Memandang Mata yang Enak Dipandang

Eko Nurwahyudin

3 min read

Mustahil pengalaman hidup yang panjang diceritakan secara pendek. Maka, membaca cerpen bukanlah membaca pengalaman hidup yang dipendekkan, melainkan membaca pengalaman hidup yang dikentalkan.

Ahmad Tohari merupakan salah seorang penulis yang piawai mengentalkan pengalaman hidup yang keras, beku, cair, mengalir ke dalam alur cerita-cerita pendeknya. Melalui lima belas cerpen yang dihimpun dalam antologi berjudul Mata yang Enak Dipandang, Ahmad Tohari mengajak pembacanya untuk memandang kentalnya pergulatan manusia menghadapi hidup.

Pergulatan yang tak hanya bicara kalah dan menang dalam memanfaatkan peluang dan merebutkan ruang. Lebih jauh dan lebih penting, Tohari justru menampilkan pergulatan orang-orang dalam menemukan makna hidup masing-masing.

Pada cerpen pertama yang bertajuk Mata yang Enak Dipandang, melalui tokoh Kang Mirta, seorang pengemis buta yang kerap ditindas oleh bocah bernama Tarsa yang bertugas menuntunnya untuk mengemis, pembaca akan dibuat termenung atas pergulatan lahir batin Kang Mirta memberikan perlawanan terakhir – menolak pemerasan bocah itu.

“Tarsa memang sengaja meninggalkan dirinya di tempat yang terik dan sulit itu. Memanggang Mirta di atas aspal gili-gili adalah pemerasan dan kali ini untuk segelas es limun. Tadi pagi Tarsa sengaja membimbing Mirta sedemikian rupa sehingga kaki Mirta menginjak tahi anjing, Mirta boleh mendesis dan mengumpat sengit. Tapi Tarsa tertawa, bahkan mengancam akan mendorong Mirta ke dalam got kecuali Mirta mau memberi sebatang rokok. Mirta jengkel dan tidak ingin diperas terus-menerus.” (halaman 9-10)

Terdapat dua hal yang menarik diteliti dari cerita ini. Pertama, adakah perbedaan yang mencolok dalam sosok pemenang dan pecundang dalam menghadapi hidup? Kedua, makna hidup apa yang telah ditemukan pemenang itu? Perbedaan yang mencolok itu tampak pada pandangan mata mereka. Sosok Kang Mirta telah memenangkan pergulatan hidup. Meski ia buta, ia mampu memandang problem kemiskinan dan ketertindasannya melalui mata hatinya dengan jernih. Ia tak melawan penindasan yang dilakukan bocah itu sebab ia tahu pandangan seorang bocah adalah pandangan seorang yang penuh kegembiraan – pandangan yang enak dipandang. Pandangan seorang bocah adalah pandangan seorang periang, bukan pandangan seorang tiran.

Tekad Kang Mirta bulat melawan untuk tidak mengemis di akhir hidupnya. Kang Mirta melawan mentalitas ketertindasannya dari hidup dan bocah Tarsa. Bagi Kang Mirta yang telah menemukan makna hidup, perlawanan jelas ditujukan agar tercipta relasi yang saling mengasihi dan menyayangi satu sama lain. Mata yang memandang perlawanan sebagai upaya pembebasan. Menang yang tanpo ngasorake.

Kemenangan kecil Kang Mirta diulas dengan sangat apik oleh Ahmad Tohari. Tarsa mulai berpikir dan merefleksikan kekeliruan tindakannya atas berbagai pengalaman hidupnya.

“Tarsa ingat, memang sulit mencari orang yang matanya enak dipandang dalam kereta kelas satu. Melalui jendela ia sering melihat berpasang-pasang mata di balik kaca tebal itu; mata yang dingin seperti mata bambu, mata yang menyesal karena telah tertumbuk pada sosok kere picek dan penuntunnya, mata yang bagi Tarsa membawa kesan dari dunia yang amat jauh.” (halaman 15)

Berbeda dengan kisah Kang Mirta yang berangkat dari ketertindasan dan mulai membebaskan diri dan sesamanya dari mentalitas ketertindasan, kisah Kang Ratib, seorang imam surau dalam cerpen berjudul Bila Jebris Ada di Rumah Kami lebih mengajak pembaca untuk mengingat peran manusia untuk memanusiakan manusia terlepas dari titik berangkat, pekerjaan dan kelas sosialnya.

Melalui sosok Kang Ratib, Tohari menggambarkan sosok imam yang pantas menjadi tauladan. Sosok imam yang tak seperti Pak RT yang sekadar memberi nasihat agar Jebris, tetangganya yang janda berhenti melacur. Kang Ratib pun tak seperti kebanyakan orang beragama yang khawatir ketiban sial karena berpikir keberkahan tidak akan datang pada empat puluh rumah di sekitar tempat mesum. Kang Ratib justru memberi ruang dan peluang bagi Jebris bekerja di rumahnya guna memulihkan kemuliaannya sebagai manusia. Singkatnya, Tohari melalui sosok Kang Ratib seperti hendak mengingatkan bahwa orang yang telah menemukan makna hidupnya yang sejati selalu berupaya ngurupi urip atau mengupayakan hidupnya agar berkah bagi sesama dan seluruh alam.

“Kita akan terus bertetangga dengan dia, dan kamu tak usah khawatir malaikat pembawa berkah tidak akan datang ke rumah ini bila kamu tetap punya kesabaran dan sedikit empati terhadap anak penjual gembus itu.” (halaman 28)

Berkebalikan dengan mereka yang mampu menghadapi hidup dan berhasil menemukan makna hidupnya, penulis cerpen asal Banyumas ini juga menggambarkan mereka yang kalah dalam menghadapi hidup. Orang-orang kalah itu kehilangan makna hidup dan mereka memiliki mata yang culas, liar dan binal. Mata orang-orang seperti itu tersebar dalam judul cerpen Penipu yang Keempat, Warung Penajem, Pemandangan Perut, dan Paman Doblo Merobek Layang-Layang.

Penipu yang Keempat menggambarkan pandangan seorang picik. Melalui tokoh aku, Tohari melempar satir kepada pembacanya untuk merefleksikan pengalaman hidup mereka. Pengalaman menjumpai dan menikmati berbagai keculasan. Tampaknya penulis hendak memperingatkan bahwa menjadi manusia yang paling buruk adalah menjadi manusia yang tidak hanya tega menipu sesamanya, bahkan dengan berani berpikir Tuhan Yang Maha Mengetahui bisa ia kibuli.

Adapun kisah Warung Penajem dan Pemandangan Perut menggambarkan perubahan mata manusia yang kehilangan martabatnya. Manusia tak lagi memandang keridhaan Tuhan sebagai tolok ukur kesuksesan hidupnya, melainkan memandang harta benda dan tahta sebagai tujuan hidup yang harus digalakkan bagaimanapun caranya.

Perubahan pandangan mata manusia yang kehilangan tatapan manusiawi menjadi pandangan seorang yang memiliki tatapan hewani dapat pembaca temukan pada cerpen berjudul Paman Doblo Merobek Layang-Layang.

Perubahan pandangan mata itu barangkali tidak dipicu oleh nafsu memburu dunia seperti dua judul sebelumnya, melainkan disebabkan keterpaksaan atas hal-hal yang struktural. Tepatnya, dampak-dampak nyata dari kebijakan ­pembangunan yang top down, memandang kampung dengan mata teknokrat-birokrat-ekonom menara gading metropolit.

Paman Doblo dahulu merupakan orang kampung biasa dan dikenal sebagai nama untuk pertolongan, untuk rasa aman dan untuk keakraban bagi anak-anak. Tiba-tiba ia berubah menjadi sosok yang asing. Paman Doblo kini menjadi seorang satpam yang memiliki mata seekor anjing penjaga sebuah badan usaha kilang pengolah kayu yang beroperasi belum lama di kampungnya. Mulanya Paman Doblo melayani dengan baik anak-anak yang meminta limbah kilang kayu untuk kayu bakar. Namun, sejak kena damprat majikannya, Paman Doblo menjadi sosok yang hanya jinak pada majikannya.

“Keramahan mulai surut dari wajahnya, Kekhawatiran akan kehilangan terlalu banyak limbah kayu membuat Paman Doblo selalu mewaspadai bahkan mencurigai anak yang berada dekat kilang. Paman Doblo memang sudah berubah. Untuk menjawab pertanyaan anak saya, dia berkata sambil berkacak pinggang. ‘Saya tidak hanya bisa merobek layang-layang; saya juga bisa merobek mulut orangtua atau anak-anak kalau dia membahayakan keamanan kilang atau merugikan kepentingan pemiliknya.” (halaman 70-71)

Akhirnya, membaca kentalnya kisah-kisah pergulatan manusia menghadapi hidup dalam karya Ahmad Tohari ini memang membutuhkan mata yang bijak untuk memandang, bijak dalam memandang hidup sebagai proses pembusukan jasad sekaligus pematangan ruh.

Toh, bukankah kebijaksanaan merupakan linuwih pada setiap pribadi yang memiliki mata yang enak dipandang? Bukankah linuwih itu yang pembaca sekalian harapkan?

 

Judul                           : Mata yang Enak Dipandang
Penulis                        : Ahmad Tohari
Penerbit                      : Gramedia Pustaka Utama
Cetakan                      : Ketiga, Januari 2019
Tebal                           : 216 halaman
ISBN                            : 978602030059

***

Editor: Ghufroni An’ars

Eko Nurwahyudin

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Dapatkan tulisan-tulisan menarik setiap saat dengan berlangganan melalalui email