Menulis musik dan beberapa pernik-pernik budaya populer lainnya

Surat Lintas Waktu dalam Toko Kelontong Namiya

Kukuh Basuki

4 min read

Pada umumnya mesin penembus waktu dalam cerita fiksi digambarkan dengan sebuah aperangkat canggih. Komponennya sangat rumit dan terhubung dengan teknologi digital. Namun, bagaimana jika sebuah toko kelontong yang sudah bertahun-tahun tutup dan tidak berpenghuni berfungsi sebagai ‘mesin waktu’? Inilah salah satu sisi unik novel Keajaiban Toko Kelontong Namiya karya Keigo Higashino.

Novel bergenre fantasi ini sebenarnya mempunyai alur yang rumit. Namun, kerenyahan bahasa yang digunakan Keigo Higashino membuat cerita yang mempunyai banyak tokoh dan latar tempat ini menjadi mudah diikuti. Perpindahan lanskap peristiwa yang tiba-tiba justru membuat cerita dalam buku ini tidak membosankan.

Sinopsis

Kisahnya dimulai ketika sekawanan pencuri; Atsuya, Kohei, dan Shota menyelinap di sebuah toko kelontong kosong tak berpenghuni. Mereka berniat bermalam di situ sambil menunggu matahari terbit setelah mobil yang mereka gunakan mogok. Mereka tidak mempunyai rencana lanjutan. Menginap adalah satu-satunya hal yang mereka sepakati untuk menghindari kecurigaan masyarakat sekitar di malam itu yang bisa saja melaporkan aksi mereka ke polisi.

Mereka mulai merasa kejanggalan toko kelontong itu ketika ada satu surat masuk dari celah rolling door yang sepertinya memang sengaja diberi lubang seukuran amplop surat dan di bagian bawahnya diberi kardus tempat menampung surat-surat yang masuk. Mereka heran, siapa yang malam-malam rela naik bukit menuju toko kelontong itu untuk memasukkan sebuah amplop surat. Mereka juga sama sekali tidak mendengar suara langkah kaki atau apa pun yang menandakan ada orang selain mereka di toko itu.

Mereka pun membuka surat tersebut dan membaca isinya. Surat pertama adalah dari seorang atlet profesional Jepang cabang olahraga anggar yang sedang bimbang apakah ia harus menuruti saran pacarnya untuk terus berlatih dalam mempersiapkan seleksi olimpiade atau malah berhenti latihan untuk menemani pacarnya yang sakit dan didiagnosa akan segera meninggal dalam waktu dekat. Terjadilah perdebatan hebat di antara mereka bertiga, apakah harus menulis surat balasan ataukah membiarkan saja, karena niat mereka di sana hanya bersembunyi untuk semalam. Jika tidak membantu, maka mereka membiarkan seseorang sendirian kebingungan menghadapi persoalan yang sulit. Sebaliknya, kalau mereka membalas surat tersebut, mereka harus bersusah payah berpikir untuk memberikan jawaban terbaik pada orang yang sama sekali tidak ada hubungannya dengan mereka. Sebuah pergulatan batin yang membuat kawanan pencuri tersebut menunjukkan sisi empati sebagai sesama manusia.

Dari surat kabar terbitan lama yang mereka temukan di toko itu mereka baru tahu kalau tempat itu bernama Toko Kelontong Namiya. Nama itu diambil dari nama kakek pemilik sekaligus penjaga toko tersebut. Dari surat kabar itu pula mereka memahami bahwa toko tersebut juga memberikan kesempatan bagi pelanggannya untuk melakukan sesi tanya jawab atau meminta saran kepada Kakek Namiya ketika mereka menghadapi kesulitan hidup dan dihadapkan pada pilihan-pilihan yang sulit. Adanya informasi tersebut membuat mereka bertiga yakin kalau surat yang datang tersebut tidak salah alamat.

Kakek Namiya memberi kesempatan untuk memasukkan surat melalui celah pintu gulung yang sengaja dibuatnya agar orang dapat meninggalkan suratnya ketika toko tutup. Selanjutnya Kakek Namiya akan memberi jawaban dari setiap surat yang diterima dan memasukkannya dalam kotak susu di belakang toko agar bisa diambil keesokan harinya.

Berbekal informasi tersebut para pencuri itu pun berniat menggantikan peran Kakek Namiya sekalian mereka menunggu matahari terbit. Anehnya hanya dalam satu detik setelah mereka meletakkan surat balasan di kotak susu, surat itu langsung lenyap dan segera muncul surat balasan melalui pintu depan. Awalnya mereka merasa dipermainkan. Namun, mereka akhirnya menyadari bahwa mereka berada pada dimensi gerak ruang dan waktu yang berbeda ketika berada di dalam toko tersebut.

Surat itu dikirim dari era yang jauh sebelum era sekarang, lebih tepatnya era ketika Kakek Namiya masih aktif menjaga tokonya. Mereka pun mulai menjawab satu per satu surat yang masuk dan melayani pertanyaan lanjutan apabila penanya belum puas dengan surat jawaban atau sekadar ingin mempunyai seseorang yang mendengarkan keluh kesahnya.

Pribadi Kakek Namiya sendiri diceritakan secara mendetail di bab tiga. Kakek Namiya dikenal ramah dan orang-orang sering memberi pertanyaan-pertanyaan sederhana yang ditempel di papan depan toko. Suatu hari ia mendapatkan pertanyaan yang sangat serius dan bersifat rahasia. Sejak saat itulah ia membuat metode baru agar pengirim surat terjaga privasinya, yaitu dengan membuat lubang di pintu depan sebagai tempat surat masuk dan menggunakan kotak susu di belakang toko untuk meletakkan surat balasannya.

Isi surat mereka bervariasi. Ada seorang mahasiswa yang mendapatkan kebimbangan untuk melanjutkan karir musiknya atau melanjutkan usaha milik orangtuanya; ada seorang remaja yang meminta saran ketika diajak kabur oleh orangtuanya yang bangkrut untuk menghindar dari para penagih hutang; hingga keluh kesah seorang hostes yang membutuhkan saran untuk menata hidupnya.

Sebelum Kakek Namiya meninggal, ia meninggalkan permintaan kepada anaknya untuk membuka lagi sesi tanya jawab tiga pulu tiga tahun kemudian. Hal itu dilakukan Kakek Namiya untuk sekadar mengetahui bagaimana hasil dari saran-saran yang diberikan Kakek Namiya kepada para pengirim surat tersebut. Permintaan yang menurut anaknya sangat janggal lainnya adalah sehari sebelum meninggal Kakek Namiya juga ingin diantarkan ke Toko Namiya untuk mengecek jika saja ada surat yang masuk hari itu.

Tak disangka pada hari terakhir itu banyak sekali surat yang masuk. Surat-surat itu banyak berisi ucapan terima kasih kepada Kakek Namiya yang karena saran-sarannya, mereka bisa menyelesaikan permasalahannya, menemukan jalan hidupnya atau setidaknya dapat memahami dan berdamai dengan masa lalunya. Setelah membaca semua surat dari masa depan dan membalas satu surat kosong dari ketiga pencuri, Kakek Namiya merasa senang karena itu artinya anaknya benar-benar menepati janjinya untuk melakukan apa yang diwasiatkannya di masa depan. Kakek Namiya merasa tugas-tugasnya sudah selesai dan siap untuk beristirahat dengan tenang selamanya.

Kreativitas Cerita

Banyaknya tokoh yang ada di cerita ini tidak menghilangkan detail dan kedalaman cerita. Keigo Higashino dengan cermat mengembangkan karakter tiap tokoh sehingga hampir semua tokoh mempunyai andil dalam membangun cerita. Setiap bagian cerita juga diberi benang merah sehingga saling berkaitan antara cerita satu dengan lainnya.

Novel ini juga kaya akan catatan sejarah Jepang yang jarang diketahui khalayak umum. Dari kisah tokoh-tokohnya kita bisa mengetahui tentang sikap Jepang memboikot Olimpiade 1980 di Rusia, inflasi dan gelembung ekonomi Jepang pada awal tahun 90-an, hingga dua lagu Monkey Magic dari Godiego dan Itoshi No Ellie dari Southern All Stars yang populer di Jepang pada pertengahan tahun 70-an.

Alur maju mundur dan lompatan-lompatan waktu juga membuat novel ini terlihat canggih. Keigo Higashino mengajak pembaca turut merasakan perdebatan yang terjadi di kalangan filsuf dan ilmuwan tentang hakikat waktu. Apakah waktu itu berjalan statis atau dinamis? linier atau sirkuler? serial atau paralel? Sebuah pertanyaan yang masih sulit dijawab dan butuh banyak sekali uji pembuktian yang diawali dengan penalaran logis. Novel ini menawarkan salah satu dari kemungkinan hakikat waktu tersebut.

Dan terakhir yang paling menyentuh dari buku ini adalah konflik batin antara anggota keluarga yang sering kali terjebak dalam kesalahpahaman. Kegagalan komunikasi tidak hanya disebabkan karena keegoisan, tetapi juga perbedaan gaya bahasa, gap generasi dan semangat zaman. Keigo Higashino dalam novel ini menegaskan bahwa tidak ada formula, rumus, atau jalan emas dalam menyelesaikan semua permasalahan hidup. Setiap orang punya jalan kreatifnya masing-masing, di mana Kelontong Namiya hanya berperan sebagai rekan bertukar cerita dan pendengar untuk membantu menemukan jalan tersebut dalam diri masing-masing.

***

Editor: Ghufroni An’ars

Kukuh Basuki
Kukuh Basuki Menulis musik dan beberapa pernik-pernik budaya populer lainnya

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Dapatkan tulisan-tulisan menarik setiap saat dengan berlangganan melalalui email