Mahasiswa master yang sedang mendalami “Sociology of Denial” di Universität Passau, Jerman. Hobi mengamati dan mengkritisi tingkah lucu pejabat Indonesia.

Penyangkalan Sebagai Strategi Kebijakan

Muchamad Zaenal Arifin

3 min read

Penyangkalan secara umum diartikan sebagai tindakan aktif yang mengabaikan realitas, fakta, atau informasi yang relevan. Penyangkalan turut diletakkan sebagai mekanisme perlindungan diri dan menjauhi tanggung jawab. Terdapat berbagai kesempatan di mana individu, organisasi, dan pemerintah secara sempurna mengklaim suatu peristiwa terjadi tanpa sepengetahuan mereka, terjadi di luar dugaan, atau sama sekali tidak terjadi.

Dalam konteks tersebut, penyangkalan menunjukkan benar tidaknya suatu fakta dapat difabrikasi ulang. Bagaimana dengan para pejabat di Indonesia? Apakah penyangkalan menjadi strategi untuk mengabaikan bahkan mengaburkan suatu fakta?

Baca Editorial: Robbing People in Broad Daylight

Dari Covid hingga Perampasan Lahan

Sejak pertama kali mengkonfirmasi kasus Covid-19 pada 2 Maret 2020, pemerintah Indonesia telah menerapkan berbagai kebijakan untuk mengurangi penyebaran virus tersebut. Namun, para pejabat Indonesia berlomba-lomba melontarkan berbagai narasi penyangkalan, baik secara literal maupun interpretatif  untuk menyangkal keberadaan hingga bahaya Covid-19.

Menko Perekonomian Airlangga Hartarto pernah berkelakar jika Covid-19 belum masuk Indonesia, karena perizinan di Indonesia berbelit-belit. Hingga kemudian Airlangga diketahui menyembunyikan fakta dirinya terjangkit Covid-19 setelah menjadi donor plasma konvalesen. Cara Airlangga mengumumkan kesembuhannya menuai kontroversi. Airlangga dianggap tidak jujur dan tidak bertanggung jawab secara moral sebagai seorang pejabat.

Penyangkalan juga dilakukan oleh mantan Menteri Kesehatan, Terawan Agus Putranto. Terawan menyangkal bahaya Covid-19 dengan membandingkan angka kematian akibat flu biasa yang jauh lebih tinggi. Terawan turut menolak mentah-mentah hasil riset tim peneliti Harvard yang menyebut warga Indonesia telah terinfeksi Covid-19. “Kalau ada survei dan riset silahkan saja, tapi jangan mendiskreditkan suatu negara. Itu namanya menghina,” ujar Terawan.

Lebih lanjut, Menteri Koordinator bidang Kemaritiman dan Investasi, Luhut Binsar Panjaitan mengatakan virus corona sudah pergi dari Indonesia. Saat ditanya wartawan mengenai dugaan Covid-19 yang menjangkit warga di Batam, “Corona masuk Batam? Hah? Mobil Corona?” kata Luhut.

Di kesempatan lain, Luhut mengatakan jika Covid-19 tidak kuat bertahan Indonesia karena cuaca yang cenderung panas. Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi turut andil menyangkal keberadaan Covid-19 di Indonesia karena masyarakatnya memiliki kekebalan tubuh yang didapat dari kegemaran memakan nasi kucing. Berbagai penyangkalan para pejabat turut diikuti dengan informasi retorik yang tidak wajar. Menteri Pertanian Syahrul Yasin Limpo, memberikan informasi menyesatkan mengenai “Kalung anti Covid-19”, yang dianggap dapat mematikan 80 persen virus dengan setengah jam kontak.

Saat kelangkaan oksigen akibat tingginya permintaan untuk kebutuhan penanganan Covid-19, Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Sandiaga Uno menyangkal kabar kelangkaan hingga penimbunan oksigen. “Bukan terjadi kelangkaan, tapi keterbatasan,” ujar Sandiaga.

Tak ingin kalah, dengan para menteri, politisi PDI-P, Ribka Tjiptaning melontarkan candaan jika yang harus diwaspadai adalah korona alias komunitas rondo (Janda: bahasa Jawa) mempesona, bukan virus corona.

Sementara dalam rentetan konflik alih fungsi lahan di Indonesia, pemerintah cenderung menggunakan narasi “demi kepentingan umum dan Proyek Strategis Nasional”, namun pemerintah mengabaikan hak-hak dasar dan keselamatan ruang hidup warga negara. Terlebih dengan adanya Omnibus law memperjelas inkonsistensi pemerintah dalam mengurangi atau menghentikan bencana ekologis.

Terbaru, perampasan lahan untuk “kepentingan umum dan Proyek Strategis Nasional” terjadi di desa Wadas, yang terletak di Kabupaten Purworejo, Jawa Tengah. Warga menolak pembebasan lahan untuk penambangan batu andesit yang berujung dengan adanya kekerasan dan kriminalisasi puluhan warga oleh pihak petugas gabungan TNI, Polri dan Satpol-PP. Namun, kekerasan pihak berwajib yang tersebar luas di media sosial disangkal oleh Menteri Koordinator Politik, Hukum dan Keamanan, Mahfud MD. Mahfud secara literal menyangkal bahwa tidak ada upaya kekerasan, terlebih situasi mencekam di Desa Wadas. Mahfud mengklaim kondisi Desa Wadas aman, bahkan menantang publik untuk melihat langsung kondisi di lapangan. Penyangkalan interpretatif oleh Mahfud MD juga dapat dianalisis, ketika Mahfud mengakui adanya gesekan, namun terjadi akibat pro-kontra antar warga Wadas terkait rencana pembangunan bendungan Bener. Mahfud menyatakan tidak ada pelanggaran dari aksi pemerintah karena tidak ada pelanggaran hukum pada rencana penambangan.

Baca juga: Wadas dan Manipulasi Kebenaran

Dalam kasus Wadas, penyangkalan interpretatif lainnya dapat dilihat dari pernyataan Gubernur Jawa Tengah, Ganjar Pranowo. “Mungkin dari Desa Wadas ada yang merasa tidak nyaman, saya sudah berkoordinasi dengan Kapolda dan kami sepakat masyarakat yang kemarin diamankan hari ini dibebaskan,” ungkap Ganjar.

Mengacu pada penyangkalan interpretatif, di mana fakta yang terjadi tidak disangkal, Ganjar tidak menyangkal akan adanya kekerasan terhadap warga. Sebaliknya, Ganjar memberikan makna atau interpretasi yang berbeda dari apa yang terlihat oleh publik. Kekerasan diganti dengan narasi “ketidaknyamanan” yang dialami warga Desa Wadas.

Pejabat dan Penyangkalan

Pendekatan sosiologis dapat dikatakan sangat jarang digunakan untuk mempelajari konsep penyangkalan. Dalam kerangka psikologis, kajian mengenai penyangkalan terpusat pada dinamika intrapersonal yang menghalangi informasi memasuki kesadaran individu. Akan tetapi, Eviatar Zerubavel dalam bab buku The Social Sound of Silence: Toward a Sociology of Denial (2010) menjelaskan sosiologi penyangkalan lebih menyoroti dinamika interpersonal yang mencegah informasi memasuki wacana publik.

Secara definisi, penyangkalan dapat diartikan sebagai tindakan aktif yang mengabaikan suatu realitas. Menggunakan sosiologi kognitif, Zerubavel menilik dimensi sosial yang mendasari motif seseorang untuk menolak informasi yang relevan. Di sisi lain, Stanley Cohen dalam bukunya States of Denial: Knowing about Atrocities and Suffering (2001) mengartikan pernyataan penyangkalan sebagai pengakuan bahwa suatu hal tidak terjadi, tidak benar atau tidak diketahui.

Melalui sudut pandang etnografi, penyangkalan menjadi mekanisme perlindungan diri atas perasaan takut, bersalah, dan ketidakberdayaan atas netralisasi informasi yang dianggap mengganggu, tulis Kari Marie Norgaard dalam bukunya Living in Denial Climate Change, Emotions, and Everyday Life  (2011). Norgaard meletakkan konsep penyangkalan sebagai alat untuk menjauhkan diri dari sebuah tanggung jawab.

Menurut Cohen, dalam struktur pemerintahan, penyangkalan merupakan ciri dari negara-negara yang cenderung represif, rasis, dan kolonial. Kelompok-kelompok dominan secara masif dan terstruktur mengabaikan dan menutup ketidakadilan, penderitaan, dan kesewenang-wenangan yang terjadi di sekitar mereka. Dalam kasus COVID-19 dan Wadas, pejabat cenderung menggunakan narasi “kami tidak percaya, tidak melihat apa-apa, hingga menyangkal fakta di lapangan.”

Terkhusus narasi demi “kepentingan umum dan Proyek Strategis Nasional”, penyangkalan pejabat dikategorikan sebagai upaya “rasionalisasi.” Dalam kasus Wadas dan konflik agraria di daerah lain, pejabat menganggap represi oleh aparat keamanan telah dilakukan sesuai prosedur untuk menghindari kerusuhan yang lebih besar. Pengamanan yang berujung kekerasan dan kriminalisasi disangkal untuk menghindari  risiko dan tanggung jawab.

Pernyataan-pernyataan para pejabat menolak untuk mengakui fakta yang sebenarnya dengan berbagai alasan, dengan itikad baik atau buruk, atau secara sengaja berbohong turut digunakan sebagai mekanisme perlindungan diri. Berkaitan dengan konsep penyangkalan Norgaard, mekanisme perlindungan diri melalui penyangkalan dapat dipahami sebagai upaya mengatasi rasa bersalah, kesetiaan, aturan profesional, hingga hubungan timbal balik. Para pejabat memiliki akses ke realitas, tetapi memilih untuk mengabaikannya karena merasa nyaman dan berhak untuk melakukannya.

Dengan mengubah kata-kata, eufemisme, atau jargon teknis, para penyangkal membantah makna kognitif yang diberikan pada suatu peristiwa dengan memberikan pemaknaan lain. Narasi yang dihasilkan dari penyangkalan dipertahankan untuk mencegah suatu kebenaran informasi memasuki wacana publik yang dapat menimbulkan dampak negatif bagi kaum penyangkal.

Muchamad Zaenal Arifin
Muchamad Zaenal Arifin Mahasiswa master yang sedang mendalami “Sociology of Denial” di Universität Passau, Jerman. Hobi mengamati dan mengkritisi tingkah lucu pejabat Indonesia.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Dapatkan tulisan-tulisan menarik setiap saat dengan berlangganan melalalui email