Cerebral hemorrhage
Ah, usia, mengapa waktu memintas begitu bergegas,
hari ke hari, detik ke detik, seperti mimpi yang lekas terjaga?
Maut yang tabah mondar-mandir di dalam kepala,
di antara kerinduan, dan bayang-bayang air mata.
Kita yang harus merelakan
apa yang tak ingin kita relakan.
Kita yang akan meninggalkan
apa yang tak ingin kita tinggalkan.
Ah, usia, mengapa kegembiraan begitu tergesa-gesa
mencari jalan pulang, setapak demi setapak, luka demi luka,
bagai tabiat halimun yang hirap ditelan cahaya?
–
Dalam Sederet Imaji
Doa-doa memintas bagai cahaya. Seseorang yang mungkin tak kukenali
membawakanku sesayat perih. Inikah sesal? Getir-getir kemurkaan
yang bercampur legam menjadi abu; derai-derai kesedihan
yang melesat cepat menyelami kegamanganku? Ketika bayang-bayang
tentang kematian mulai begitu nyaris di ambang mata, dan kata-kata
telah sedemikian rupa ingin mengubah diri menjadi seekor Hiena.
Aku barangkali akan dan telah beranjak meninggalkanmu.
Meninggalkan seribu mimpi buruk yang baru saja kaubenahi pada suatu pagi
di mana rindu tiada henti-hentinya mengetuki pintu rumahmu.
–
Obituarium Biru
Suatu hari, di sela-sela pohon kemboja ini,
aku akan mendengar kembali parau suaramu, kekasih.
Seperti mengulang lagu lama yang dulu
kerap kita nyanyikan pabila petang kian menjelang,
dan kita akan merayakan kesunyian ini
dengan sebotol wine.
Suatu hari, jika benar-benar ada kesialan
yang tak mungkin kita elak, seperti laju usia,
atau rerintih hujan yang jatuh pada dahan yang mana.
Aku kan tetap mati, kekasih.
Meski hujan tetap merinai, dan lagu itu
tetap mengalun pelan mengiringi pemakamanku.
–
Mistress meneguk Skotch
waktu berjalan seperti es
hidung menghirup purba
kata telah tiada
Di antara sepintas gembira
dan duka, sunyi adalah
sengsara yang buru-buru
mesti kita lenyapkan
Di antara kebimbangan,
luka, dan air mata,
ketiadaan adalah bahagia
yang mesti dengan tabah
kita rayakan.
–
Aku sedang berjalan-jalan di alam kantuk,
meski kutahu bahwa jalan tak selamanya ngantuk,
dan mengantuk bukanlah sebuah jalan.
Dalam lelapku yang renyai itu, ada sepasang mata
yang seakan menyoroti benakku yang
sedang melaju 100km/jam, seperti sinar X
di dalam bohlam 75watt bermerek H.
“Tiada kasur pagi ini yang dapat cegah
ngantukku, selain sepasang mata yang terus
nyorotiku dari balik jendela-jendela kaca.”
*****
Editor: Moch Aldy MA