Daftar Nama
Izrail terbang mengelilingi negara
yang dilanda pagebluk
dengan sepiring tugas dari Tuhan
dan daftar nama di catatannya
“Aku sedang sibuk,”
katanya ketika ditanya malaikat lain
mengapa gerangan
ia membawa baki-baki kosong
untuk mewadahi jiwa-jiwa
yang dijadwalkan Tuhan untuk
segera pulang
Ia hinggap di atap-atap rumah,
di kamar-kamar rumah sakit,
di jendela-jendela orang miskin,
di pintu-pintu ambulans,
dan memutar, melayang-layang
di antara kerumunan orang-orang
kaya yang sibuk berpesta
atau kursi-kursi dari kayu mahal nan mengilap
pemimpin yang berfoto dengan bahan pokok
di sebelah nenek tua renta
Sambil bergumam Izrail geleng-geleng kepala
melihat lautan manusia
tumpah ruah di jalanan
katanya merayakan kebosanan
Tikus-tikus pencuri tampak mulai menyerbu
lumbung padi
memotong anggaran bantuan
dengan serakah, tak punya hati
“Istirahatlah sebentar,”
kata Tuhan
Seolah paham jika ia
telah bekerja lembur meski
tidak seperti
buruh murah tak berpendidikan yang
dimanfaatkan maling bertoga
Namun ia kukuh menelusuri
tiap-tiap sudut dunia agar
para setan berhenti meledeknya
dengan konspirasi murahan
dan omong kosong berita bohong
“Aku bersahabat dengan kematian,”
jawabnya ketika masjid-masjid
mulai serempak membuat
pengumuman kematian
sehari tiga kali seperti minum
obat atau bahkan lebih
Tuhan angguk mengerti
lalu membiarkannya mulai mencatat
nama-nama dan menambah lagi
daftar panjang PR-nya
–
Hari Buruh
Kataku dalam sebuah percakapan,
“Ini tempat di mana
pemuda-pemudi jadi gelandangan
di negeri sendiri.”
Lalu orang asing bertanya, “Wahai, di
manakah negeri itu bertempat?”
“Di antara lakon penting dunia,
yang memecah khatulistiwa jadi dua,”
kujawab sekenanya karena
nyata adanya
Di sana semua kepala
sibuk berlomba
mengejar puncak strata
Yang tua ricuh berebut lahan kuasa
jadi orang masyhur, jadi orang besar
tapi tak pelak terjerembap
di kubangan dosa
Mengulang rotasi menjahit
benang-benang kusut rakyat
perihal nasib dan pekerjaan
“Harusnya kalian siap dieksploitasi,”
si cukong berujar sangsi
Mereka melawan dengan aksi
lantas dihujam beragam sanksi
“Sudahlah! Ini rezim tanpa arah!”
seru mereka jengah. Tanpa tahu buat apa
berjuang berlelah-lelah
“Negerimu paling kompak dalam
memberontak,” komentar seorang botak.
Dari negeri yang ladang turbinnya sejuta petak
Kemudian aku tergelak
mengamati pejuang yang mati tergeletak
“Sudahlah, Nduk.”
Perempuan paruh baya itu menunduk
sambil tangannya sibuk mengaduk
produk industri sambil terkantuk-kantuk
Sebelum teplok dipadamkan
Bapak mematikan keran
lantas sembayang di beranda
“Selamat hari buruh,” racaunya
di malam yang berantakan
–
Doa Perempuan yang Tertidur di Trotoar
Jam enam pagi kurang lima menit
Lampu-lampu sudah didiamkan
Embun sudah turun dari dedaunan
Mengawal petani dan anak-anak menuju tuk bumi
Berlarian telanjang kaki
Sementara di sudut kota
tergolek perempuan di atas trotoar
Keringat dan bau sisa malam yang panjang
lepek terbawa angin
Dalam lelap yang hitam
harga diri dan kehormatan
tertinggal di bawah bayang-bayang
Jam enam pagi
Terdengar riuh langkah yang tergesa
Mereka kembali menembus belantara
Tubuh-tubuh berselimut kerisauan
menembus kebisingan kota
yang bisa menemukan jalan pulang
Semoga matahari berhenti tenggelam
Tutuplah ufuk barat
Jangan biarkan bulan sendiri
Jangan biarkan dia pulang
Perempuan itu berbisik lirih
sendirian. Di atas trotoar yang berantakan
Doa-doa sederhana yang masih ia hapal
dengan tersengal ia benamkan
dalam bau sampah jalanan
–
Sajak Kuli Tinta
/1/
Kulihat wajah negeri
babak belur dihajar oligarki
Tubuhnya luluh penuh peluh
darah merah segar luruh
melewati kali-kali penuh tai yang keruh
Napasnya habis nyaris koit
tercekik bau amis mulut-mulut anggota dewan
dan janji-janji mereka soal kesejahteraan
Indonesia sedang sekarat
kutatap dinding-dinding sekolahan tak bersekat
yang nyaris roboh digigiti rayap, ditinggali ngengat
/2/
Kartini-kartini yang dibungkam
diperkosa binatang di atas tilam
Protes-protes terpelajar hilang di udara
tertelan akrobat politik yang bikin mengikik
Podium dipenuhi guruh-gemuruh orasi
katanya, merayakan demokrasi
Padahal ibu-ibu masih sibuk menangisi
anak-anaknya yang kurang nutrisi
Indonesia penuh kontradiksi
kita bisa saja jadi gelandangan di
negeri sendiri
/3/
Jika aku boleh meminjam tangan Tuhan
untuk menulis beragam persoalan
Maka aku akan membabi buta para
konglomerat-konglomerat dan mafia
juga cukong-cukong yang hanya bisa
kejam pada orang kecil
Apabila Tuhan mengizinkan, aku akan
menuangkan tinta pada lembaran-lembaran
bukti dan perkara agar hukum tidak
dapat diperjual-belikan
/4/
Tuhan, sudikah kiranya Kau
bermanifestasi dalam diriku?
Namanya Adil
Ayahmu mengenakan kaus partai
dan mengayuh becak delapan belas
jam sehari
Ibumu kecut mandi keringat
mencuci baju tetangga ke
tetangga lain
Kamu sarapan air putih
nasi tabur garam atau kerupuk
dengan kecap
Temanmu berangkat bersama
Marcedes keluaran terbaru dan sepotong
roti yang terselip di belah bibirnya
yang merah-merona
“Kalau mau berprestasi ya harus
giat belajar sepertiku!” dendangnya di
suatu kompetisi bergengsi
Kamu menatap nyalang buku baru
dan brosur bimbingan belajar bergengsi
dari genggaman tangannya
“Sebulan dua juta, Pak,” katamu
di suatu gelaran makan malam
sederhana dengan mi instan
yang ibu utang di warung sebelah
“Dua juta duit dari mana, Le?”
Kamu tak berani menatap kerut
di dahi ayahmu yang kian hari
kian terlihat jelas dan gurat sayu
ibumu yang kian hari
kian semakin menyiksa
Kamu merobek brosur itu
lantas mengubur cita-citamu
dalam setumpuk kenyataan
Kadang-kadang kamu ingin marah
pada keadaan, pun nama pemberian
ayah dan ibumu yang
jadi seperti lelucon di kemudian hari
“Namaku Adil,” ucapmu
sambil menjabat tangan temanmu
yang dilingkari jam tangan mahal
keluaran terbaru