpi. Aku menganggapnya itu sebagai alam bawah sadar yang muncul tiba-tiba, kekuatan ingatan yang tidak pernah aku pahami. Ingatan itu sesuatu misteri, bak file-file yang tenggelam lalu muncul kembali tanpa pernah dicari dan dipanggil. Memanggil memori suatu hal biasa saat alami lupa, tetapi kemunculan memori tanpa panggilan masih menjadi misteri meski teori-teori telah disepakati.

Lima tahun berlalu sejak pertanyaan konyol itu dilayangkan padaku. Aku tergerak untuk mengetahui kabarmu kembali, berharap dengan sangat engkau telah melabuhkan hatimu dan benar-benar melupakanku. Aku keliru. Engkau semakin menjadi dan hari di saat engkau mengajukan pertanyaan konyol itu merupakan hari di saat engkau berlabuh di kotaku. Katamu, itu permulaan dari perjalanan panjang mengarungi tujuh samudera dan engkau akan membuktikan ketulusan cintamu. Kegilaan yang memang tak bisa aku mengerti. Begitukah namanya cinta mati? Aku pikir tak ada cinta mati dan barangkali itu terjadi padamu.

Di dunia mayamu, aku mengamati satu per satu perjalanan panjang itu. Tertulis nama-namaku di setiap pelabuhan yang engkau singgahi. Aku menganggap itu suatu kegilaan sekaligus sanjungan. Bahkan pilihanku tak pernah melakukannya untukku. Apakah aku menyesal? Sempat terbersit pertanyaan itu dan buru-buru aku menghapusnya. Realita adalah realita, pilihan adalah pilihan, dan jangan pernah menyesalinya.

Sekitar tiga ratus lima puluh enam pelabuhan engkau singgahi bersama namaku. Engkau menuliskan namaku dalam secarik kertas, kemudian melarungnya ke lautan lepas sambil meneriakkan bahwa engkau masih sangat mencintaiku. Engkau mencium kertas itu sebelum melarungkannya ke lautan. Ciuman sangat dalam seolah tak ingin melepasnya. Sama seperti engkau berat untuk melepasku.

Begitulah diriku, masih saja tergiur untuk mengetahui kabar beritamu. Aku pun masih belum melupakanmu. Bagaimana aku melupakanmu, jika ingatan tentangmu masih ada? Andai saja aku alami amnesia di bagian ingatan bersamamu, itu akan lebih mudah bagiku untuk melupakanmu. Nyatanya itu tidak pernah terjadi. Aku pernah mencoba untuk terapi hipnotis supaya bisa melupakan setiap memori bersamamu, tapi sia-sia, bahkan semakin ingin melupakanmu semakin aku ingin mengetahui kabarmu. Maka, aku tak melakukan apa-apa lagi terhadap ingatanku itu. Kesimpulanku, ada rasa bersalah di dasar hatiku atas apa yang terjadi padamu. Aku tak bisa menyalahkan diriku sepenuhnya atas perpisahan itu, tetapi rasa bersalah itu semakin menjadi saat engkau tak kunjung melabuhkan hatimu. Justru engkau melakukan hal-hal yang menurutku membuatmu semakin sulit melupakanku.

Ah, mungkin aku tak bisa memahamimu. Aku saja kesulitan melupakanmu, mengapa pula aku menghakimimu?

Aku masih mendoakanmu untuk mendapatkan perempuan lain sebagai labuhan hati terakhir dan benar-benar melepaskanku.

Rasa ingin mengetahui kabarmu hanya terlintas saja karena ingatan-ingatan yang tak pernah dipanggil itu. Aku membiarkan ingatan itu datang dan pergi supaya tidak terjebak dalam keragu-raguan. Aku tak ingin melukai perasaan siapa pun lagi dan menjalani hidup dengan kebahagiaan. Rasa sakit atas perpisahan itu pun aku abaikan terus, meskipun tak jua kunjung hilang. Rasa itu hanya setitik tetapi amat menyakitkan, menghujam hingga tak terlumpuhkan dalam ingatan.

Tiga tahun berlalu. Aku kembali melihat dunia maya milikmu. Aku terkejut sekaligus bahagia melihat gambar-gambar pernikahanmu. Engkau menegakkan layar kapalmu bersama perempuan itu. Engkau melabuhkan hati pada perempuan itu setelah tiga belas tahun berpisah denganku. Ya, tiga belas tahun usia perpisahan itu dan engkau masih tak bisa melepasku setelah aku menikah selama dua belas tahun. Mengapa engkau memerlukan waktu selama itu?

Aku melihat gambar-gambar lain sebelum engkau menikah. Ada satu kalimat yang membuatku tersentak: Din, selama lima tahun aku berlayar ke tujuh samudera, selama itulah aku menuliskan namamu dan membuangnya ke samudera, itu sebagai tanda bahwa aku telah melepasmu, terima kasih atas kebahagiaan dan kepedihan yang telah kau berikan, aku akan berhenti mencintaimu.

Deg. Jantungku bagai berhenti seketika. Perasaan kehilangan merasuk dan hatiku membatin: Begitukah akhirnya?

Harusnya aku turut bahagia dan memang tak dipungkiri ada rasa bahagia itu. Pun perasaan lega yang tidak tergambarkan, tetapi kehilangan juga tak terelakkan. Layaknya kehilangan penggemar bagi seorang aktor.

Tanpa sadar, aku melihat gambar-gambarmu berulang kali. Entah apa yang ada dalam pikiranku. Mungkin hanya ingin memastikan bahwa itu adalah kenyataan. Sempat aku khawatir bahwa engkau akan melajang seumur hidupmu setelah kegilaan yang dilakukan dengan namaku. Tentu saja aku khawatir hal itu akan terjadi, meskipun di sisi lain terus berharap tidak terjadi. Dan saat terjadi, aku serasa belum percaya meski aku meyakinkan diri bahwa itulah kenyataannya. Engkau berhak untuk bahagia, sama dengan diriku.

Aku tak tahu persis tanggal pernikahanmu. Hanya memperkirakan bahwa engkau telah enam bulan bahagia hidup bersama perempuan itu. Memang terlambat mengetahuinya karena seperti yang kuceritakan bahwa aku masih mengingatmu tetapi bukan berarti tidak pernah melupakanmu. Apakah itu cinta? Tentu saja bukan, hanya sebentuk empati atas kondisimu yang tak kunjung bisa melepasku. Aku di sini bisa hidup dengan bahagia, mengapa engkau di sana terbelunggu dengan masa lalu kita? Saat mengingatmu, aku perlu mengecek perubahan yang terjadi padamu. Tentu saja perubahan yang paling kuharapkan adalah engkau melabuhkan hatimu pada perempuan selain diriku. Perubahan itu terjadi dan aku teramat bersyukur pada Tuhan sehingga mendoakanmu untuk bahagia selamanya bersama perempuan itu.

Empat bulan kemudian, layar kaca memberitakan sebuah bencana. Aku tak begitu peduli pada mulanya. Tapi, berita bermunculan tiada henti dan mampir di beranda dunia mayaku. Aku membuka salah satunya dan menemukan nama yang tak asing buatku. Sontak aku melacak nama itu di berita-berita lainnya. Benar, itu namamu. Aku tak ingin percaya, tapi itu namamu!

Aku menangis dan berteriak!

Tak adil! Kataku dalam teriakanku. Engkau baru saja merasakan kebahagiaan itu. Engkau baru saja melabuhkan hatimu. Engkau baru saja akan menyecap manisnya pernikahanmu. Engkau baru saja melepaskanku. Aku tersungkur dan menangis dalam pelukan lelaki yang telah menemaniku selama dua belas tahun. Ia mengusap tubuhku, menenangkanku. Katanya: Din, itu sudah menjadi takdirnya. Suamiku tahu kisah tentangmu sehingga ia mau memahamiku, tentu saja kadangkala cemburu tak terpungkiri. Namun, ia terlalu mencintaiku, sehingga kisah-kisahmu bukan sesuatu yang penting buatnya dan membiarkanku berempati untukmu.

Berhari-hari aku berduka. Melihat gambar-gambarmu di dunia maya. Sampai akhirnya, melihat video saat engkau mengelus perut perempuan itu yang di dalamnya ada calon anakmu. Aku makin mengharu. Semesta memang teramat kejam padamu!

Aku membuka pesan di dunia mayaku. Berharap ada pesan darimu. Tidak ada. Lalu aku membaca kembali pesan-pesanmu. Mataku tertuju pada pesan terakhirmu: Din, berhenti mengkhawatirkanku, aku akan melabuhkan hatiku dan berlayar selamanya untuk bisa melepaskanmu.

*****

Editor: Moch Aldy MA

Puteri Soraya Mansur

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Dapatkan tulisan-tulisan menarik setiap saat dengan berlangganan melalalui email