Sanro Mati

Munawir Mandjo

4 min read

Burung gagak itu terbang berputar-putar membawa serta arwah-arwah penasaran. Kehadirannya seolah menyampaikan pesan, sebentar lagi akan ada jiwa yang lenyap.

***

Saleh memutuskan berhenti berjualan minyak penghitam rambut, padahal ia memiliki banyak pelanggan. Kadang dalam sehari ia mampu menjual sepuluh botol minyak penghitam rambut dari hati burung gagak yang ia olah sendiri. Sejak ia berhenti banyak yang menanyakan kabarnya. Sakitkah ia? Berjualan di luar kota? Atau sedang pulang kampungkah ia?

Saleh tidak menetap di satu tempat untuk memasarkan dagangannya. Ia bisa ditemui di pasar, pelataran masjid, pelataran kampus atau acara-acara rakyat.

Nasaruddin, salah seorang teman sekaligus pelanggan khawatir dengan keadaannya, maka ia putuskan untuk mengunjungi Saleh. Di kontrakannya, Nasaruddin mendapati Saleh sedang duduk termenung di beranda.

Saleh bahkan tidak menyadari kehadiran tamunya yang berdiri di dekatnya. Wajahnya tampak diliputi mendung ketakutan, tatapannya kosong, rambutnya acakadut. Tidak seperti biasanya, Saleh yang selalu menjaga penampilannya.

“Bagaimana mungkin orang akan percaya obat ini, jika penampilan rambutku saja kurang meyakinkan,” ucapnya suatu waktu.

“Tidak. Tidak apa-apa.” Begitu ia menyangkal saat ditanya keadaannya.

“Aku berhenti menjual obat,” katanya dengan nada hilang semangat.

“Kamu sudah berjualan obat selama beberapa tahun, bukan? Dan lihat, sampai sekarang tidak ada hal menakutkan yang terjadi padamu.” Nasaruddin meyakinkan.

“Arwah-arwah itu menunggu waktu yang tepat untuk mencabut nyawaku. Dan sebentar lagi mereka datang. Begitu kata Sanro Mati,” sangkal Saleh tanpa melihat lawan bicaranya.

Nasaruddin menyerah dan meninggalkan Saleh dengan rasa iba.

***

“Gagak-gagak itu membawa serta arwah-arwah penasaran dan sebentar langi akan melenyapkan nyawamu.” Begitulah penuturan Sanro Mati, lelaki paruh baya yang dipercaya penduduk setempat sebagai orang pintar.

Jika seseorang kehilangan barang berharganya maka orang akan menyarankan untuk datang ke Sanro Mati. Jika punya sakit yang sulit disembuhkan dokter, orang segera merekomendasikan Sanro Mati. Jika belum ketemu jodoh, orang akan menyarankan minta petunjuk ke Sanro Mati. Untuk kebanyakan masalah, dapat diselesaikan oleh Sanro Mati.

Ia sangat populer sehingga dalam beberapa hal orang kadang tak perlu aparat keamanan, dokter, atau ahli agama. Semuanya diserahkan ke Sanro Mati.

Pertemuan antara Saleh dan Sanro Mati berlangsung saat Sanro Mati berjalan-jalan di sekitar kampung. Dilihatnya Saleh sedang sibuk menyembelih gagak-gagak di depan halaman kontrakannya. Gagak yang kemudian ia ambil hatinya sebagai bahan utama pembuatan ramuan obatnya.

Saat Sanro Mati menghampirinya, Saleh memasang senyum basa-basi sebagai tanda kesopanan, lantas memicingkan mata seolah melihat sesuatu yang menyilaukan untuk menaksir sosok di hadapannya. Setelah sosok asing itu memperkenalkan diri, barulah ia tahu bahwa dia adalah Sanro Mati, orang pintar yang sering jadi rujukan penduduk untuk mengatasi berbagai persoalan.

Setelah mengenali sosok itu, Saleh meninggalkan pekerjaannya dan bergegas membersihkan tangan dari darah dan bau amis yang menempel.

Sementara Saleh sibuk, Sanro Mati mengamati bangkai-bangkai yang tergeletak, kemudian pandangannya ia alihkan pada gagak dalam sangkar yang bergelantungan di beranda.

Sayap gagak yang licin hitam pekat itu mengilap saat menerima sinar matahari yang lolos melalui celah rimbun bambu di halaman. Sangkarnya bergerak lembut diterpa angin yang ikut mendesirkan dedaunan.

Saleh kerap mendengar nama Sanro Mati disebut-sebut. Namun, ia belum pernah bertemu sosoknya secara langsung.

Saleh baru menetap di kampung itu selama kurang lebih sebulan. Ia meninggalkan kontrakan lamanya karena menganggap kurang membawa nasib bagus. Penjualan minyak hati burung gagaknya sepi pembeli.

Dari omong-omong tetangga, ia lantas percaya kesialan itu disebabkan setelah sebelumnya Saleh dua kali mendapati bangkai kucing hitam tergeletak kaku di halaman kontrakannya.

Sejak pindah ke kontrakan baru, pembeli mulai ramai. Itu membuatnya senang. Meski demikian, keadaan itu jadi ancaman bagi usaha Mail, salah satu penjual minyak hati burung gagak di kampung itu. Menghidupi lima anak dengan utang menumpuk tentu masalah berat bagi Mail. Kehadiran Saleh akan semakin mempersulit hidupnya. Mail merasa tersaingi dan mendorongnya untuk merencanakan sesuatu yang buruk untuk Saleh.

“Namamu Saleh, kan?” Sanro Mati membuka pembicaraan sesaat setelah Saleh membersihkan tangan.

“Betul, Sanro.”

Sanro Mati terdiam sebentar. Dari situ terdengar riuh kaok gagak yang saling bersahut-sahutan, kemudian sekali lagi ia mengamati sangkar-sangkar burung gagak yang bergelantungan di hadapannya. Di sisi lain Saleh tampak sudah tak sabar, hal apakah yang akan keluar dari mulut lelaki yang Saleh taksir berumur lima puluh tahun ini.

Hingga akhirnya, air muka Saleh sekelebat berubah, ketika Sanro Mati berkata, “sebentar lagi jiwamu akan lenyap.”

“Maksud Sanro?” wajah Saleh diliputi kebingungan.

“Kau tahu gagak-gagak ini? Mereka membawa serta arwah-arwah penasaran dan kamu dengan mudah mencabut nyawa mereka. Coba kamu bayangkan jika seseorang merenggut hal penting darimu?”

“Maksud Sanro? Saya tak paham.”

“Kau telah menghancurkan rumah arwah-arwah penasaran itu dan sebagai balasannya mereka akan mengambil nyawamu.”

Saleh ingin menyangga peryataan Sanro Mati jika selama ini tidak terjadi apa-apa dengannya. Namun, pikiran itu terhambat oleh pikiran lain tentang kepopuleran sosok yang berada di hadapannya ini. Ia bukan orang sembarangan. Ia adalah orang pintar yang sering jadi rujukan.

”Lalu apa yang bisa saya perbuat, Sanro?” wajah Saleh tampak diliputi mendung kekhawatiran.

“Setiap orang akan dimintai pertanggungjawaban kelak, begitupun yang kau lakukan dengan gagak-gagak itu. Kamu harus menerima balasan atas perbuatanmu.”

“Apakah Sanro tak bisa berbuat sesuatu pada arwah-arwah itu?”

“Tak ada yang dapat aku lakukan. Ini sudah di luar batas kemampuanku, arwah-arwah itu sudah terlampau marah dengan kelakuanmu, dan kamu harus tahu jika arwah-arwah itu sudah mengendap-endap di sekitar rumahmu, bersiap untuk mengambil nyawamu.”

Wajah Saleh berubah pucat. Ia menebarkan pandangan ke seluruh penjuru halaman, berusaha memeriksa arwah yang bisa ditangkap oleh penglihatannya, tapi tak ada sesuatu di situ. Kemudian dengan cepat pandangannya diarahkan kembali kepada Sanro Mati, dan dengan nada memohon ia berkata:

“Sanro! Tolong saya, Sanro! Selamatkan hidup saya.”

“Maafkan saya… tidak ada yang dapat saya lakukan. Terima saja itu sebagai akibat perbuatanmu. Untuk sekarang berhentilah melakukan hal buruk itu lagi. Para Arwah itu mungkin akan memaafkanmu.”

Sebelum melangkah pergi, Sanro Mati berkata, “terkadang, Tuhan tak melepaskan kita dari penderitaan, agar kita bisa mengambil pelajaran dari penderitaan itu.”

***

Beranda telah sunyi dari kaok gagak, setelah Sanro Mati meninggalkan halaman kontrakan Saleh. Sebentar kemudian, dengan perasaan takut, Saleh melepas satu-persatu burung gagak yang berada di dalam sangkar itu.

Saleh tidak henti-hentinya memikirkan ucapan Sanro Mati, siang malam pikirannya diliputi kabut ketakutan. Ketika segerombolan gagak bertengger di rumpun bambu dengan kaok bersahut-sahutan, Saleh bergumam.

“Jangan ambil nyawaku….”

Ia mengulangnya berkali-kali sampai segerombolan gagak itu pergi. Suara-suara itu terus mengusik kepalanya. Suara itu seperti terdengar berujar di telinganya, “akan kuambil nyawamu… sebentar lagi.”

Saleh selalu membayangkan bahwa ruh-ruh itu selalu mengawasinya, mencari kesempatan saat dirinya lengah. Seperti binatang buas yang sedang mengintai mangsanya. Kemudian arwah-arwah itu akan mencabut nyawanya seperti saat ia menghilangkan nyawa gagak-gagak itu.

Semakin hari kondisi Saleh semakin buruk, rambutnya acak-acakan, penampilannya kotor, tampak kurus dan cekung. Ia merasakan dengan pasti. Dan kepastian ini dari hari ke hari semakin meningkat, bahwa ada sesuatu yang akan terjadi padanya, dan akan terjadi dengan segera. Tidak ada yang bisa ia andalkan, Sanro Mati yang sering jadi rujukan saat ada masalah, pun tidak mampu berbuat apa-apa.

***

Matahari telah lewat dari ketinggian. Di langit tampak awan putih yang saling bertumpuk seperti kapas. Udara panas membuat orang lebih memilih berdiam diri di dalam rumah. Siang itu menjadi siang yang malang bagi Saleh. Sesaat setelah beberapa lama ia bergumam sendiri di beranda sambil memperhatikan sangkar-sangkar yang kosong. Saleh lantas pergi mengambil tali tambang, lalu masuk ke dalam kamar.

Setibanya di dalam, ia naik ke atas ranjang. Ia mengikatkan ujung tali tambang pada sebuah kayu yang melintang di situ. Kemudian ujung tali lainnya diikatkan di lehernya. Begitu ia merasa ikatan di lehernya sudah mantap, ia lompat dari atas ranjang. Seketika itu tubuhnya bergelantungan. Terus menggeliat, sebelum akhirnya mati dengan mata melotot.

Sepasang gagak berputar-putar dengan suara bersahut-sahutan di langit. Hinggap di rumpun bambu, berkaok-kaok tajam lalu pergi menjauh seolah telah menuntaskan tugasnya di tempat itu.

***

Di beranda rumahnya sore itu, kabar kematian Saleh terdengar hingga ketelinga Mail. Meski berlebihan, itu membuatnya senang, sebab tak ada lagi yang menyaingi usahanya. Mail memandangi gagak-gagak di dalam sangkar yang bergelantungan di hadapannya, berkaok-kaok menunggu ajal sebelum akhirnya menjadi minyak penghitam rambut di kepala yang penuh jaring-jaring kusut.

***

Editor: Ghufroni An’ars

Munawir Mandjo

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Dapatkan tulisan-tulisan menarik setiap saat dengan berlangganan melalalui email