Membakar Ketiadaan dan Puisi Lainnya

Ilham Nuryadi Akbar

1 min read

Terkutuklah Aku

Bila aku bunga-bunga padma
gugur mengharumi pusaramu
sekadar menggenapi aroma liang
tempat kau sebatang
sebelum pohon-pohon nirwana
menggantikan namaku.

Bila aku seekor kumbang
aku akan meranggas
bunga selain engkau
menyisakan seribu duri-duri tajam
semata mekar
milik kau seorang
yang paling sekuntum bunga.

Bila kau sabtu terakhir
hari lain adalah tempat
untukku bermalas-malasan
mengundang suntuk, menggumbuk pelupuk
hingga kantuk
agar malam ini
kencang nafasmu
setara dengan nafsuku
yang ingin bercumbu.

Bila aku berhenti puitis
kemarau untuk menulis
sungguh matamu
hanyalah hujan
yang tiada mereda.

Terkutuklah aku
dan perempuan selain engkau
sebab kelahiranmu
aku—aku menjelma lelaki piatu.

(Pematangsiantar, 24 November 2024)

Membakar Ketiadaan

Bakarlah aku, Puan
di tengah panggung megah itu
tempat lelakimu merasa paling Adam
dan menghamba
di antara senyummu yang tak wajar.

Sebab bibirku
telah mengkhatamkan doa-doa
melalui mantra yang saban hari
kau ajari, kudaur ulang,
lalu kujerat dengan sendiri
menjelma pisau berkilauan
dan jauh lebih tajam
dari nasib yang cacat.

Nanti, pergilah berbulan madu
di pulau tempat kita sering bermanja
lalu ajarkan lelakimu
bagaimana caranya menjala
kau pasti puas
menyantap ikan
yang hidup
dari bangkai tubuhku.

(Pematangsiantar, 24 November 2024)

Pulang adalah Mendung

Adakah kau dengar pecah ombak
menghantam dua ranting kecil
dan patah dari tanganku
sebelum namamu
lengkap kutulis.

Di halaman rumahku
bunga-bunga krisan adalah tumpukan
yang tak pernah kusapu
lalu kau melepas ular
di antara daun-daun busuk itu
demi malam nanti
ia dapat melingkar
dan bertandang
di bawah mataku.

Kini, di bulan yang bukan Ramadan
senyum dan kabarmu
adalah puasa yang sebenarnya.

(Pematangsiantar, 24 November 2024)

Kesedihanku Hanyalah Musim

Di balik punggung seorang kusir
kau resapi ricik tungkai seekor kuda
bertasbih segala pitutur
menuju singgasana akhir
yang kau pikir
tempat doa-doa berkelindan
menuju lautan furqan.

Dengan fasih
aku menakwil segala riasan:
Tetapi gaun berkilau bak negeri dongeng itu
adalah zirah yang kau sulam
dari runtuh kabarku
yang usang menjelma kafan.

Hari ini, aku bersaksi:
Seribu malam jatuh di rambutmu yang basah,
bintang-bintang bersinar di dada kau yang gagah,
sementara aku
sibuk mencecap rendang di meja tamu
makanan nomor satu, dipenuhi bumbu
liur dan sekubit serapahku.

Kali ini,
kesedihanku benarlah musim
yang tak pernah kau hafal.

(Pematangsiantar, 24 November 2024)

*****

Editor: Moch Aldy MA

Ilham Nuryadi Akbar

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Dapatkan tulisan-tulisan menarik setiap saat dengan berlangganan melalalui email