Sarang

Munawir Mandjo

3 min read

Ruri sangat telaten merawat sarang yang tersimpan di sela pangkal kedua kakinya. Setiap hari ia membersihkan kotoran-kotoran yang menempel. Rajin memangkas semak-semak yang tumbuh subur di sekitar. Menyemprotkan zat-zat yang dapat menghentikan pertumbuhan jamur dan bakteri, serta wewangian agar terhindar dari bau tidak sedap, yang tentu dapat membuat burung yang dirawat suaminya, Gani, tak akan merasa nyaman dan betah main berlama-lama di dalam sarang miliknya.

Sudah setahun burung Gani memilih menetap di sarang milik Ruri. Burung yang berwarna cokelat dengan ukuran tiga jari orang dewasa: jari telunjuk, jari tengah dan jari manis jika disatukan. Memiliki leher panjang hampir seukuran dua kali telunjuk orang dewasa, serta berparuh pendek.

Meskipun selama ini ia sering mendengar kabar dari sahabatnya Karmila, jika burung suaminya kerap melirik sarang-sarang milik perempuan lain di luar sana, Ruri berusaha tak mempercayai itu. Ruri sadar suaminya memiliki wajah rupawan dan terkenal mahir memperlakukan burung peliharaan dengan baik. Tentulah banyak perempuan yang akan menawarkan sarang miliknya.

“Bisa jadi bukan suamiku yang melirik mereka, tapi para perempuan itu yang keganjenan. Lagi pula, selama aku mampu merawat sarangku dengan baik dan membuat burung peliharaan suamiku tetap nyaman. Suamiku tak akan berpaling dan meninggalkan sarang milikku,” kata Ruri kepada Karmila suatu waktu.

Ruri sendiri mengenal Karmila sejak bekerja di sebuah perusahaan properti terkemuka. Mereka ditempatkan pada divisi yang sama di pemasaran. Karmila merupakan pribadi yang pantang menyerah, bersemangat, serta memiliki pikiran terbuka. Hal itu yang membuat Ruri kagum dan tertarik berhubungan akrab dengan Karmila. Bahkan untuk bertukar cerita hal-hal pribadi.

***

Malam mulai berkuasa saat Gani pulang dari kantor. Ruri menyambutnya dengan senyum manis, mendandani wajahnya sedemikian rupa. Ruri berusaha selalu tampil menarik.

”Maaaa…” panggilan Gani terdengar merayu, sesaat setelah keluar dari kamar mandi dengan wajah segar.

Ruri membalasnya dengan senyum centil. Ia sudah paham penggilan dengan nada demikian. Itu pertanda bahwa burung Gani ingin membenamkan diri ke dalam sarang.

Ruri berjalan mendekati burung peliharaan suaminya. Sebelum masuk ke dalam sarang, terlebih dahulu Ruri mengusap-usap dan merapikan bulu-bulu sang burung yang agak kasar. Diciuminya berkali-kali, kemudian dituntunnya masuk ke dalam sarang secara perlahan. Burung Gani bermain-main dalam sarang Ruri, melompat ke sana-ke mari dengan riang disertai kicauan merdu. Ruri sangat menikmati kicauan burung suaminya itu.

***

Namun, akhir-akhir ini Ruri merasakan ada yang ganjil dengan sikap burung peliharaan suaminya. Sudah dua minggu burung suaminya lebih suka bertengger di luar sarang.

“Pa…, Burung Papa, baik-baik saja, kan?” tanya Ruri dengan pikiran khawatir.

“Burung Papa sedang tidak prima, Ma,”

“Burung Papa, sakit?”

“Iya, meriang, Ma….”

Mendung kekhawatiran mulai menembus pikiran Ruri. Sepanjang malam ia terjaga. Satu sisi ia mengkhawatirkan kondisi burung suaminya, di lain sisi ia mulai meragukan kualitas sarang miliknya.

Saat dini hari, akhirnya ia mencapai suatu keputusan. Dipandanginya suaminya yang tertidur dengan posisi terlentang. Sesekali terdengar dengkurannya yang memecah keheningan malam. Dipalingkan wajahnya ke arah burung peliharaan suaminya yang tertutup selimut tebal. Ia mendekat secara perlahan dan sesekali berhenti saat ada gerakan tiba-tiba. Kemudian Ruri membuka selimut bermotif itu dengan sangat hati-hati. Diperiksanya secara seksama seperti montir yang mencari kerusakan pada sebuah mesin kendaraan. Ia tercekat saat melihat burung suaminya tampak bugar. Terjaga dengan keadaan walafiat.

Sesuatu yang hangat mulai mendesak keluar dari balik kelopak matanya. Yang membuat Ruri sedih bukan karena kebohongan suaminya, tetapi lebih kepada sebab kebohongan suaminya yang bisa berarti sarang miliknya sudah tak mampu memberikan rasa nyaman. Ia merasa gagal. Sebab itu burung suaminya lebih memilih bertengger di luar sarang.

“Apa yang salah dengan sarangku? Setiap hari aku merawatnya dengan baik, membersihkan kotoran, menyemprotkan zat pembersih jamur dan bakteri, memberi wewangian, tetapi mengapa burung peliharaan suamiku menolak membenamkan diri?” pikirnya gusar.

Saat itu juga, Ruri memutuskan memeriksa sarang miliknya. Secara perlahan, ia melangkah turun meninggalkan ranjang. Ia tidak perlu berbalik untuk memastikan suaminya terbangun karena Ruri masih mendengar dengkurannya. Sebelum berjalan ke ruang tengah, ia tidak lupa mengambil sebuah senter kecil, cermin genggam serta sebuah bantal. Ia berjalan hati-hati meraih engsel pintu kamar seperti seseorang yang sedang berusaha menangkap ikan di dalam air yang tenang.

Di ruang tengah, Ruri duduk di sofa sambil menyanggah punggungnya dengan bantal. Menekuk lututnya sehingga kedua telapak kakinya berada di samping bokong. Ia bersandar sedikit ke belakang dan melebarkan kedua lututnya agar mulut sarangnya terlihat jelas. Digenggamnya cermin di depan sarangnya, sesuai dengan arah sorot sinar lampu senter. Diperiksanya isi sarangnya. Tak ada yang salah di situ. Hatinya diliputi kesedihan.

***

Keesokan harinya setelah menceritakan semua kejadian kepada sahabatnya Karmila, Ruri mendapatkan petunjuk untuk mengunjungi seorang spesialis sarang yang terkenal hebat yang berlokasi di luar kota.

“Apa kubilang, lebih baik kau lupakan burung Gani. Aku tau lelaki macam apa dia,” ujar Karmila meyakinkan.

“Tidak. Mungkin ada yang salah dengan sarangku.”

Melalui pesan singkat, Ruri meminta izin kepada suaminya untuk berangkat keluar kota dengan alasan yang dibuat-buat.

***

Petang mulai merambat perlahan saat Ruri tiba di depan rumahnya. Setelah membuka pintu rumah dan melangkah masuk, dari ruang tengah ia tiba-tiba mendengar kicauan burung yang sangat nyaring dan merdu. Kicauan yang tidak pernah lagi ia dengar sebelumnya. Kicauan yang ia rindukan, yang terdengar saat burung milik suaminya bermain di dalam sarang.

Ia melangkah perlahan dengan rasa penasaran dan kekhawatiran yang menyelimuti pikirannya. Ia menelusuri arah kicauan burung itu, dan terdengar semakin nyaring saat ia berada di depan kamarnya. Ia sangat yakin jika suara kicauan burung itu berasal dari dalam sana. Itu jelas suara burung suaminya.

Dengan pasti Ruri membuka pintu. Matanya membelalak. Seketika batinnya seperti dihujam ribuan tombak, saat ia mendapati burung peliharaan suaminya berlompat-lompatan dengan sangat riang di sarang milik perempuan lain. Pada sarang milik Karmila.

Seketika tubuh Ruri ambruk dan pandangannya seolah dikerubungi semut-semut hitam.

***

Editor: Ghufroni An’ars

Munawir Mandjo

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Dapatkan tulisan-tulisan menarik setiap saat dengan berlangganan melalalui email