din aju

Faris Maulana Akbar

6 min read

Yang kusebut “din aju” ini -sengaja kutulis dengan huruf kecil agar ia tidak besar kepala- bertahun-tahun mengendap di kepalaku. Ia bangsat. Benar-benar bangsat!

Hal pertama yang kuingat tentang sosoknya adalah ia suka kegelapan. Karena itu, ia hidup di dunia gelap bersama koloninya. Dari sana mereka mengintai kami dengan matanya yang hitam, kumisnya yang panjang, serta gigi dan kukunya yang tajam. Jika ada kesempatan, mereka segera berkelebat melancarkan aksi bejat: merusak dan mencuri segala barang yang mereka suka.

Aku memanggilnya din aju. Seingatku, ayahlah dulu yang memberinya panggilan itu. Aku tidak pernah bertanya mengapa ia memanggilnya begitu. Baru belakangan ini aku menyadari bahwa dalam budaya kami sebutan itu berarti Raden Ayu, sebuah julukan khusus yang disandang putri keraton.

Apakah berarti din aju dulunya adalah putri keraton? Entahlah. Ayah selalu berbisik ketika menyebutnya dan menyuruhku diam setiap merasakan kehadirannya.

“Sst! Ada din aju,” katanya sambil meletakkan jari telunjuk di depan mulut. Seketika itu kami mengheningkan cipta dan membiarkan sekelebatan bayangan hitam lewat.

Ketika bayangan hitam itu pergi, kadang Ayah mengambil keranjang, mengisinya dengan sisa nasi dan lauk dari dapur, lalu menaburkan sebungkus bubuk di atasnya dan mengaduknya. Setelah itu, ia meletakkan keranjang itu di tempat kemunculan din aju.

“Untuk din aju,” ujarnya sambil tersenyum. Keesokan harinya atau beberapa hari setelahnya, kami mencium bau busuk menguar dari bangkai-bangkai hitam yang menyempil di sudut-sudut gelap rumah kami.

Sejak dulu, aku tidak tahu mengapa din aju menyukai kegelapan. Sampai kini dewasa, aku tidak mengerti mengapa ia sama sekali tidak suka berada di tempat terang. Ia dan koloninya takut cahaya. Aku jadi bertanya-tanya. Apakah mereka takut bahwa cahaya akan menampakkan wujud mereka yang buruk rupa? Atau mungkin mereka dikutuk selamanya untuk berada dalam gelap? Atau memang kegelapan itulah habitat asli mereka sehingga jika keluar dari gelap akan membuat mereka sulit bernapas? Apa pun alasannya, semenjak ia dan komplotannya mengacaukan seisi rumahku dan mencuri barang-barang, terutama buku-buku, aku tidak pernah mematikan lampu agar mereka tidak datang.

Namun, ternyata mereka lebih pintar dari yang kukira. Dari balik gelap mereka mengintai dan menungguku terlelap. Hingga suatu saat ketika mataku terpejam dan yang kulihat hanyalah hitam pekat, din aju datang mengendap-endap disusul koloninya. Mereka melesat di balik bayang-bayang, menghindari siraman cahaya lampu dan secepat kilat mengitari ruangan sembari mencuri barang-barang. Rupanya mereka tidak hanya bermain di dunia gelap miliknya saja, tetapi juga milikku. Sialan!

Gerakan mereka begitu cepat sehingga hampir tak dapat ditangkap mata biasa. Mereka seperti ninja yang mampu berkelebat tanpa suara. Tak jarang pula layaknya hantu, yang sering terlihat hanyalah bayangan gelap sesaat. Liciknya, mereka melakukannya dengan bebas, benar-benar bebas hingga sempat-sempatnya berak dan kencing di mana-mana.

Aku muak ketika bangun tidur dan menyadari ada barang hilang. Aku menggerutu kesal dan tak jarang pula menggeram marah. din aju dan koloninya itu acap kali menjilat, menggigit, menggerogoti, dan mengambil makanan, minuman, serta barang-barang penting kami. Belum lagi butiran-butiran tahi busuk dan bekas kencing amis bin najis yang mereka tinggalkan. Ah, bajingan sekali.

Kejadian memuakkan ini terjadi berkali-kali hingga akhirnya kuputuskan memasang perangkap di salah satu sudut dapur yang gelap, tempat favorit kemunculan din aju.

“Aku ingin menangkapnya hidup-hidup,” ujarku pada istri kala memasang sebilah papan yang telah diolesi cairan perekat.

Di bagian tengah papan itu sudah kutaruh umpan berupa dua sendok nasi dan kepala ikan sisa lauk makan malam. Tak lupa juga kuberi remah-remah roti dan sepotong kecil gorengan kesukaan mereka.

“Kita tunggu esok pagi,” ucapku sambil berusaha tersenyum menirukan senyuman Ayah dulu.

Aku tahu selama ini din aju tinggal di atap rumah. Ia bersama koloninya entah mengapa suka menetap di tempat-tempat tinggi. Itulah satu dari sekian alasan mereka sulit ditangkap. Cara mudah agar bisa menangkap mereka ya dengan perangkap. Itulah yang membedakannya dengan kerabat jauhnya yang tinggal di gorong-gorong.

Meski bertubuh besar nan kekar dan berpenampilan garang seperti monster, kerabat jauh din aju itu sering kudapati pagi-pagi terlindas motor. Mampus. Apa mereka tak cukup pintar menyeberang jalanan? Aku tak tahu dan tak peduli. Yang kupedulikan kini adalah komplotan din aju yang walau bertubuh biasa saja tetapi cukup cerdik menyambung nyawa. Lebih tepatnya, licik.

Malam itu kami biarkan lampu dapur menyala. Sebelum tidur, aku membayangkan din aju dan komplotannya bergerak dalam gelap dan senyap mengikuti insting penciuman yang kuat. Aroma kepala ikan itu pasti akan menggiring kaki-kaki kecil mereka menuju dapur. Mereka akan mengendap-endap melewati lorong sempit antara lemari piring dan kolong meja makan.

Aroma kepala ikan itu akan menguat ketika mereka mendekati sebilah papan yang telah kuolesi perekat. Aku yakin, setelah melihat umpan di tengah papan itu, salah satu di antara mereka akan segera melompat dan… hap!

Senyumku mengembang membayangkan apa yang akan kudapati esok pagi.

***

Malamnya, sebelum mataku terpejam, aku sempat mendengar suara cericit din aju dan rentetan langkahnya di plafon. Setelah itu, sayup-sayup kudengar suara benturan kecil di dapur. Aku tidak tahu apa yang terjadi. Aku sudah terlanjur masuk ke alam mimpi.

Di mimpi itu kulihat seorang pencuri ditangkap polisi dan akhirnya mendekam di balik jeruji besi. Kulihat wajah orang-orang tersenyum bahagia karena melihatnya dibui.

Sebakda subuh, segera kuperiksa dapur. Kutemukan beberapa butir kotoran berceceran di dekat lemari. Hatiku dongkol. Untung saja tak sampai sekian detik ekor mataku menangkap bayangan sesosok makhluk berbulu gelap seukuran hampir sekepalan tangan terbaring tak berdaya di atas sebilah papan yang kupasang sebelumnya.

Dongkolku langsung hilang seketika demi melihat raut wajah melas makhluk tengik itu. Dua bola matanya yang kecil dan merah setengah terbuka. Moncongnya terkatup. Separuh badan dari ujung ekor hingga ujung kepala serta beberapa helai kumisnya rekat menempel pada papan.

“Kena kau! Mau lari ke mana sekarang, hah?”

Aku menyeringai lebar sambil mengangkat papan perangkap dan menatapnya lekat-lekat.

Ia tak berkutik. Barangkali ia sudah pasrah. Namun, sepasrah-pasrahnya ia masih sempat berak di papan itu.

“Bajingan kau ya,” umpatku kesal. “Ayo kita lihat hukuman apa yang pantas kaudapat agar kau dan komplotanmu jera!”

Lekas kuletakkan papan perangkap itu tepat di bawah pancaran sinar lampu dapur. Kedua matanya yang merah itu segera tertutup rapat. Lantas kuambil tongkat kayu. Setelah itu, tanpa pikir panjang, aku pun mengeksekusinya. Butuh beberapa kejapan mata dan tiga tarikan napas sampai ia mati tanpa ba-bi-bu. Mampus!

***

Sebenarnya aku tidak yakin apakah yang kueksekusi mati itu din aju atau bukan. Saat membereskan bangkainya, aku merasa sedang diawasi beberapa pasang mata merah dari balik tirai kegelapan. Perasaan diawasi sempat membuat bulu kudukku berdiri. Apa itu komplotan din aju? Apa yang sedang mereka rencanakan sembari mengawasiku? Apakah mereka geram setelah menyaksikan eksekusi itu? Apakah mereka akan membalas dendam?

Pikiranku berkemelut. Aku jadi ragu, jangan-jangan yang mati itu bukan din aju, tapi satu dari sekian banyak komplotannya. Bagaimana cara memastikannya jika mengetahuinya saja aku tak bisa? Baik din aju dan komplotannya sama-sama tak pernah benar-benar memunculkan batang hidung mereka. Kemungkinan besar rupa mereka sama dengan sosok yang telah kueksekusi. Tapi, apakah bedanya jika yang tertangkap itu din aju atau bukan? Mereka sama-sama meresahkan, bukan?

“Dari pada Sampean bingung mana din aju dan yang bukan, basmi saja mereka semua, Mas. Toh mereka sama-sama jahat, kan?” usul istriku.

Ia sudah lama bersabar mendapati masakannya dicicipi komplotan bajingan itu. Bahkan, mereka juga menggerogoti gamis kesukaannya. Terbaru, deretan alat kosmetiknya berserakan dan ada yang hilang dibawa mereka ke sudut-sudut gelap yang pengap dan bau.

Aku jadi teringat nasib buku-buku yang kujejer dan kutumpuk rapi di rak-rak kayu. din aju dan komplotannya melahap seperempatnya. Tidak hanya itu, mereka juga kencing dan berak di sana dan menjadikannya taman bermain saat aku terlelap. Beberapa buku bahkan mereka seret ke ruang gelap. Sialan.

Atas usulan istriku, hari itu juga kuputuskan akan memburu dan membasmi mereka. Aku pergi ke warung serbaguna dan membeli beberapa bungkus serbuk racun yang dulu pernah digunakan Ayah. Sebelum petang, sudah kusiapkan dan kuletakkan beberapa keranjang berisi nasi dan lauk kesukaan mereka yang sudah dicampuri serbuk racun itu di sudut-sudut gelap rumah.

Sebakda isya, kumatikan semua lampu rumah kecuali di kamar. Sebelum terlelap tidur, aku berdoa semoga mereka tidak curiga dan mulai berpesta menikmati santapan maut yang kusajikan.

Malam itu aku bermimpi melihat satu komplotan perampok mati ditembak polisi karena berusaha melawan dan melarikan diri. Anehnya, aku mendengar gelak tawa menggema perlahan tapi pasti penuh intimidasi. Lalu kulihat di langit sepasang mata merah menyala. Dunia tiba-tiba menjadi gelap. Gelap segelapnya gelap.

***

Keesokan harinya, segera kunyalakan semua lampu. Kuperiksa satu persatu keranjang di sudut-sudut gelap rumah. Ada bekas gigitan di setiap keranjangnya. Tak jauh dari masing-masing keranjang itu, satu hingga dua sosok berbulu hitam terbaring kaku. Setelah kukumpulkan, semuanya berjumlah sembilan.

“Banyak sekali ini,” kelakar istriku setelah melihat bangkai-bangkai itu kumasukkan dalam satu kantong plastik. “Apakah semuanya sudah mati?”

Aku menggeleng dan mengangkat bahu. Istriku manggut-manggut sambil menutupi hidung dengan telapak tangannya.

“Bau!” katanya sambil berlalu ke kamar mandi. “Segera buang keluar, ya. Sebelum busuknya menyebar.”

“Ya,” jawabku. Aku lalu bergeming sejenak memikirkan mimpi semalam sebelum beranjak ke luar rumah. Aku merasa masygul. Apakah itu pertanda buruk?

Aku masih memikirkan mimpiku sambil menjinjing plastik berisi sembilan bangkai itu ketika sayup-sayup kudengar suara berisik di atas plafon. Aku berhenti sebentar dan menengok ke atas. Apakah itu din aju? Apakah ia masih hidup di atas sana? Bayangan sepasang mata merah yang menyala dalam mimpi membuatku sedikit gentar. Lekas kuteruskan langkahku ke luar rumah dan membuang plastik berisi sembilan bangkai itu ke gundukan tempat sampah.

Sejak kejadian itu, aku selalu membiarkan lampu rumah menyala. Cara itu membuatku merasa aman sentosa. Tetapi selang beberapa waktu, aku menyadari ternyata din aju masih hidup dan mulai berkeliaran lagi di seantero rumah. Kini, ia dan komplotannya justru semakin berani menampakkan diri tanpa urat malu walau harus berlarian di bawah siraman cahaya. Mereka semakin rakus, pemakan segala. Makanan, minuman, buku, hingga perkakas rumah habis dikikis, diberaki, dikencingi, hingga dicurinya. Sialnya, mereka kebal dari segala macam ramuan racun dan obat. Mereka juga semakin pintar menghindari segala macam perangkap.

Alamak. Keberadaan din aju dan koloninya itu kini sungguh membuatku gila. Kekacauan, kerusakan, dan segala kerugian yang dibuatnya semakin menjadikanku gelap mata. Aku pun kehabisan akal meladeninya.

Dalam lamunanku yang panjang, aku melihat diriku sendiri berdiri di depan rumahku, dengan korek api di tangan kanan dan derigen bensin di kiri. Berpasang-pasang mata merah menyala mengitariku seperti kobar api yang perlahan semakin menjadi. Suara gelak tawa yang asing itu juga tak mau berhenti mengganggu pendengaranku. Kau tahu, aku tak mungkin berbagi rumah dengan makhluk rakus dan gila seperti din aju. Mereka itu bangsat. Benar-benar bangsat!

2021-2023

***

Editor: Ghufroni An’ars

Faris Maulana Akbar

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Dapatkan tulisan-tulisan menarik setiap saat dengan berlangganan melalalui email