Usianya hendak menginjak kepala tiga ketika ia akhirnya tersadar bahwa ia memang jatuh cinta pada satu-satunya pohon tak bernama yang tumbuh di sepetak tanah parkiran di mana ibunya dulu pernah berkantor, dan kini pun jadi tempat dirinya berkantor.
Tidak seorang pun di kantornya yang tahu itu pohon apa dan siapa yang sudah menanamnya. Tapi yang jelas, sejak ia kecil, pohon itu sudah di sana, masih seukuran pinggang ibunya yang ramping kala itu. Tak pernah berpindah tempat, dan beruntung tak seorang pun berniat mencabutnya dari sana.
Beberapa seniornya menyebut jika pohon itu tumbuh dengan sendirinya. Namun beberapa yang lain menyebut boleh jadi pohon itu berasal dari biji-bijian yang tak sengaja tercecer dari paruh seekor burung gereja yang dulu kerap terlihat bergerombol di sekitar gedung dan bertengger pada kabel-kabel listrik.
Lihatlah! Pohon itu kini telah tumbuh besar, menjulang tinggi menantang langit, dedaunnya lebat dengan dahan yang kukuh. Cabangnya mengingatkan ia pada lengan ayahnya yang kuat, sementara rantingnya yang kurus mengingatkannya pada jari-jemari lentik ibunya yang lincah saat menggali dan membuat lubang di tanah untuk menanam pohon.
Sekitar lima tahun yang lalu keduanya meninggal. Sang ayah meninggal lebih dulu karena kanker paru-paru. Empat bulan berselang, ibunya menyusul karena sedih yang berlarut-larut.
Sejauh yang ia ingat, tak sebulir pun air mata menetes di pipi ibunya saat orang-orang memasukkan jasad ayahnya ke dalam tanah. Namun setelah empat puluh hari berlalu ibunya seperti tak berdaya dan mulai sakit-sakitan, lalu akhirnya menyerah dijemput maut pada awal Desember berhujan deras.
Sehari sebelum mengembuskan napas terakhir, ibunya sempat berkata bahwa tak ada cinta yang membuat hari-harinya indah, seindah di kala ia mencintai pohon-pohon. Ibunya memang sangat mencintai pepohonan melebihi cintanya pada siapapun, termasuk ayahnya.
Lelaki itu lalu teringat, setiap kali memperoleh cuti, ibunya selalu menghabiskan jatah cutinya dengan memasuki hutan di belakang rumah mereka yang lama. Berbekal kamera murahan yang dibelinya di pasar loak serta sebuah buku catatan usang, ibunya memasuki hutan dan baru kembali menjelang petang.
Biasanya, begitu sampai rumah, senyum ibunya mengembang seakan hendak mengatakan bahwa baru saja dia memenangkan pertarungan sengit melawan naga raksasa di dalam hutan. Keesokan harinya, ibunya akan kembali masuk hutan lalu pulang dengan membawa apa pun yang sekiranya ia temukan di dalam sana. Selalu begitu.
Dulu, dulu sekali, waktu masih bocah ingusan, lelaki itu diam-diam sering menyelinap masuk ke ruangan rahasia ibunya, sekadar untuk melihat-lihat. Dan kalian tahu ada apa saja di dalam ruang rahasia itu? Gambar-gambar pohon, tentu saja.
Ibunya membekukan ratusan bahkan mungkin lebih pohon-pohon yang ditemuinya di dalam hutan dengan kamera murahannya. Ibunya juga mengambil daun, ranting, kulit, bunga, biji, akar atau apa pun yang bisa diambilnya di sekitar pepohonan yang dilewatinya lalu disimpannya ke dalam sebuah kantong sampel transparan untuk dikoleksi. Jumlahnya hampir ribuan, bahkan lebih.
Ibunya bukan seorang peneliti seperti cita-citanya di masa kecil, beliau hanya kebetulan sangat mencintai pohon-pohon dan berharap di kehidupan selanjutnya bisa terlahir kembali sebagai pohon di pinggir sungai berarus deras.
“Jangan pernah kau ikuti jejak ibumu. Dia gila!” Ayahnya selalu bergumam begitu setiap kali ia dan ibunya bergelut mengaduk tanah untuk menanam pohon. Belakangan baru lelaki itu ketahui bahwa hubungan ayah dan ibunya jelas tak seharmonis yang ia kira.
***
Jika ibunya berharap bisa terlahir sebagai pohon di kehidupan selanjutnya, lelaki itu justru bercita-cita menikahi pohon di sepetak lahan parkir kantornya. Ia sungguh-sungguh ingin menikahinya, dan memang secinta itu ia dengan pohon tersebut. Di pagi hari, usai memarkir sepeda motor tua milik mendiang ibunya di tempat biasa, ia akan mendatangi pohon itu dan menyapanya dengan lembut; Selamat pagi, Sayang; Lalu memberinya pelukan hangat.
Sesekali ia akan membacakan beberapa cerita pendek tentang kehidupan pohon-pohon atau bunga-bunga liar beraroma semerbak yang dibelinya di sebuah toko buku lama yang mungkin sebentar lagi bangkrut karena pengunjung yang datang tak lagi seramai dulu. Tak lupa ia menyiramkan sedikit air dari botol minum yang selalu ia bawa ke mana-mana di akarnya sembari bercerita bahwa semalam tidurnya sangat nyenyak. Belum pernah ia merasa tidur senyenyak itu sejak kepergian ibunya. Ia lantas menceritakan mimpinya yang ajaib.
Di dalam mimpinya, pohon di lahan parkir itu menjelma perempuan dengan kelopak mata besar penuh lumut. Rambutnya serupa tumpukan daun-daun segar nan hijau lebat. Ada semacam daun tanaman paku muda berbulu dan berembun mencuat di sela-sela rambut daunnya yang rimbun. Masing-masing lengannya ditumbuhi ranting-ranting kurus berhias tunas-tunas baru yang kehijauan. Di sudut bibirnya mengalir getah pohon karet berwarna merah dadu yang ketika disentuh terasa kenyal seperti jeli, berbau harum seperti aroma anggrek anosmum.
Tapi seperti halnya pohon, dia sama sekali tidak bicara sepatah kata pun. Perempuan pohon di mimpinya itu diam saja sambil tetap menatapnya. Mereka selanjutnya bergenggaman tangan dalam kebisuan, berbagi momen beku seakan hanya itu yang mereka bisa lakukan.
Kemudian perempuan itu memberinya isyarat agar ia lekas mengintip ke bagian dadanya. Lelaki itu mengangguk mendekat, lalu mengintip, lalu terkesiap dengan mata mengerjap.
Di sana, di belahan dada perempuan pohon itu mengalir air terjun pegunungan yang berarus deras. Airnya dingin, sejuk, segar seperti es ketika tersentuh jari. Percikan airnya bening berpendar.
Perempuan pohon itu kemudian menangkup kepala lelaki itu, lalu dengan hati-hati merebahkannya di dadanya dan membelai rambut lelaki itu seakan berkata: tidurlah, tidurlah yang nyenyak, sayangku.
Pernah suatu ketika, lima tahun lalu, tak lama setelah ibunya pergi menghadap Tuhan, daun-daun pohon itu menguning seluruhnya. Semakin hari warna kuningnya berubah seperti pinggiran roti yang selalu dilewatkan ayahnya saat sarapan. Tak ada seorang pun yang menyadari hal itu selain dirinya. Seiring waktu daun-daun yang menguning itu lantas mulai menanggal satu persatu, berguguran dan merebak di permukaan tanah merah kecokelatan, nyaris menutupi lahan parkir kantornya.
Tadinya, ia sempat menduga pohon itu akan segera menemui ajalnya seperti ayahnya yang dulu sekarat lalu mati. Namun ia sadar dugaannya meleset begitu mendapati tunas-tunas baru kehijauan mencuat di ujung-ujung rantingnya yang kurus. Ia sadar, pohon itu hanya sekarat sebentar sebelum akhirnya memperoleh kehidupannya kembali usai meranggaskan seluruh daun-daunnya tanpa sisa.
***
Hari itu cukup sibuk. Lelaki itu tak sempat menemui pohon pujaan hatinya sejak menyapanya terakhir kali pagi tadi, dan kemungkinan juga akan terpaksa melewatkan makan siang bersama. Tumpukan berkas di atas meja kubikelnya butuh perhatian lebih. Tapi ia tahu, pohon pujaannya itu selalu memahaminya seperti biasanya. Dia tidak akan pernah mengamuk atau pun marah jika mereka tak sempat makan siang bersama-sama.
Lalu, di sore hari sebelum pulang kantor tak lupa ia menghampiri pohon itu untuk meminta maaf sekaligus memberi kabar buruk sebab selama seminggu ke depan ia dan pohon itu tidak akan bertemu.
Ia mendadak ditugaskan ke luar kota, mengikuti sebuah rapat penting, menggantikan salah satu rekannya yang berhalangan karena istrinya sedang hamil tua dan menurut prediksi dokter dalam hitungan dua atau tiga hari lagi akan segera melahirkan.
Lelaki itu tahu, sekarang orang-orang di kantor sedang menertawainya di balik jendela mobil mereka yang berkaca gelap. Ia pun tahu bahwa selama ini mereka menyebutnya sinting, gila, dan semacamnya karena mengobrol dengan pohon. Tapi ia sendiri tidak peduli dengan omongan mereka. Ia bahagia menjadi dirinya sendiri.
Ia senang sebab pohon itu akan selalu setia menunggu kedatangannya tanpa lelah, tanpa mengeluh, apalagi jenuh. Ia senang karena pohon itu tak pernah meneleponnya malam-malam demi mengeluhkan sesuatu semacam sakit keram menstruasi, gangguan tenggorokan atau pegal di sekujur badan karena lelah bekerja seharian penuh.
Memang apa salahnya mencintai dan berkeinginan menikahi pohon? Toh tidak ada yang ia lukai perasaannya di sini. Ia sendiri yakin benar bahwa pohon itu juga mencintainya. Mereka adalah sepasang kekasih yang saling mencintai satu sama lain.
Lagipula selama ia pergi ke luar kota nanti, pohon itu sudah tentu takkan beranjak ke mana-mana, dan itu artinya ia takkan pernah diselingkuhi seperti saat dulu dia mencintai manusia dengan segenap jiwa raga.
Sebenarnya dua tahun lalu ia sempat hampir menikah dengan salah satu rekan sedivisi di kantornya. Perempuan itu tak seberapa cantik, kakinya tak seberapa jenjang laiknya pohon, tapi ia tetap menyukainya. Ia menyukai perempuan itu karena setiap kali mereka berdekatan, tubuh perempuan itu selalu menguarkan aroma pohon yang sungguh-sungguh disukainya. Bisa dibilang perempuan itu mengingatkannya pada ibunya. Sayang sekali, ibunya mati terlalu cepat sebelum ia bertemu perempuan itu dan mengenalkannya.
Sayangnya, kisah cinta di antara mereka berdua cepat sekali memudar seiring level kedudukan di kantor yang begitu kentara terasa. Perempuan itu segera naik jabatan sementara ia masih di situ-situ saja, dan ia langsung jadi bahan olok-olokan rekannya yang lain.
Ia sebenarnya tidak pernah mempermasalahkan itu. Namun, seiring waktu perempuan itu mulai menyebalkan baginya. Dia mulai memerintah dan tak jarang mengatur-atur dirinya. Sampai tiba saat di mana jalan yang mereka lalui mulai berseberangan, dan benturan demi benturan pun kerap mewarnai hubungan mereka dari hari ke hari.
“Selama bersamamu, sebenarnya aku juga mencintai pria lain. Karena itu aku mau kita putus saja.” Perempuan itu dengan lantang mencetuskan kalimat itu di parkiran kantor. Selanjutnya dia melepaskan cincin di jarinya kemudian mengembalikannya.
Lelaki itu merunduk sementara perempuan itu berlalu dari hadapannya dengan langkah-langkah lebar. Hujan turun setelahnya. Deras sekali. Seperti derasnya air terjun di dada perempuan pohon di mimpinya bertahun-tahun kemudian.
Tapi lelaki itu tetap tak beranjak dari sana. Sesaat ia merasa seperti deja vu. Dulu, sewaktu mendapati ayahnya memukuli ibunya berulang kali di dapur hingga pingsan, ia hanya bisa mengintip lewat jendela yang basah karena hujan deras dari luar. Ia tidak sedikit pun beranjak dari sana sampai kakinya yang basah kuyup di atas susunan kaleng biskuit terasa mulai kebas dan kesemutan.
***
Tak terasa waktu cepat sekali berlari. Hari ini adalah hari terakhir lelaki itu di luar kota. Besok pagi ia akan kembali dengan pesawat pertama dan ingin selekasnya bertemu dengan pohon pujaannya. Banyak hal yang ingin ia bagi dan ceritakan kepadanya. Setelah itu ia memilih tidur lalu mendadak terbangun di sepertiga malam dengan perasaan aneh luar biasa. Ah, hanya mimpi buruk, pikirnya. Ia memilih tidur lagi.
Segalanya terasa baik-baik saja, sampai keesokan harinya berubah tidak baik-baik saja saat ia kembali ke kantor dan mendapati satu-satunya pohon di lahan parkir kantornya tak lagi di sana. Seseorang, entah siapa telah menebangnya.
Mata lelaki itu mengerjap, layu dan basah kuyup dalam kehampaan. Ia menangis karena tak bisa berbuat apa-apa. Sungguh, tidak secuil pun ia membayangkan kejadian malang ini bakal menimpa pohon pujaannya.
Namun ia lupa satu hal, bahwa manusia memang selalu punya cara untuk saling menyakiti satu sama lain, apalagi kepada pohon yang tak berdaya, seperti ayahnya yang usai memukuli ibunya hingga pingsan, memilih membakar habis semua isi ruang rahasianya hingga mengabu.
***
Editor: Ghufroni An’ars