suka mageran.

Sisa Kepulangan

Solu Erika

6 min read

Kuhidu dalam-dalam kapur barus dari lemari Mamak. Wangi cendana menyelundup ke hidung dan bermuara di kepala. Tampaklah siluet tubuh Mamak yang direkayasa mata. Ya, kurasakan Mamak masih di sini, di antara kami.

Di depanku ini, kardus-kardus tersusun memanjang. Guzam bersiap menarik kardus dari depan. Sementara di belakang, Ray bersiap mendorong dengan tak sabar.

“Berangkat?”

“Yeah!”

“Tuutt …. tuuut  … gejrus-gejrus-gejrus.” Guzam tirukan suara lokomotif. Ray terkikik.

“Aku sudah kehilangan Mamak, apa aku juga harus kehilangan semua peninggalan Mamak?” ucapku sambil mengamati lekat kapur barus di tangan.

Guzam menghampiriku.

“Bicara apa kau ini, Manyar. Kau tak dengar kata para pelayat tadi?” Ray mendekat padanya, bocah lelaki itu menarik-narik pinggiran kaus Guzam.

“Papa … papa, apa baju-baju itu nanti akan dipakai Oma di dalam tanah?” sebuah pertanyaan lolos dari mulut polos Ray. Seperti biasa, Guzam selalu sedia akan jawabannya. “Tapi, kan Oma sudah dikubur dua hari lalu.” Ray makin menyelidik. Bola matanya menyudut ke atas mengingat suatu peristiwa.

Aku tersenyum getir. Obrolan mereka terdengar makin pelan, menghilang di lindas ingatan yang tetiba lepas landas di kepalaku tentang bagaimana nadi Mamak berhenti berdenyut.

Andai saja … oh, astaga Mamak! Hanya karena Mamak menyukai roti itu, nyawa Mamak harus meregang. Aku membuang napas kasar. Di sampingku, Guzam menangkapnya. “Sudahlah, Manyar,” tukasnya.

“Bisakah satu saja dari peninggalan Mamak tidak usah kita kuburkan?”

Guzam mengernyit, “Bukankah perkakas roti milik Mamak yang kau simpan lebih dari cukup untuk sekadar mengenang?”

“Haruskah perkakas roti? Sedangkan roti yang merenggut nyawa Mamak! Justru harusnya perkakas roti itu yang kita musnahkan!” Suaraku meninggi.

“Tapi itu sudah jadi jembatan Mamak menghadap Tuhan, Manyar!”

“Tuhan mau Mamak makan banyak roti di swarga tanpa cemas akan gula darahnya meningkat!” Nada bicara Guzam tak kalah tinggi. Setelahnya, kami terdiam cukup lama.

“Ada yang lebih ringan untuk kita bahas ketimbang sebab kematian Mamak, Manyar.”

“Kau tahu,  ada seseorang yang belum pernah kulihat sebelumnya hadiri pemakaman Mamak.”

Dahiku membentuk garis-garis menyerupai gelombang yang selalu Ray gambar dan sebut ombak di tiap halaman kosong majalah sekolahnya. “Dia berkata lirih di dekatku, ‘Bapak Manyar mencintai Manyar, maka itu puisi-puisi lahir usai hari kelahirannya.’ Apa mungkin itu sahabat Mamak, ya?”

“Bapakku? Puisi?” Guzam manggut-manggut. “Tapi Mamak tak pernah bercerita jika Bapak seorang penyair atau hanya sekadar menyukai puisi.” Guzam mengedikkan bahu. Ia kehabisan alasan untuk berkomentar.

“Eng, hanya saja Guzam, Mamak pernah cerita kalau dia punya kekasih penyair.”

Kugenggam tangan Guzam dan ingatanku melayang ke dapur, tujuh tahun lalu, Mei 2017.  Saat itu Mamak mengajakku membuat bluder untuk perayaan kecil ulang tahunnya ke-57.

Kala itu: dua adonan dalam dua loyang ditakar dengan komposisi yang sama, tapi adonan milikku tampak tak mau mengembang. “Sepertinya takaran soda kuenya kurang, bagaimana kalau ditambah dua sendok teh lagi? Biar setara satu sendok makan?” ujarku pada Mamak dan ia menengok adonanku. Wajahnya memucat. Lagaknya bak pembohong yang mencari alasan. Takut ketahuan. “Resep siapa itu!”, ujarnya mendelik. “Jangan keterlaluan pakai bahan pengembang roti!” Mamak bergetar mengatakannya. Kulihat Mamak gelagapan dan menelan ludah.

“Menurutmu kenapa Mamak begitu?” tanya Guzam.

“Entahlah. Mungkin hanya  … aku tidak tahu, sih. Ah sudahlah, lagi pula bukan itu poin penting yang ingin kusampaikan padamu.”

Setelah raut wajah Mamak kembali seperti sedia kala, Mamak bilang, “Em, ini kamunya kurang mesem. Bikin roti itu harus dengan suasana hati yang bungah. Apalagi bluder, bagi Mamak dan Nyonya Suza, bluder adalah satu di antara bentuk cinta yang nyata. Lagi pula, kalau jutek begitu lelaki mana yang mau nggandeng kamu ke pelaminan?”

Kalau sudah menyangkut jodoh, rasanya aku ingin melipir keluar dari lubang angin bersama uap dandang yang sedang menanak bluder-bluder. Meskipun aku pandai membelokkan arah pembicaraan Mamak, tapi kali itu aku sedang enggan berdebat soal perjodohan.

Guzam tertawa. Aku terus bercerita.

“Manyar, kan sudah bilang, sebelum Manyar mendapat kusala sastra, nobel, ataupun anugerah sutasoma, Manyar belum ingin menikah, Mak.” Aku menirukan jawabanku dulu.

“Tapi akhirnya kau menikah denganku.” Guzam menyela dan tergelak.

Mamak juga menertawaiku kala itu. Begini katanya: “Yang dapat nobel apa? Tulisanmu itu? Tulisan yang jika dibaca masih bagusan tulisan orang meracau itu?” Tawa Mamak tetiba lepas. Seperti tak ada urusan kalau anaknya tersinggung.

“Kamu itu diajari bikin bluder saja setengah hati, apalagi menulis.”

“Lebih baik menulis ketimbang bikin roti ini, Mak!”

“Ngawur! Keduanya itu sama rumitnya. Resep bluder ini tak bisa ditiru, meski seseorang tak mengurangi sedikit pun resep biangnya. Ingat, bluder satu di antara bentuk cinta, jadi bikinnya pakai cinta.”

Duduk dan mendengus adalah satu-satunya hal yang kulakukan. Sebab bila Mamak sudah bercerita, bisa tandaskan waktu sepanjang tiga kali pemanggangan roti. Mamak bercerita soal Nyonya Suza, temannya bersekolah di SLTP dulu. Mereka suka bikin kue, dan bluder adalah resep dari Nyonya Suza yang berkolaborasi dengan Mamak. Nyonya Suza masih bagian dari keluarga Sasrana, pemilik bluder Cakra yang terkenal di kota M. Mereka sama-sama menyukai satu penulis perempuan bernama Sri dan lelaki yang sama. Memacari lelaki yang sama.

“Hah?” Guzam memastikan ia tak salah dengar.

“Ya. Pada bagian itu, aku membuka kupingku lebar-lebar. Benarkah yang kudengar ini? memangnya bisa begitu? Mereka sama-sama tahu mencintai lelaki yang sama, tapi mereka masih sahabatan saja. Padahal setahuku, perempuan tidak bisa begitu. Aku sulit percaya, sebaik-baik pertemanan mereka, rasa cemburu itu pasti ada.”

Tentang lelaki itu, lelaki yang Mamak dan Nyonya Suza cintai adalah lelaki jalanan yang hidupnya seolah hanya untuk mengelana tanpa tujuan.

“Nulis yang bener. Jangan mudah jatuh cinta. Apalagi dia penjual sajak. Jangan seperti Mamak!”

Aku terdiam. Mamak masih bercerita, “Puisi adalah bagian dari tubuhmu. Kau terlahir dari puisi. Setelah kau lahir, puisi-puisi yang lain mengerumuni Mamak tapi hanya puisi yang menjadikan kamu yang Mamak inginkan.” Mamak bukan lulusan fakultas sastra ataupun filsafat, tapi kata-katanya selalu berhasil bikin kulit kepalaku terkelupas. “Sayangnya, puisi yang menjadikan kamu bukanlah puisi utuh buat Mamak, akhirnya semua berantakan.”

“Begitu kata Mamak.”

Pandanganku beralih pada lima helai lavender yang hidup di pot kecil merah bata. Waktu itu, sinar matahari dari celah lubang angin-angin menimpanya. Bluder-bluder itu matang. Mirip dengan roti sobek biasa, tapi memang bluder buatan Mamak memiliki tekstur yang lembut dibanding dengan adonanku. Meskipun sama resepnya, tapi tetap bluder buatan Mamak lebih enak.

Melihatku diam tanpa komentar, Mamak menyadari bahwa kata-katanya terlalu tinggi.

“Nanti kau akan paham dengan apa yang Mamak katakan, alam lebih tahu kapan waktu yang tepat untuk seseorang paham akan sebuah hal,” katanya seraya menepuk bahuku.

“Ingat-ingat pesan Mamak, Manyar!” Ia melirikku tajam sembari menata bluder-bluder pada nampan plastik.

Aku menepuk Guzam untuk keluar dari ingatan di dapur itu. “Nah, Guzam, puisi adalah bagian dari tubuhku. Ini rumit Guzam. Katakanlah aku terbentuk dari satu puisi, lalu puisi lain mendekat setelah aku lahir. Namun, Mamak hanya menginginkan puisi yang menjadikan aku di dalam hidupnya.”

“Bapakmu penyair,” celetuk Guzam.

“Tidak. Mendiang Bapak, kata Mamak, hanya seorang pekerja proyek yang tak pernah punya waktu. Tak pernah pulang. Dan suatu kala Mamak bilang Bapak sudah berpulang. Hanya saja makamnya tak akan bisa ditemukan.”

Ingatanku juga melayang ke kamar. Saat akan menjelang tidur tujuh tahun lalu. Saat itu, aku hanya membolak-balikan tubuh mencari kenyamanan. Mataku sama sekali tak ingin memejam. Kejam sekali mereka. Merenggut peristirahatan abadi banyak orang untuk keperluan bisnis. Perumahan minimalis. Di atas rumah abadi Bapak dan orang-orang lainnya.

Aku menjeda cerita, Ray naik ke pundak Guzam dan memainkan kepala papanya.

“Perumahan minimalis itu di daerah mana, Manyar?”

“Mamak tak pernah mau menunjukkannya, Guzam.”

Kami sama-sama terdiam. Kepulangan Mamak masih menyisakan sesuatu yang belum diungkapkannya. Mungkinkah Bapak juga seorang pengkhianat? Atau Mamak yang tidak mencintainya?

“Bisa jadi kekasih Mamak itulah bapakmu, Manyar. Namun, yang menikahi Mamak  ….” ucap Guzam terjeda.

“Haryo. Lelaki yang hanya bisa kudengar ceritanya—ia berperan sebagai apa—dari Mamak.”

Ray mengajak kami untuk segera tidur. Guzam menggendongnya. Sepersekian detik mereka terlelap pulas sampai pagi tiba.

***

Selesai mencuci muka, aku memandangi diriku di depan kaca. Mata merah kulihat. Kepala terasa makin berdenyut. Percakapan dengan Guzam semalam tentang seseorang yang baru pertama ia lihat hadir di pemakaman Mamak berseliweran di kepalaku.

“Di depan ada karangan bunga lagi, Manyar. Dari keluarga yang menginisialkan namanya. Kira-kira, siapa ya?”

“Apa ada orang yang ke sini selain karangan bunga?” Aku bergegas ke depan, melihat karangan bunga itu. “Tidak. Hanya karangan bunga,” jawab Guzam. Ia mengekoriku.

Inisialnya H. Aku mematung. Ini benar-benar sesuatu yang membuatku bingung.

Seorang tetangga yang menyapu halaman rumah menghampiri kami, “Sabar ya, Mbak.” Aku terperanjat. Aku menghentikan aksiku mengelus karangan bunga ini.

“Oh, istri saya bingung ini Bu, karangan bunga dari siapa,” ucap Guzam.

“Loh, tadi kata supirnya ini dari mantan suami almarhumah. Apa tidak memberi kabar sebelumnya?”

Aku dan Guzam tercengang dengan kata mantan suami yang tetangga kami katakan ini. Jadi H adalah Haryo. Jadi, Mamak dan Bapak berpisah karena bercerai. Bukan karena Bapak meninggal.

Aku meminta perempuan itu mengatakan apa saja yang supir katakan, tapi yang ia tanyakan hanya asal karangan bunga itu saja dan dijawab sang supir ala kadarnya. Aku memaklumi. Kami masuk rumah kembali setelah tetangga tadi pamit merampungkan kegiatan menyapu halamannya. Tak berselang lama, serombongan petakziah datang. Mereka rombongan dari keluarga Sasrana. Aku tak menyangka mereka datang untuk takziah. Kupikir mereka hanya mengucap bela sungkawa seperlunya saat aku mengabari mereka lewat pesan di ponsel.

Keponakan Nyonya Suza, begitu ia memperkenalkan diri, membuka cerita seberapa dekat Mamak dan Nyonya Suza. Di detik-detik terakhir Nyonya Suza, Mamak di sana. Maka, datang selepas tiga hari Mamak dimakamkan, sebenarnya membuat mereka sedikit merasa bersalah. Namun apa boleh buat. Kesibukan tak bisa diajak bekerja sama. Keponakan Nyonya Suza mengawali cerita, “Bibi meninggal juga setelah makan bluder. Saat itu, ia sakit malaria.” Cerita itu dilanjutkan anak Nyonya Suza. Ia bilang, Mamak datang membawa bluder.  Menurut cerita anak Nyonya Suza, Nyonya Suza meninggal tepat setelah Mamak menjenguknya dan habiskan dua buah bluder yang Mamak bawakan sekaligus.

Anak-anaknya yakin, Nyonya Suza sudah lega ketika di detik-detik terakhirnya, sahabatnya datang. Maka tak ada lagi yang ia tunggu di dunia. Anaknya pun masih melanjutkan bercerita: menjelang kematiannya, Nyonya Suza sempat mengeluh perutnya kram. Kepalanya makin berat dan kejang-kejang, tapi Nyonya Suza menolak pergi ke rumah sakit lagi. Lalu lepaslah nyawa dari tubuhnya.

Aku terdiam. Mamak belum bercerita tentang bagaimana dia bertemu Nyonya Suza sebelum sahabatnya itu berpulang.

Guzam menyenggolku. Rupanya, anak Nyonya Suza menanyakan perihal Bapak.

“Masih sugeng atau sudah seda?”

“Sudah seda sejak lama.”

Mereka mengangguk. Sementara aku mengulang pertanyaan itu untuk diriku sendiri. Suasana canggung sebentar. Ray bangun dari tidurnya. Menghampiri kami yang sedang menjamu keluarga Sasrana. “Kapan kita akan menguburkan kardus-kardus berisi pakaian Oma, Mama?” Guzam yang menjawabnya karena Aku telah kehilangan jawaban. Kepalaku masih sibuk mengulang pertanyaan. Sedangkan obrolan Guzam, Ray, dan keluarga Sasrana makin panjang (*)

Solu Erika
Solu Erika suka mageran.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Dapatkan tulisan-tulisan menarik setiap saat dengan berlangganan melalalui email