Bau itu seakan terbang sejauh 460 kilometer, dari Pamulang ke Semarang. Bau yang mengingatkanku pada menu masakan favorit Ibu menjelang kematiannya, sekitar 6 tahun yang lalu.
***
Jumat terakhir sebelum pergantian tahun. Aku bangun kesiangan sebagaimana hari-hari sebelumnya. Aku terbangun karena hal gaduh yang terjadi di luar kamar. Para penghuni kontrakan atau lebih tepatnya penampungan mahasiswa Sejarah semester akhir sedang sengit menuduh siapa yang alpa mencuci piring bekas ikan asin dua bulan yang lalu. Kata salah satu penghuni kontrakan, Daeng Andi, “bau ikan asin ini sudah terlalu mengganggu, aku bahkan sudah tidak lagi bisa mencium bau obat nyamuk bakar yang kunyalakan semalam.”
Bau ikan asin itu tiba-tiba muncul sejak dua hari yang lalu. Awalnya kami mengira tetangga samping kanan kontrakan yang sedang memasak ikan asin lengkap dengan sambal terasi dan emping melinjo. Namun, nyatanya sumber aromanya bukan dari sana. Bukan juga dari cucian piring, sebab nyatanya tak ada piring kotor di wastafel kontrakan ini.
Sebagai calon sejarawan tokcer dan taat metodologi, kami sungguh telaten dalam melakukan tahapan heuristik atau mencari sumber. Ya, mencari sumber bau ikan asin berasal. Kami sepakat membentuk tiga tim pencari fakta ikan asin. Aku dan Dipta ditempatkan di ruang tamu dan keluarga. Omar dan Peli ditugaskan masuk ke empat kamar tidur. Daeng, Jaki, dan Tosan kebagian halaman belakang, dapur, juga kamar mandi.
Aku dan Dipta tanpa tedeng aling-aling menuju ruang tamu. Dipta yang berada di bawah komandoku seketika sigap merayap di atas tikar ruang tamu dengan kepala dan hidung menghadap tepat ke permukaan tikar. Membaui setiap jengkal tikar motif pisang yang panjangnya tak lebih dari tiga meter ke atas dan dua meter ke kanan. “Lapor komandan, tak ada bekas ikan asin di sini, saya hanya mencium tumpahan bau ciu gedang klutuk dan kacang rebus benyek sisa perayaan ulang tahun Jaki lima hari lalu,” lapor Dipta disertai wajah patriotik prajurit penjaga pembatasan. Aku hanya bisa menggaruk-gelengkan kepala seakan kehabisan akal melawan pasukan barbar di front timur.
Serdadu Omar dan Peli tampak lebih menggila di jantung medan perang. Memelototi setiap sudut kamar tidur takut kalau-kalau sebungkus ikan asin dijadikan jimat keselamatan dan kelulusan mahasiswa musyrik. Mengobrak-abrik setiap figura di meja dan tembok takut kalau-kalau calon sejarawan aneh nekat menjadikan sepotong ikan asin sebagai pemanis ruangan. Melucuti seluruh isi kapuk di dalam bantal takut kalau-kalau sejumput ikan asin dijadikan obat tidur oleh mahasiswa sepuh yang stres setengah mati tiap kali menemui draf skripsinya diorat-oret dosen pembimbing. Sudah dua jam duo serdadu tangguh ini menginvasi tiap kamar tidur. Namun, tidak juga ditemukan tanda-tanda kemusyrikan, keanehan, dan gangguan kecemasan berlebih di diri para penghuni kontrakan.
Regu ketiga menjadi harapan terakhir. Tiga wilayah berbeda harus ditaklukkan secepat Serangan Umum 1 Maret. Pertama-tama, Tosan menggeledah seisi dapur plus wastafel. Membongkar kompor dua tungku secermat mungkin layaknya tentara yang saban hari berlatih bongkar-pasang senapan kaliber 5,56 mm. Tak ada yang Tosan lewatkan sedikit pun, bahkan kerak dan karat yang menempel di pinggir rangka kompor. Untuk urusan ini, Tosan lebih tampak seperti anjing dobermann ketimbang calon sejarawan. Ia melacak tiada henti dan menyalak tiada letih. Sayang, tulang-belulang ikan asin tak juga berhasil ia ditemukan. Dengan berat hati, Tosan mengakhiri kerasukannya tersebut. Meninggalkan areal dapur plus wastafel setelah terlebih dahulu mengencingi batas wilayah pencariannya itu.
Di tempat yang berbeda, Jaki sibuk sendiri mencari asal-muasal bau ikan asin di kamar mandi. Jaki menutup kamar mandi dan mengurung dirinya seperti seorang pertapa Tiongkok. Hidungnya kembang-kempis membaui seluruh isi ruangan. Konsentrasi ia jaga dalam-dalam sampai sekujur tubuhnya menggigil. Bau ikan asin yang tadinya menyengat hebat, kini telah berganti menjadi bau sabun colek rasa lemon. Bau menyedihkan itu telah berubah menjadi bau alam, aku berhasil menaklukkan ego dan nafsu duniawiku. Secepatnya aku akan menjadi sufi, filsuf, atau mentok-mentok ahli spiritualitas yang punya sedikitnya seribu pengikut! pikir Jaki yang sedari awal sudah basah dan telanjang dada di kamar mandi.
Karena pikirannya sudah dipenuhi bayangan kesuksesan di masa mendatang, Jaki lupa apa yang membuatnya bertapa di kamar mandi. Sekurangnya lima menit ia linglung harus berbuat apa. Setelah memorinya pulih, Jaki lantas membuka celananya pelan-pelan, mengambil sikat dan sabun colek, lalu mulai membersihkan dinding kamar mandi.
Dua jam lebih operasi tangkap tangan ikan asin berlangsung, dan belum juga menemui hasil. Hari semakin siang dan terpaan angin musim hujan semakin menerbangkan bau ikan asin ke seisi ruangan kontrakan. Bau ikan asin ini bagaikan hantu di siang bolong, meneror dan mengguncang mental kami dengan kehadirannya. Hantu tersebut seperti terbang dari satu ruangan ke ruangan lain, merayap dari plafon satu ke plafon lain, merangkak dari dinding satu ke dinding lain. Hantu itu ada di mana-mana sejauh hidung menghirup.
Di situasi getir bercampur keputusasaan, Laksamana Daeng Andi masih tegar berjibaku dengan bau ikan asin di halaman belakang. Dengan sisa-sisa keharuman sejarah keluarganya yang lincah saat merompak kapal-kapal kompeni di Selat Makassar, Daeng menolak menyerah. “Nenek moyangku sudah 45 kali merompak kapal kompeni, hampir tertancap moncong marlin biru saat berburu di Laut Banda, bertahan 3 hari 3 malam dari terpaan topan surigae di perairan timur Filipina, dan pergi menyelamatkan rombongan paus sperma di sepanjang pantai Donggala. Aku tak mungkin melunturkan heroisme pelaut Bugis hanya karena persoalan ikan asin. Ikan asin sialan itu tak bernyawa, tak bersiasat, apalagi bersekutu dengan Arung Palakka untuk mengalahkan diriku, tidak serumit strategi VOC saat menaklukkan Kerajaan Gowa. Cepat atau lambat, aku akan menemukan sumber bau itu.”
Daeng begitu sengit menggaruk tanah basah halaman belakang, tempat di mana kami suka membuang dan membakar sampah. Kuku-kuku Daeng amat terlatih dalam mengubek-ubek sampah dapur, limbah encer, dan tanah merah secepat kilat, persis sebagaimana fungsi tangan kail Kapten Hook. Daeng mulai meracau karena tidak menemukan apa-apa di sana. Menendang berbagai botol kopi kemasan ke segala arah. Sampah dan tanah merah seketika bertebaran di mana-mana, entah di pohon pisang, kandang domba, tembok hijau milik tetangga, jemuran baju penghuni kontrakan, sampai ke keran-keran wudu musala desa. Baju Daeng yang awalnya berwarna merah komunis, sudah berubah menjadi coklat-hitam lesu khas penampakan pocong di film-film azab.
Daeng tertunduk malu menanti detik-detik kekalahannya melawan ikan asin. Dengan secuil harum DNA orang laut, ia mulai menuju sumber air di belakang kandang domba. Mulai membasuh kaki, tangan, wajah, dan leher yang tampak seperti ditebas habis oleh ikan asin. Membuka baju komunisnya lalu mengucek-nguceknya di aliran air. Air bekas kucekan baju komunis itu mulai bercucuran di tanah merah kandang domba disertai beberapa tetes air mata Daeng yang tak berhasil dirinya bendung. Enam tahun sudah Daeng bermukim di Jawa, dan baru kali ini ia menangis. Tahta penguasa lautnya telah melorot dodor di hadapan sepotong ikan yang saban waktu ia santap bareng buras di Pulau Samatellu.
Sehabis menikmati air tawar dan menghikmati air mata. Daeng berjalan ke arah jemuran baju. Ia ingin mengelap tubuhnya yang tak lagi menyimpan sisa harum orang laut. Memilih secara serampangan kaus hitam di jemuran. Kaus hitam bertulis “revolusi mental” ia sabet sampai jepit jemurnya kabur ke mana-mana. Kaus hitam itu langsung ia gosok-gosok ke rambut jabriknya, kedua telinganya, tangan sampai sikunya, dan sela-sela jari kakinya. Sejenak ia menghela napas panjang sambil membungkukkan badan. Kembali tegap, Daeng membalik kaus hitam sampai tulisan “revolusi mental” tak lagi tampak ke permukaan. Selesai membalik, ia langsung mengusap wajah, dan mendorong air matanya yang sesekali masih ingin jatuh.
Daeng kembali mengusap dan menutup wajahnya dengan kaus. Menghirup napas untuk sekali lagi, dan kemudian ia roboh ke tanah merah. “Asu! Baju si loyalis partai nasionalis itu penyebab bau ikan asin tak berkesudahan ini. Kusumo, dasar celeng! ” erang Daeng setelah membanting kaus Kus jauh-jauh.
***
Daeng lalu masuk ke dalam kontrakan dan konferensi ikan asin lima menit lagi akan dimulai.
Daeng membuka, “Tak ada ikan asin, jimat, figura, obat tidur, atau sebagainya. Sumber bau itu dari kaus Kus. Aku tidak sengaja menggunakannya untuk mengelap wajahku, dan benar, tak ada ikan asin, baunya lebih mirip pesing kakek uzur yang membuat kepalaku pening bukan main.”
Tanpa komando, kami berenam bergegas mencari kaus Kus, meninggalkan Daeng yang masih dilanda trauma hebat. Jaki dengan kejahilannya memungut kaus Kus, dan mulai mengibas-ibaskannya ke udara. Kami semua mual bukan main, bukan hanya pening kepala, tetapi juga kesulitan bicara. Baunya benar-benar membuat lidah kaku dan kelu.
Kami kembali ke ruang tamu. Tidak lagi mencari sumber bau, namun mengkritik sumber bau. Kami sungguh kelimpungan memberi tahu Kus soal ini. Kami sejujurnya sudah lama terganggu dengan kebiasaan jorok Kus. Jarang mandi, jarang cuci kaki, jarang mencuci kaus kaki, sering menaruh puntung dan pakaian di manapun ia suka, dan obses dengan mie instan campur bawang merah segambreng. Tetapi, selayaknya orang-orang bau di luar sana, Kus tak pernah menyadari dirinya jorok, kotor, bau, dan mengganggu.
Jengah mendengar konferensi yang tak jelas arahnya, Daeng bergegas ke halaman belakang. Ia mulai mengumpulkan botol plastik, daun kering, kapuk bantal, dan jilid skripsi yang sudah diorat-oret. Ia membuang semuanya ke lubang tanah, dan menyulut api ke tengah-tengahnya. Sembul api pelan-pelan timbul, Daeng menggaet kaus Kus, berniat membakarnya hidup-hidup. Aku mencegah Daeng melakukannya, “Kasian Kus, bila kausnya dibakar ia tak punya banyak pilihan mengganti kaus, tidak mengganti kaus artinya akan semakin bau. Dengan semakin bau hanya akan menambah penderitaan kita.”
Daeng mengangguk paham, bagaimanapun juga ia mengerti betul keadaan perantau plus derita mahasiswa sepuh. Lalu dengan ide gila cadangannya, ia berpikir untuk mengasapi kaus Kus. Secepat kilat ia menyobek dan menelentangkan daun pisang, meletakkan kaus Kus di atasnya, kemudian melipat-lipat keduanya. Setelah yakin lipatannya tak bercelah, Daeng mengunci kaus asapnya dengan lidi. Setengah jam Daeng berjongkok di depan api, meniup-niup api agar stabil, tak lupa membolak-balik kaus asap secara berkala dan merata.
Setelah dirasa cukup, Daeng membuka kaus asapnya. Menghirup dalam-dalam bau masakannya. Merasa ada yang kurang, ia mengambil satu genggam garam dapur dan menaburkannya ke atas kaus asap. “Sempurna. Ini bukan hanya menjadi kaus asap terenak di dunia tetapi juga cara mengusir bau demit ikan asin yang bersemayam di tubuh Kusumo!” pungkas Daeng dengan gestur tangan saling mengusap pertanda misi telah selesai.
Aku, Dipta, Omar, Peli, Jaki, dan Tosan hanya geleng-geleng kepala dan berharap dikit sewaktu melihat tingkah gila Daeng Andi. Apa salahnya kami berhusnuzan jika alasan Kus bau selama ini berawal dari bisikan demit ikan asin terkutuk, bukan kebiasaan jorok apalagi obsesi Kus pada mie instan dan bawang merah.
***
Satu setengah jam kemudian Kus kembali ke kontrakan. Wajahnya semringah karena bab dua skripsinya telah di-acc dosen pembimbing. Sambil bersiul riang, Kus berjalan ke arah halaman belakang. Menyalakan rokok kreteknya di depan kandang domba dan sebelah tumpukan bakaran sampah. Melihat kaus hitamnya sudah telentang di atas daun pisang dan ditaburi garam dapur, Kus mengibas-ibas kausnya dan terus-menerus menciumi aroma asapannya.
Digenggam kausnya dengan tangan kanan. Kakinya pelan-pelan melangkah ke dapur. Kus lalu mengambil sebilah pisau daging. Dengan rokok kretek di pangkal mulutnya, ia mulai mengiris-iris kausnya menjadi empat bagian. Satu bagian untuk keset kamar mandi, dua bagian untuk serbet dapur, dan satu bagian sisanya untuk sapu tangan pribadinya.
Para penghuni kontrakan yang melihat tingkah Kus hanya bisa menatap satu sama lain secara aneh dan menahan lisan supaya tidak terucap kata asu. Saking tidak tahannya, kami putuskan untuk menyebar dan melanjutkan kesibukan masing-masing yang tadi sempat terhenti karena Kus.
Bakda isya, aku mendatangi kamar Kus-Daeng. Menanyakan Kus mengenai alasannya mengiris kaus sedemikian rupa.
“Selepas futsal tiga hari yang lalu bersama anak-anak kontrakan. Aku sudah berniat menjadikan kaus itu sebagai keset ataupun serbet karena beberapa jahitannya sudah rombeng ditarik anak-anak. Jadi, aku putuskan untuk menjemur kaus tersebut supaya kering dan tidak bau sebelum nantinya jadi keset atau serbet yang berguna untuk kita semua.”
***
Aku kembali masuk ke kamar. “Asu, tahu gitu mending aku tak usah repot-repot menahan dan menasehati Daeng untuk membakar kaus Kus. Biar saja kaus dan bau ikan asinnya hilang ditelan api neraka jahanam,” keluku. Aku gagal menginterpretasikan ide brilian Daeng dan gagal pula menafsir motif jahat Kus untuk aku serta anak-anak kontrakan.
Beberapa hari berselang, para penghuni kontrakan tidak juga membicarakan persoalan ini ke Kus. Tidak dengan drama ikan asin, kelakuan jorok Kus, ataupun obsesi menyimpangnya itu. Kami bungkam seada-adanya. Kami terus mempersilakan ia dan bau ikan asinnya hidup bahkan beranak pinak di tiap sudut kontrakan.
Sebelum tidur dan mengakhiri cerita sejarah ini. Aku merenung panjang memikirkan tak berdayanya aku di hadapan ikan asin. Aku kembali mengingat-ingat pesan terakhir Ibu sebelum aku belajar Sejarah.
“Syarat menjadi sejarawan hebat dan diperhitungkan, selain kamu harus taat metodologi, perlu juga dirimu tegak lurus pada kaidah sejarah. Pertama, takut mengatakan kebohongan. Kedua, tidak takut mengatakan kebenaran. Selama dua kaidah itu kamu pegang, Ibu bangga padamu,” nasihat Ibu disela mengunyah ikan asin dan sambal dadakan di pinggiran empang dekat rumah.
Aroma ikan asin kunyahan Ibu masih lekat di memoriku. Aromanya melekat, pesannya terbang entah ke mana. Aromanya dekat, pesannya jauh sembunyi di ujung empang. Baunya terbang sampai Semarang, kaidahnya tertinggal di Pamulang. Baunya bersemayam di tubuh Kusumo, pesannya terkubur dalam di samping jenazah Ibu sebulan sebelum ospek berlangsung.
Dan kini, ganjaran dari kealpaan mengingat pesan Ibu berupa pertemanan abadi dengan bau ikan asin, atau sekurang-kurangnya sampai Kusomo membaca tulisan kebenaranku ini.
*****
Editor: Moch Aldy MA