absurddd~

Hari yang Di(putus) dan Puisi Lainnya

Aditya Yudistira

2 min read

hari yang (di)putus

ingatkah kau ketika, di penghujung nabi
tak henti mengumandangkan
hari akhir yang merindukan awal
awal yang selalu berpulang ke akhir.
meski muskil,
mohon tunggu sebentar.
tolong tarik lagi ingatanmu jauh sebelum itu.
saat tuhan (katamu) menciptakan hari terbaik
dari butiran cahaya matahari terbit.

dan aku adalah jumat yang tak diharapkan,
malapetaka yang selalu kau takutkan sejak dulu
yang kau pungut-masukkan ke dalam ransel penuh trauma
—sisi-sisinya pepat melebihi luas laut dunia—
yang tabah & pasrah dalam gelombang kata amuk asmara.
saat itulah, aku tak lagi meragu. sebab, sama halnya dengan yang kau tahu:
dirimu tak lagi terikat mengarungi cakrawala cinta penuh luka
(yang dibuang; terbuang; & membuang).

jiwa-jiwa hampa serta tubuh busuk beraroma doxa
terhisap-tertimbun dalam dasar tak hingga pasir derita.

dan aku adalah jumat yang meniupkan
angin barat dari selatan menuju pusat yang gagap & cepat
melemparmu keluar dari jeruji rumah;
menyanderamu dalam bebas-belenggu terali kerja.
hingga jiwamu muak-lelah-pergi-menyerah
pada cinta yang terlambat di gerbang sekolah
sedang tubuhmu makin pandai bermabukan-mabukan
dengan bu(a)lan-bu(a)lan oleng kasih sayang
persis ketika bibir & wajahmu tak henti memacu merah-bedak di hadapan cermin retak
tiap bayangnya memantuliku, berhamburan menguras dahaga hasratmu yang tertunda sejak dulu
pada suatu keasingan baru dalam permulaan hidupmu.

(2024)

diam-diam duka dibawa untuk meratapi kematian

di seberang sana—cinta—
perhalan habis dipanggang mentari
bertabrakan saling membenturkan diri
memadati sisi-sisi ruang paranoia
(tak beraturan, tak mengenal waktu)
mendiami dasar jurang roman penyesalan
pada deret panjang adimitos ke-tidak-mungkinan

dalam jiwanya semakin renta menjalani titik-titik hari
dalam putaran berjuta gila di langit-langit maaf
dalam serak jejak selubung bunga-bunga derita
yang tak pernah selesai
ketika berbuah lalu mati.

(2024)

kepada malam yang mengan(c/t)uk

kuserahkan
cintaku yang lapuk
dimakan windu
ditolak rindu
disumpahi asu
oleh orang baru
tiba-tiba jadi kesatu

di depan dadamu terpampang gamblang
“verboden voor honden en inlander!”

di dalam dadamu bersaksi:
“cinta jauh itu asu, aku mau bebas
bangun karir kerja kerja kerja
apa bedanya weekend dan weekday?
yang kutahu pulang tengah malam biar ada alasan
lebih aman sering diantar atasan. dia baik & lucu
bikin aku nyaman; ketawa sampe kuburan.
asam lambung-tifus, sembelit-kram, lemot-linglung,
mah, biasa. tandanya aku udah jadi dewasa. huh!”

kepalaku diam-diam berubah menjadi
neraca keuangan negara
yang gemar menimbang untung rugi
persoalan hujan yang turun
dari pagi ke pagi. deras-rintiknya memberi keajaiban
seperti: kaki-kaki dimodif jadi comberan
punggung remuk ditato daki
hati pedih sementara pergi
sibuk cegat air yang rembes ke hati
sebab, dia masih suka baca puisi
sampe pagi. bukannya tidur
malah nulis sambil nangis
mmmm, mengan(c/t)uk hati

(2024)

antinomi

di depan pagar rumah dari jauh
ke dekat bunyi musik mengalunkan
waditra angin-angin sunda pada
vokal yang terjebak dalam toa
motor bebek 2000-an. semakin dekat
napasnya semakin repetitif. aku mengawini takut dengan kalut.
ketika tak ada lagi jarak yang terpenggal
hanya sisakan keos bebunyian:
“tahuuu, tahuuu, tahu susu, tahu mengandung, tahuuu,
—tahu bakso, tahu bacok, tahu bacok, tahu bacok—”
aku menutup mata, berharap mata masih tertinggal di
mimpi yang panjang x lebarnya semakin melar.

(2024)

aku breakdown, maka aku breakdance

patah hati
hati-hati
hati patah
patah-patah
jangan lupa
akro pake
batik juga
sepatu futsal &
bokser kelas
bulu kok
ke kondangan
ketika ada
undangan pernikahan
masa depan
mengetuk pintu
kontrakan bulanan
pas-pasan
kami rindu
berswafoto dari
jauh ternyata
aku semakin
jauh sampai
aku cape
tiba di
bawah kolong
upah minimum
kota bin
tiarap menagih
sesuatu dari
lamunanku
(emang miris
lagi liris
meski bayar
pake qris)
—angka-angka
menghitung dirinya
yang tak ada—
“hmmm…
kira-kira
boleh bayar
pake freestyle
nggak, kak?”
ucapnya ambil
pose 1/2 windmill.
air mukanya
tak
lagi
mangkir
dari
banjir (99x)

(2024)

unbalinese postmo ii

arak bali dioplos rindu tanpa bekicep
lapar-lapar mendera urat kaki epigon
terseok membopong angin berkepala ingin:
satu bhuta kala lepas dari pangkuan,
mengendap-endap mendiami punggung
leluhur yang belum tuntas mempelajari moksa
sebab lahir menjalani derita di tepian bibir hampa.

bentangan dupa tak lagi menghitung dirinya
secara ganjil. sisa-sisa abu jilatan dipungut
di hadapan seleret canang sari yang tersaji
demi dewata pemberi imbang vibrasi.

sedang di legian, segala ada menampakkan dirinya
secara vulgar. tawar dan menawar masih dirantai sibuk
menggerutu pada trotoar saat langit berwajah magenta.
daun-daun pintu berbisik, “one mill get 3 small tattoos”
sikerei tersenyum; memejamkan mata, memaku tubuhnya
yang kerontang dari angka dewasa dalam gulungan ombak
—lalu di mana ombak yang berbaring di belakang rumahku?—

tak jarang aku dipukuli rindu
berselancar di kedalamanmu yang remuk:
menggurat garis bujur untuk lajur mentari pulang,
menebus bulan-bulanmu yang basah dan resah.

(2024)

*****

Editor: Moch Aldy MA

Aditya Yudistira

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Dapatkan tulisan-tulisan menarik setiap saat dengan berlangganan melalalui email