Sebelum Alarm dan Puisi Lainnya

Adib Arkan

4 min read

Sebelum Alarm

subuh ini kucoba membuat lukisan realis berlanskap padang bunga pagi dini hari dengan latar gunung es tanpa lava, awan gelap tanpa kilat, sebuah pohon rindang dan karpet persegi 60×60 cm membentang di bawahnya bersama menara rantang tingkat tiga: rantang atasnya nasi, rantang bawahnya rendang, dan rantang tengahnya sayur kuah. lengkap. 

kutekan palet kemudian kugesek lagi kuas cat dari ujung kanan hingga ujung kiri kanvas untuk ciptakan langit kelabu (tiba-tiba aja aku pengin lukisan ini mendung) bersama bulat abu-abu asteroid yang jatuh ke tengah padang bunga—yang ternyata kuburan ranjau kembang api di sekujur tanahnya—lalu meledaklah warna-warna ke atas langit di tengah udara rendah derajat ini, selagi jauh di rumahmu kau tersentak dalam mimpimu lalu terbangun dari kasur, berdiri dan berjalan menuju pintu kamarmu kemudian membuka, dan dalam setengah terpejam kau melangkah masuk begitu saja ke dalam lukisan, menjadi subjek tunggal di tengah bentang padang bunga bermekaran. sendirian. 

kini, dalam kanvas, kau ambil duduk di karpet, kepalamu khusyu menonton langit dan kau begitu bermandi detail ribuan spektrum cahaya hingga hampir saja aku jatuh ke impresionis, lihat! tanganmu menyendok nasi sayur rendang dari rantang ke piring namun sayang, aku gak bisa turut melukis, sebab hakikat realisme adalah sebagai representasi kenyataan; aku gak bisa seenaknya mendistorsi realita dalam proses penciptaan, meski aku ingin sekali duduk di sampingmu dalam lanskap lukisanku—sekarang. sebelum alarm berdentang. 

Kelaperan Di Taman Honda (Uy, Tebet!) 

seorang wanita botak, beranting emas dengan jaket herringbone pink dan celana jeans hitam berjahitkan patch artwork noise from under lewat di depanku nendang kerikil, tangannya genggam plastik ayam kfc yang menguarkan bau gurih khas kfc dan aku jadi lapar kemudian merintih. kapitalisme berhasil bikin manusia jadi papan advertising. masalahnya, akhir bulan kalau gak punya duit gini aku cuma bisa makan puisi. kemarin-hari ini-lagi. uh, sungguh tahun sulit. tanda tanya tenggelam, timbul lalu menjadi pahit. pahit. manis. huh, perut kosong bikin ngelantur, anjing. uy tebet, dengerin dong, ada orang lapar di sini. dia bukan kriminil, gak ada yang dia curi dari orang-orang selain waktu mereka yang harganya berapa sih paling? bagi duit lah, sebelum aku memutuskan untuk menerima sisi gelap diri dan pergi merampok rumah orang kaya sekitar sini. uy tebet, punten banget ini mah atuh. pleaseeee  eee eeeeeeee eeeeee e

   eeeee eeeee e e

        eeeeee

eee seorang wanita botak, beranting emas dengan jaket herringbone pink dan celana jeans hitam berjahitkan patch artwork noise from under lewat lagi di depanku nendang kerikil lalu melempar bucket kfc. namun sialnya, belum sempat terima kasih, dia udah keburu terjun nyemplung ke kali di tengah taman ini. aku gak pernah ngeliat dia lagi. 

Lift

chika, ini lift jatuh. ke bawah. elektrikal padam. aku memelukmu. pintu terkunci rapat. kita ditarik oleh apa: gravitasi / bermuda? satu-satunya nyala: tombol di dinding—angka-angka yang berubah jadi emoticon, kini. kau tekan emot kiss. tapi jangan berciuman dalam keos. too cliche. ganti kutekan emot muntah. tapi tadi kita minum antimo di rumah. salah. siapa magnet? ke mana kabel penopang? di dasar, bisa jadi kita buyar. hancur. tisu mana tisu? lap keringat dulu. free falling nih kita berdua-dua. aku tak dapat melihat apa-apa dan kau juga. tapi niscaya: lift jatuh. bukan naik. atau justru ke atas? sesuatu guncang aku ke luar logika. stay silent, jangan teriak. rasa takut kadangkala pilihan. bukankah hidup adalah tentang pilihan? apa manusia bebas memilih pada saat-saat ketat?  harusnya. semoga ini bukan doa. 

aku tak ingat berapa lama, yang jelas lift akhirnya berhenti dan pintu terbuka. lantai 13. gelap total. gerhana dalam ruang. sesuatu mendekat. kau kian erat memelukku. aku merogoh saku. mengambil pistol, lalu menembak lurus > ke depan. phew! 

peluru melesat. gelap ditembus panah baja. dan seseorang, seseorang mati di ujung sana. aku mendengar daging terbelah timah, walau nihil bunyi debam ke tanah. gelegar pistol berganti senyap. sama sekali. suara ditarik tambang tak terlihat, dibuang ke jurang. detik kita beranjak keluar, lift turut disedot gelap. sekarang kosong. segala hampa. apa itu batas. siapa perombak buta. cahaya? eh, iya. cahaya! ambil macis di tasmu, chika. nyalakan. bagi esse honey-mu deh, sekalian. 

pada hembusan asap pertama, tubuh kita melayang. terus, tegak lurus. menuju bulan, searah arus. muara. abu terbang kotori bintang. tak ada asbak sih, sebab kita di angkasa. habis kelar kusentil aja puntung sembarang. dor! kaget tiba-tiba—bumi yang pernah kita tinggali meledak. gravitasi menarik sisa bara tuk bunuh planet yang pernah beri nama kepadanya. apakah bumi sebongkah gas padat? yang jelas benar belaka ia bulat dan tak datar. bang-bang. 

bagaimana aku dan kau? spiritualized, track pertama. ladies and gentlemen, kita baik-baik saja. empat sehat, tiada sempurna. namun benar: manusia bebas. barusan juga sudah kukatakan bukan, kadang ketakutan merupakan pilihan? apakah kita pilihan? 

Bengong ke Tembok

beberapa orang baiknya ditinggal dalam ruang hampa. angkasa. dalam kepala. ingatan kita. tak perlu dilenyapkan, tentu saja. pilihan lain: mereka gelayut di kaki. tolak lepas tumbuh. kau mau begitu? jika tidak: isolasi. cepat. kurung di balik pintu dengan lembar ayat-ayat cina. sudahi sudah. 

duduk sajalah. hadap tembok berjam-jam. renungi lalu-lalu. rasai di urat: padam gemuruh. lihat kata: kerja-benda-latar; tempat, waktu, subjek—orang, piaraan, cinta—datang kembali dengan susun konsonan yang kacau di polos tembok muram. kacau. bukan salah. abstrak? begitulah adanya mereka pasca endap beku di kepala setelah sekian lama. jari telunjuk, seringkali dalam tidur, tanpa disadari masuk, mengaduk struktur broca (lemari bahasa di otak) dalam lelap. tahu apa kita? 

belah terbelah, bedug bertalu. di antaranya, masa berlalu. memalu kasur dari beku tumpuk debu. telapak tangan terbuka, salju turun dan cair di genggaman. hitam dan tak putih. tataplah ia ribuan detik sebelum mengepal erat dan memasukkannya ke mulut. makanan. lihat mereka yang kita sekap; takkan ada lagi suara-suara sumbang melarang. 

kini tiada yang mencegahmu mengejar bintang di gugus-gugus; minum darah uranus, merokok daun venus dan makan babi bakar ala mars. terkabul sudah penuhmu, terbebas. konstelasi jadi pagar ekspektasi sekitar. begitulah, semua baik-baik saja, tidurlah kau dengan tenang. asal kau tinggal beberapa orang dalam ruang hampa. bagaimana? 

Kapal Surat

telah tiga jam ia di kamar untuk merakit kapal kertas dengan desain canggih ketika angin kencang datang merenggut paksa karya itu terbang keluar jendela dan mendarat di selokan. 

ia histeris sebab kapalnya dibuat dari surat untuk tuhan di mana ia bertanya kenapa ayah tak pernah kembali setelah pamit tiga tahun lalu pada sebuah malam, namun, kini ia hanya dapat diam terpaku menangis sebab pintu bawah dikunci (mama pergi ke pasar) dan lihatlah perlahan langit hitam jadi abu, petir mulai datang, mula-mula rintik lalu deras langit tumpah kemudian ia berhenti nangis dan menggumam gak papa deh aku gak jalanin kapalnya yang penting tetap jalan dan pasti nanti tuhan baca sambil nutup jendela sebab angin mulai berang, gluduk mulai kencang, lalu ia tarik selimut dan tidur tenang tanpa tahu kapalnya di dasar selokan justru hancur dicabik bulir air yang terjun ke tanah secara keroyokan sehingga tak pernah sekalipun pergi berlayar. 

namun, hal itu bukan masalah, sebab esok pagi ketika bangun ia mesti takkan ingat apa-apa dan hari kemarin akan terlupakan begitu saja, persis seperti kebanyakan fragmen memori masa kecil lain, persis seperti kenyataan bahwa ia kini tak lagi dapat menggambar wajah ayah dalam kepalanya yang mulai beruban—kecuali ketika hujan, di mana lekuk wajah ayah mendadak jadi demikian benderang di dalam kepalanya tanpa ia pernah tahu mengapa. sampai mati ia tak pernah tahu apa-apa. 

Adib Arkan

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Dapatkan tulisan-tulisan menarik setiap saat dengan berlangganan melalalui email