Mengenang kembali masa kanak-kanak untuk sekadar bernostalgia ternyata dapat membuat seseorang menjadi lebih tenang dan gembira. Bahkan, untuk beberapa kasus, bisa membantu seseorang memikirkan hal-hal positif tentang masa depan. Setidaknya, itulah yang disimpulkan oleh Peter Kinderman, seorang profesor Psikologi Klinis di Universitas Liverpool, dalam penelitiannya pada 2018 silam.
Pernyataan itu diam-diam saya amini ketika membaca kembali Majalah Bobo di usia yang sudah menginjak kepala tiga. Entah kapan terakhir kali saya membaca majalah anak-anak yang mengusung tagline “Teman Bermain dan Belajar” itu. Satu hal yang saya ingat persis, dulu saya membaca Bobo dalam bentuk kemasan majalah bekas yang sudah dibundel untuk beberapa edisi. Memang menyenangkan kalau diingat-ingat.
Baru-baru ini, tepatnya di pertengahan tahun 2023, Bobo telah merilis Edisi Koleksi Terbatas 50 Tahun Majalah Bobo yang berisi 100 halaman dengan 50 cerita terbaik sepanjang masa—seperti yang tertera di sampulnya. Sayangnya, majalah edisi 50 tahun ini hanya berisi cerita bergambar (cergam) saja, tanpa ada rubrik cerpen dan juga pengetahuan umum seperti edisi terdahulu. Namun, saya tetap harus berbangga diri. Sebab, edisi ini telah resmi menjadi Majalah Bobo pertama yang saya beli dengan uang sendiri.
Menilik Sejarah Majalah Bobo
Majalah Bobo versi Indonesia pertama kali dirilis pada 14 April 1973. Kenapa saya sebut versi Indonesia? Karena majalah ini pada mulanya adalah hasil adaptasi dari majalah Bobo versi asli yang terbit lebih dulu di Belanda.
Dalam edisi awal yang dirilis di Indonesia, Majalah Bobo sudah langsung memuat cerita bergambar Keluarga Kelinci yang dulunya hanya konten khusus anak-anak yang dimuat dalam Harian Kompas pada 1965. Ialah P.K. Ojong dan Jakob Oetama, duo pendiri Kompas Gramedia, yang punya gagasan untuk mengembangkannya dalam bentuk majalah utuh.
Dengan harga dua puluh rupiah, pada awalnya Majalah Bobo hanya berisi 16 halaman kertas koran dengan warna hitam-putih—sebelum akhirnya Bobo menjadi majalah anak-anak pertama yang berwarna di Indonesia. Sebagian kontennya disadur dari Majalah Bobo versi Belanda yang sudah diterjemahkan, lalu sebagiannya lagi meneruskan rubrik khusus anak-anak pada Harian Kompas.
Seiring perkembangannya, Majalah Bobo pun selalu tampil beda mengikuti arus tren di kalangan anak-anak. Seluruh artikelnya juga disajikan dengan gaya rekreatif dan tetap konsisten mengusung visi yang sama, yaitu menjadi teman bermain dan belajar.
Minimnya Akses Bacaan Anak-Anak
Harus diakui, Majalah Bobo mungkin pernah menemani masa kecil sebagian besar anak-anak generasi 90-an. Meski tinggal di kampung, saya bersyukur sempat memperoleh privilese bacaan ‘bergizi’ yang layak dikonsumsi anak-anak, meskipun hanya bermodal Majalah Bobo bekas hasil lungsuran dari keluarga di kota yang perlu beberes isi rumah.
Menjadikan 50 tahun usia Majalah Bobo sebagai momentum bernostalgia sebetulnya adalah sebuah ironi yang sulit dihindari. Bagi sebagian orang, mengenang Majalah Bobo sama saja artinya dengan mengingatkan mereka atas sulitnya akses terhadap bacaan, terutama bagi kalangan anak-anak yang lahir dan besar di pelosok desa yang jaraknya ratusan kilometer dari pusat kota.
Mau tidak mau, kita harus sepakat bahwa rendahnya tingkat literasi masyarakat Indonesia tidak hanya berkaitan dengan kurangnya minat baca, tetapi juga soal ketersediaan akses terhadap bahan bacaan itu sendiri. Kita pun harus menerima fakta bahwa keberadaan toko buku atau perpustakaan daerah masih relatif sedikit atau malah tiada. Ironisnya, fenomena semacam ini masih pula terjadi sampai sekarang.
Jelas tak mengherankan apabila hasil penelitian tiga tahun terakhir Programme for International Student Assessment (PISA)—yang diakui sebagai benchmarking internasional untuk kualitas pendidikan—menunjukkan bahwa minat baca anak-anak Indonesia berada di peringkat ke-62 dari hasil survei 72 negara di dunia.
Maka, beruntunglah anak-anak generasi Y (milenial) dan generasi Z yang lahir dan tumbuh besar di wilayah perkotaan, serta memiliki orangtua yang hobi berlangganan Majalah Bobo ataupun buku bacaan anak lainnya. Sebab, itulah salah satu jalan terang untuk membangun kebiasaan gemar membaca sejak dini.
Baca juga:
Jadi, sembari bernostalgia dengan Keluarga Bobo, Bona Gajah Kecil Berbelalai Panjang, Deni Manusia Ikan, Juwita dan Si Sirik, Pak Janggut, Paman Kikuk, dan Cerita dari Negeri Dongeng, entah kenapa saya justru memutar kembali memori dengan teman-teman sebaya saya semasa kecil.
Apakah mereka juga sempat membaca Majalah Bobo seperti saya? Atau, alih-alih punya kenangan emosional, jangan-jangan mereka justru tidak pernah tahu Majalah Bobo itu seperti apa?
Editor: Emma Amelia
Majalah Bobo tidak saja menemani generasi yg lahir tahun ’90an …
Tp lebih jauh lagi, telah menemani generasi yg lahir sejak pertengahan ’60an.
Terbit pertama tahun 1974, anak² TK & SD pd masa itu menyambut Bobo dg gembira …
Kegembiraan itu diteruskan seterusnya kpd generasi selanjutnya, krn, menurut saya, Bobo berhasil tetap terus menjaga kualitas konten majalahnya.
Saya termasuk generasi yg lahir pd pertengahan tahun ’60an.
Masa itu, negara kita sedang sangat sulit keadaan ekonominya.
Booming minyak tahun ’70an membuat perekonomian lebih stabil & baik.
Peningkatan kemampuan ekonomi ini diikuti dg peningkatan daya beli sebagian masyarakat, shgg alokasi dana utk membeli buku bacaan tersedia, termasuk membeli majalah …
Bobo Indonesia tumbuh awal pd masa seperti itu, dan berhasil memberikan banyak hiburan & pengetahuan bagi jutaan anak Indonesia, tentu juga bersama majalah anak² & remaja yg lain.
Tp peran Bobo pastilah termasuk yg penting.
*Bobo terbit pertama kali tahun 1973