Di siang yang panas itu, Guru Fisika menerangkan hampir tanpa semangat. Daun-daun berguguran. Di luar ruangan ayam dan bebek berkejaran. Di sudut paling terpencil, di belahan dunia yang lain, malam masih menenggelamkan manusia dalam mimpi. Keriuhan di ruang kelas itu bertransformasi menjadi masa dan energi yang dikuadratkan. Inspirasi yang menyala dari tungku-tungku pengetahuan yang dipanaskan. Guru Fisika menulis rumus. Rumit. Gabungan angka dan huruf yang dikali dan dibagi, membuat setiap siswa menguap melihatnya.
Ayam dan bebek tetap berkejaran tidak peduli. Sama tidak pedulinya dengan Guru Fisika itu kepada murid-muridnya. Sebuah pesawat terbang dengan suara yang menderu. Lima ratus kilometer dari tempatnya mengajar. Meski jauh, getarannya mampu menembus kegundahannya sepanjang mengajar. Berceloteh lebih tepatnya. Karena tak satupun murid itu yang memerdulikan ucapannya. Sama tidak pedulinya Guru Fisika itu. Apakah anak-anak itu harus meregang nyawa sekarang, atau nanti.
Sebuah pohon tumbang bersamaan dengan kapur yang jatuh. Keriuhan makin menjadi-jadi. Gemiricik sungai Musi berpadu, berkejaran dengan Kapuas dan Barito. Entah. Siapa mendahului siapa. Semua tidak penting. Yang terpenting, Guru Fisika itu sedang berusaha menjejalkan pengetahuan baru ke dalam kepala murid-muridnya yang bebal. Meski dengan malas. Peduli amat.
“Fisika adalah ilmu pasti,” sabdanya.
“Semua yang tidak pasti bukan bagian dari fisika.”
Dan ternyata semua hanya paradoks. Meski mengajarkan tentang kepastian, kenyataannya kehidupannya sendiri dikelilingi oleh ketidakpastian itu sendiri. Fisika klasik. Fisika kuantum. Termodinamika. Semua hanya omong kosong. Dongeng-dongeng dari mulut-mulut bau para ilmuwan yang baru bangun tidur selama delapan jam.
Sebuah gelas jatuh berkelontangan di dalam pesawat yang membawa seorang wanita setengah baya. Pramugari berkali-kali membungkuk minta maaf. Seakan-akan itu adalah kesalahannya. Padahal jelas-jelas penumpang itu ceroboh. “Maaf. Biar saya ganti dengan yang baru,” ucapnya.
“Tidak usah! Saya sudah tidak ingin minum,” tutur wanita setengah baya itu sambil mengibaskan tangan. Mengusir pramugari dari matanya.
Di sudut yang lain, tempat pensil besi yang dilempar juga berkelontangan mengenai meja. Guru Fisika mengamuk. Telinganya mendidih. Dia mencekik setiap mata muridnya dengan tatapannya sendiri. Barangkali sudah saatnya.
Sepelemparan batu dari sungai Musi, anak-anak SD yang telah pulang lebih dulu berkejaran memburu layang-layang. Di hulu Kapuas, kepala suku Dayak baru saja mendapat buruan pertamanya. Buruan yang akan menyelamatkan mukanya setelah seharian tak mendapatkan apapun kecuali nyamuk-nyamuk yang terus menempeli tubuhnya.
Ponsel Guru Fisika berdering. Dia mengangkatnya dan mengobrol dengan seseorang, entah siapa.
Di belakangnya, lagi-lagi para murid mendengar tanpa konsen. Akan menjadi berita bagus jika Guru Fisika tua itu tetap berceloteh di telepon hingga akhir pelajaran. Sama seperti yang biasa guru-guru lainnya lakukan. Untuk apa merepotkan diri mengajar batu-batu yang berwujud manusia. Bodoh.
Neraka lapis pertama sepertinya tidak terlalu panas. Sepertinya kata dingin juga kurang tepat. Hangat. Mungkin itu lebih sesuai. Seperti panas kawah Cikidang Dieng. Atau kawah Ijen barangkali. Di terik yang menusuk, ruang kelas layak disuasanakan demikian. Awan hitam menggantung di langit. Ah, sebentar lagi. Anak-anak itu akan mati. Hanya perlu bersabar sebentar.
Dor!
Sebuah timah panas menembus dahi Pablo Niceto. Gembong mafia narkoba Amerika Latin itu akhirnya mati. Texel Amsfort berhasil membunuhnya. Jenderal bintang satu itu berhasil melumpuhkan musuh bebuyutannya. Mafia membunuh mafia. Apa bedanya? Yang dibunuh itulah mafia yang sebenarnya. Mafia berseragam bukan mafia. Paham?!
Tepat ketika Pablo Niceto mengembuskan napas terakhirnya, Duke Ricard Dufstin sedang sekarat karena baru saja meminum teh beracun yang disediakan istrinya, Anneline. Wanita berambut pirang berhati iblis itu menyeringai. Harta Ricard akan segera jatuh ke tangannya. Dia bisa berlayar meninggalkan Inggris untuk menetap di Groningen bersama Tommy Yang. Pria daratan Cina yang telah memuaskan hasratnya.
Ctar!
Guru Fisika menghentakkan penggaris kayu ke papan tulis. Sia-sia. Keributan itu tidak padam. Hanya hening sesaat untuk kemudian keributan yang lebih ricuh segera tercipta. Guru Fisika menyerah. Panas. Pengap. Pikirannya mulai menyala. Ada kobaran api di kelopak matanya yang mulai berkerut. Dia duduk membolak-balik buku fisika yang sama tuanya dengan dirinya.
Jam bergerak dengan lambat. Meski dia tak percaya dengan waktu, tetapi Guru Fisika percaya dengan jam. Jam selalu tepat. Jam adalah fisika sejati. Waktu hanya fisika omong kosong. Kentut Einstein. Atau mungkin ludah Newton. Jam tidak pernah ingkar. Dia terus berjalan tanpa diminta. Tak berhenti meski disuruh. Tak akan mundur meski dipaksa. Jam adalah kepastian.
Sepuluh menit sejak jarum panjang meninggalkan angka sembilan, sebongkah es seukuran pulau Bali terlepas di Kutub Utara. Berenang-renang ke Selatan. Menuju khatulistiwa yang hangat. Di saat parlemen dunia masih mencerocos tentang isu-isu memanasnya dunia, perlahan-lahan air sudah menggenangi ruangan mereka. Tanpa mereka sadari.
Guru Fisika masih duduk di kursinya. Waktu mengkhianatinya. Tapi jam tidak. Dia terus bergerak dan bergerak. Waktu kematian anak-anak itu kian dekat. Guru Fisika menyeringai.
Si wanita setengah baya meletakkan ponselnya di dalam tas. Pramugari sialan itu memperingatkan agar dia tidak memainkan ponselnya. Dia tidak memainkannya. Dia hanya sedang melihat-lihat foto. Apa itu menganggu? Dia tidak lagi berminat menelpon. Sudah habis. Tamat. Masa depan adalah impian. Masa lalu hanyalah dongeng-dongeng aus dan lapuk. Semuanya serba berkejaran. Dia harus menamatkan sebagian cerita yang belum selesai dalam hidupnya. Kado masa depan sedang menunggu.
Sepuluh menit berjalan lagi di daratan bumi sana. Sepuluh menit yang sama dengan di dalam pesawat. Meski berbeda. Namun terkadang sama. Ya, walaupun tidak selalu begitu. Guru Fisika melirik jam untuk kesembilan kalinya. Lima belas menit lagi. Bagus!
Lima menit sebelum murid-muridnya mati, Guru Fisika memandang mereka satu persatu. Bukan tatapan iba. Bukan pula perpisahan. Andai diizinkan. Kalau pantas. Kalau boleh, ingin sekali dia meludahi wajah mereka satu persatu. Meludah persis di kening mereka yang membatu. Dan meludah di mulut mereka yang tidak bisa terkunci walau sebentar saja. Biarlah. Sebentar lagi mereka juga akan mati. Mati? Menyenangkan sekali mengulang-ulang kata itu.
Tepuk tangan riuh mengakhiri pementasan sandiwara konyol sore itu. Pertunjukan di Granada berakhir dengan meriah. Meski … sebenarnya hanya omong kosong saja. Penabuh klarinet bersuara sumbang. Penyanyi sopran dengan suara melengking, yang berdiri di samping air mancur. Kuno sekali. Atau pementasan patung putri duyung yang berkolaborasi dengan pemain pantomim berwajah tembok. Absurd!
Bel berbunyi nyaring. Kelas yang diajar Guru Fisika kian riuh. Sudah saatnya anak-anak itu mati. Guru Fisika keluar tanpa salam. Anak-anak itu tidak butuh salam. Mereka tidak butuh restu atau doa. Mereka hanya butuh pulang sekarang juga.
Guru Fisika lega. Dia telah berhasil membunuh anak-anak itu dari pikirannya. Hari terakhir di sekolah. Menyenangkan sekali. Hari-hari berikutnya hanya dihabiskan dengan duduk setiap hari di beranda depan. Menyeruput kopi sambil membaca koran. Tidak ada lagi murid berkepala batu. Tidak ada lagi pekikan yang membakar telinga. Tidak ada! Mereka sudah mati.
Tepat saat bel berbunyi, pesawat yang ditumpangi wanita setengah baya itu mendarat di tempat yang salah. Burung besi itu tergelincir ke Samudera Pasifik. Mencelupkan setiap penumpangnya agar melihat terumbu karang lebih jelas. Atau mencicipi air laut yang konon katanya asin itu.
Sembilan belas jam kemudian, Guru Fisika mendengar kabar kecelakaan pesawat itu. Dia menyeringai. “Bagus, Texel! Kau tidak hanya pandai membunuh Pablo. Tapi kau juga lihai untuk melenyapkan wanita Iblis itu. Semoga dia bisa nyenyak bersama impian yang diciptakan lelaki bajingan itu,” gumamnya sambil menyeruput tehnya.
Dia mengangkat ponselnya. Memencet tombol yang begitu dihafalnya. Nada dering terdengar beberapa saat sebelum seseorang di seberang sana menjawab. “Bagaimana kalau kali ini kau membantuku, Texel?”
“Apa lagi sekarang?” ujar seseorang di seberang sana.
“Tidak berat. Hanya sekelompok anak-anak yang memuakkan.”
“Asal aku mendapat imbalan yang sesuai, semuanya akan menjadi mudah.”
“Tenang. Aku masih punya dua kilogram. Apa kau akan datang ke sini untuk mengambilnya, atau aku berikan kepada yang lain?”
“Besok pagi aku akan mengambil tiket penerbangan pertama ke negaramu.”
Guru Fisika menyeringai.
*****
Editor: Moch Aldy MA