mahasiswa biasa

Lahir 1982, Tertindas Sepanjang Masa

Nurfikri Muharram

3 min read

Pada tahun 2018, salah satu member girl group Red Velvet, Irene, dihujat karena membaca buku Kim Ji-young, Born 1982. Foto-foto Irene dirobek dan dibakar oleh penggemar prianya yang tidak suka melihat dirinya membaca buku itu. Sebuah tindakan kolot yang menunjukkan ketakutan laki-laki untuk dikritik.

Kim Ji-young, Born 1982 adalah buku karya Cho Nam-Joo. Buku ini pertama kali terbit di Korea Selatan pada 2016 yang kemudian diadaptasi menjadi film layar lebar dengan judul yang sama pada 2020.

Tokoh utama dalam buku ini adalah Kim Ji-young. Sesuai dengan judulnya, dia lahir pada tahun 1982 dan merupakan anak kedua dari tiga bersaudara. Kakaknya juga perempuan dan berusia dua tahun lebih tua darinya, sementara adiknya adalah laki-laki yang usianya lima tahun lebih muda darinya. Mereka tinggal bersama ayah, ibu, dan nenek di sebuah rumah kecil yang hanya terdiri dari dua kamar tidur, satu dapur, dan satu kamar mandi.

Buku ini secara tajam mengkritik masyarakat Korea Selatan yang masih mendiskreditkan peran perempuan dalam keluarga, pendidikan, pekerjaan, dan pernikahan. Depresi yang dialami Kim Ji-young adalah akumulasi dari ketertindasan yang dialaminya sejak kecil.

Baca juga: Kudo Hina, Nyai Ontosoroh dari Korea

Perlakuan Berbeda 

Perlakuan pada Kim Ji-young dan kakaknya sangat berbeda dibandingkan dengan adik laki-lakinya. Adiknya selalu mendapatkan tahu dan mandu yang utuh dan bagus, sementara Kim Ji-young dan kakaknya selalu mendapat bagian yang jelek atau hancur. Persoalan barang juga demikian. Adik laki-lakinya selalu mendapat barang sendiri, sementara dirinya harus terus berbagi dengan kakaknya.

Ketertindasan dalam keluarga tidak hanya dialami Kim Ji-young dan kakaknya. Ibunya pernah dimarahi ayahnya karena melakukan pekerjaan yang bau dan berdebu di dekat anak-anak, padahal, hal itu dilakukannya untuk menambah pendapatan keluarga. Ayahnya kemudian merasa bersalah dan meminta maaf. Seraya menahan rasa kecewa, ibunya menjawab;

“Bukan kau yang membuatku susah. Hanya saja hidup kita berdua memang susah. Kau tidak perlu meminta maaf, tapi jangan bersikap seolah-olah hanya kau sendiri yang menanggung semua pengeluaran di rumah ini. Terus terang saja, tidak seorang pun akan berpikir seperti itu dan kenyataannya memang seperti itu.”

Ketertindasan dalam Pendidikan

Semasa di Sekolah Dasar (SD), Kim Ji-young sering diganggu oleh teman sebangkunya yang seorang laki-laki. Suatu hari, temannya tersebut akhirnya tertangkap basah oleh guru saat mengganggunya. Dia berkata pada gurunya bahwa ia tidak ingin duduk sebangku lagi dengan teman laki-lakinya. Namun, gurunya justru memaklumi tindakan tersebut dengan dalih anak laki-laki memang seperti itu. Pemakluman seperti ini menjadi salah satu penyebab makin banyaknya bajingan-bajingan yang muncul di kemudian hari.

Bentuk ketidakadilan gender kembali terlihat saat dirinya duduk di bangku Sekolah Menengah Pertama (SMP). Saat SMP, aturan pakaian bagi perempuan jauh lebih ketat dibandingkan aturan pakaian bagi laki-laki. Alasannya adalah karena laki-laki terus bergerak sehingga aturan pakaian dilonggarkan untuk mereka.

Tidak berhenti sampai di situ, kejadian lebih mengerikan terjadi saat Kim Ji-young memasuki SMA. Dia sering melihat pelecehan seksual pada perempuan di sekolah, tempat kursus, dan gereja. Dirinya bahkan nyaris menjadi korban pelecehan seksual saat pulang malam dari tempat kursus. Untung saja saat itu dia diselamatkan oleh wanita lain.

Meskipun Kim Ji-young yang menjadi korban, ayahnya justru menyalahkannya. Dia disalahkan karena memilih tempat kursus yang terlalu jauh, dia disalahkan karena berbicara dengan sembarang orang, dan dia disalahkan karena memakai rok yang terlalu pendek. Mungkin jika dirinya diperkosa pun, ayahnya akan menyalahkannya.

Bias dalam Dunia Kerja

Setelah lulus universitas, Kim Ji-young diterima kerja oleh agensi humas. Dia menikmati pekerjannya, apalagi setelah Kim Eun-Sil, satu-satunya ketua tim perempuan dari empat ketua tim yang ada, memuji kinerjanya.

Keresahan pertamanya di dunia kerja adalah saat dia harus menghadiri jamuan departemen promosi salah satu perusahaan. Saat itu, ketua departemen terus menggodanya dan melontarkan lelucon yang seksis seperti; “Gol yang berhasil dicetak di gawang yang dijaga baru akan terasa memuaskan.” atau “Ada wanita yang belum pernah melakukannya, tetapi tidak ada wanita yang hanya melakukannya satu kali.”

Pada kesempatan lain, Kim Ji-young dan Kang Hye-soo gagal bergabung pada tim perencanaan yang baru dibentuk. Mereka gagal bukan karena kinerja yang buruk. Mereka gagal karena mereka perempuan. Direktur perusahaan sengaja merekrut karyawan laki-laki sebagai anggota tim perencanaan karena mereka dianggap sebagai bagian dari proyek jangka panjang. Karyawan perempuan tidak masuk dalam perhitungan jangka panjangnya karena mereka akan sulit menyeimbangkan kewajiban profesi dan pernikahan, apalagi saat memiliki anak nantinya.

Depresi Pasca Pernikahan

Setahun setelah menikah dengan Jeong Dae-hyeon, Kim Ji-young mulai dihujani pertanyaan-pertanyaan tentang kehamilan dari keluarga suaminya. Bukan hanya pertanyaan yang diterimanya, namun juga celaan terkait tubuh kurusnya yang dinilai menjadi salah satu penyebab mengapa dirinya tidak kunjung hamil. Seolah-olah, dia yang menjadi masalah selama ini.

Setelah memiliki anak, kehidupan Kim Ji-young lah yang dikorbankan. Dia harus meninggalkan pekerjaannya demi mengurus anaknya. Hal inilah yang menurut Kathrine Marcal dalam bukunya Siapa Yang Memasak Makan Malam Adam Smith bermasalah.

“Banyak yang masih beranggapan bahwa tidak ada yang bermasalah dengan paham bahwa laki-laki wajib mencari nafkah dan perempuan sebaiknya di rumah mengurus anak. Kenyataannya, pendapatan yang diperoleh di luar rumah dapat berdampak pada hubungan kuasa di dalam keluarga, dan hal ini memengaruhi pilihan-pilihan yang dibuat keluarga. Perempuan punya suara lebih kecil karena laki-laki lah yang membayar semuanya”

Kim Ji-young tidak pernah mengeluh terkait urusan rumah tangga. Dia melakukannya dengan serius karena menyayangi anak dan suaminya. Namun, masyarakat menghakimi kehidupan barunya. Saat Kim Ji-young sedang meminum kopi di kafe, dia menjadi bahan pembicaraan beberapa karyawan kantoran. Dia dituduh hanya bisa menghabisi uang suaminya dengan asyik bersantai. Dia dituduh tidak melakukan apa-apa hanya karena berstatus ibu rumah tangga.

Sejak mendengar perkataan itu, Kim Ji-young tidak lagi sama. Dia harus menjalani konseling dua kali dalam seminggu untuk memulihkan mentalnya. Kim Ji-young adalah gambaran manusia yang harus merasakan ketertindasan hanya karena mereka perempuan.

Nurfikri Muharram
Nurfikri Muharram mahasiswa biasa

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Dapatkan tulisan-tulisan menarik setiap saat dengan berlangganan melalalui email