Researcher at Paramadina University

Secara Filosofis, Jokowi memang bukan Raja Jawa

Bimantoro Kushari Pramono

2 min read

Istilah “raja Jawa” ramai diperbincangkan sejak pidato Ketua Umum Golkar, Bahlil Lahadalia di Munas Golkar. Meskipun tidak secara literal menyebutkan siapa sosok Raja Jawa yang dimaksud, konteks pidato Bahlil sangat jelas menunjukan bahwa Jokowi adalah orangnya.

Dalam pidatonya Bahlil mengatakan bahwa kepengurusan Golkar kedepan memiliki prioritas untuk menyukseskan pemerintahan Prabowo Gibran. Selain itu Bahlil menambahkan konteks Golkar sebagai benteng utama bagi koalisi untuk menjaga pemerintahan kedepan dari Partai yang ingin merusak dari dalam dan luar koalisi. Ia menambahkan bahwa jangan sampai Golkar setengah hati dalam koalisi seperti gonta ganti atau keluar masuk koalisi. Setelahnya, Bahlil menyingung soal Raja Jawa seperti yang banyak beredar di media sosial.

Penggunaan istilah Raja Jawa dalam memanggil Jokowi sepertinya salah kaprah. Ditinjau dari aspek hukum jelas bahwa Jokowi bukanlah Raja, melainkan Presiden atau pemimpin eksekutif. Namun konsep Raja di Jawa seyogyanya juga dipahami dalam lensa filosofis ketimbang hukum. Setiap pemimpin eksekutif mampu menjalankan fungsi Raja secara filosofis. Sehingga apapun posisi politiknya, setiap orang dapat menjalankan peran sebagai Raja.

Konsep Kekuasaan dalam Filosofi Jawa

Berbicara konsep Raja dalam budaya Jawa adalah membicarakan konsep kekuasaan. Terdapat satu perbedaan mencolok antara konsep kekuasaan dalam budaya Jawa dan Barat, yaitu pada sumber dan sifat kekuasaannya. Benedict Anderson, seorang Indonesianis mengungkapkan bahwa kekuasaan di Jawa bersifat mutlak atau tidak memiliki sebab. Kekuasaan seperti energi yang bersifat mutlak. Kekuasaan membutuhkan “cangkang” untuk dihinggapi. Ia ada dengan sendirinya dan akan terus ada sepanjang zaman.

Dalam keseharian, bentuk dan sifat kekuasaan dalam budaya Jawa dapat dilihat seperti kepatuhan anak pada Ibu. Umur ibu bisa bertambah. Tenaganya berkurang. Uangnya juga berkurang. Tapi seorang anak tetap patuh pada ibunya tanpa mempertimbangkan berkurangnya sumber daya yang dimiliki sang Ibu. Kekuasaan Ibu pada anak bersifat mutlak dan tidak membutuhkan sebab.

Sementara Barat mengartikan kekuasaan bersumber pada hubungan sebab akibat. Sebab seseorang memiliki kekuatan lebih besar daripada sekelompok orang di lingkungannya, berakibat orang tersebut memiliki kekuasaan terhadap kelompok tersebut.

Sebagai ilustrasi, pengusaha angkringan memiliki kekuatan ekonomi untuk memberi gaji pada karyawan. Sebab ia memiliki kekuatan ekonomi dibanding karyawannya, berakibat pada patuhnya karyawan padanya.

Dalam konteks sosial-politik, Raja Jawa mendapatkan kekuasaan karena terpilih sebagai wakil Tuhan di dunia. Maka banyak mitos bahwa seseorang yang terpilih untuk menjadi “cangkang” akan mendapatkan wahyu.

Dampaknya, seseorang yang terpilih untuk menjadi “cangkang” bagi energi kekuasaan harus mewakili Tuhan di dunia untuk mengatur keseimbangan alam semesta. Raja Jawa harus membuat kebijakan yang membuat seluruh elemen alam semesta bergerak pada tempatnya. Manusia hidup di perkotaan, Sungai berjalan pada arusnya dan mengairi kota, pohon menyerap air dan menahan longsor, dan begitu seterusnya.

Karena fungsi menyeimbangkan alam semesta itulah banyak Raja Jawa diberi gelar Paku Alam atau Mangku Bumi. Gelar tersebut merupakan simbol Raja Jawa sebagai penjaga alam semesta.

Filosofi Raja Jawa dalam Politik Kekinian

Konsepsi kekuasaan Jawa yang dipaparkan diatas pasti terkesan sangat transenden dan spiritualis. Namun hal tersebut dapat dipraktikan secara konkrit dalam konteks sosial-politik terkini.

Jika diterjemahkan dalam konteks politik terkini, semesta yang harus dijaga Raja Jawa salah satunya adalah ekosistem demokrasi. Setiap lima tahun akan ada kontestasi seperti partai mengajukan calon, calon mewakili kepentingan masing masing kelompok. Lalu kompetisi terjadi dimana setiap calon memperjuangkan kepentingan masing masing, dan begitu seterusnya.

Menyeimbangkan semesta demokrasi berarti menjaga siklus kompetisi tetap berjalan. Pilihan untuk memusatkan kompetisi politik hanya dikontrol oleh satu koalisi, sama saja merusak siklus demokrasi yang berujuk pada tidak seimbangnya semesta demokrasi.

Banyak calon tidak bisa maju dan siklus kompetisi terhenti. Satu proses dalam “kesemestaan” demokrasi mandek. Mempertimbangkan konsep kekuasaan Jawa sebagai penyeimbang alam semesta, maka seorang Presiden yang berperan sebagai Raja harus keluar dari pusaran konflik dan menata Kembali proses Demokrasi. Hal ini tidak mungkin dilakukan Jokowi yang merupakan salah satu pemain dalam konflik tersebut.

Jika filosofi Raja Jawa diterapkan dalam politik kekinian, maka terdapat falsafah yang dapat dipakai untuk menjaga siklus demokrasi tetap berjalan, yaitu menang tanpa ngasorake atau menang tanpa menghancurkan.

Penerapannya, Jokowi harus memastikan bahwa pihak yang kalah dalam Pilpres 2024, tetap dapat berlaga di Pilkada serentak. Jokowi dan KIM Plus sudah menang, tapi demi keseimbangan siklus demokrasi Raja Jawa akan memberi ruang bagi lawan agar tidak hancur. Sehingga siklus demokrasi yang terwujud dalam kompetisi electoral akan tetap berlanjut.

Salah Paham soal Konsep Raja Jawa

Kembali menganalisa penggunaan kata “Raja Jawa” dalam pidato Bahlil, terjadi kesalahan dalam menafsirkan Jokowi sebagai Raja Jawa. Jika yang dimaksud Raja adalah seseorang yang powerful dan menakutkan, dalam kebudayaan Jawa orang tersebut adalah penguasa tapi tidak menjalankan peran Raja.

Penguasa dalam konteks pidato Bahlil merujuk pada kemampuan sang Raja Jawa yang dimaksud untuk mengontrol keadaan. Merujuk kembali pada pemikiran Benedict Anderson dimana kekuasaan dari lensa Barat bersumber pada hal hal material seperti ekonomi, senjata, dan mungkin saja popularitas.

Ketika kata tersebut diucapkan dalam konteks agar Golkar mampu menjaga keberlanjutan pemerintahan Jokowi ke Prabowo, maka kekuasaan Raja Jawa yang dimaksud bersumber pada sebuah sebab yaitu senjata untuk menekan berbagai pihak.

Mempertimbangkan hal tersebut, sudah jelas bahwa jika Jokowi adalah Raja Jawa yang dimaksud Bahlil, sumber kekuasaannya berasal pada hal hal material. Sehingga istilah Raja Jawa kurang tepat disematkan padanya.

Bimantoro Kushari Pramono
Bimantoro Kushari Pramono Researcher at Paramadina University

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Dapatkan tulisan-tulisan menarik setiap saat dengan berlangganan melalalui email