Rias Bahasa
aku mulai bosan membaca sejak tidak menemukan apa yang ingin kubaca. aku mulai bosan membaca dan memutuskan menaruh kata-kata di kotak perhiasan. dengan harapan bila begitu, di situ, kata-kata terangkai, menyatu, menjadi apa yang ingin kubaca. aku butuh satu tulisan yang menangkap banyak suasana. maka aku menaruh kata-kata ke kotak perhiasan. menjadi kesadaran demi kesadaran demi kesadaran yang bertalian. kata-kata itu berpantulan antara materiil-spirituil. kata-kata yang memuat koentji-koentji yang terpisah tetapi membuka pintu yang sama. aku mencampur resep frasa yang kuambil dari pustaka alam bawah sadarku, renunganku, mimpiku: wangi ketiadaan. ayunan pendulum. makna dalam lakuna. perasaan becek-becekan. cermin portal. kakek pisces. sayatan tak kasatmata di otak. gejolak perawan. fantosmia. pameran jiwa. titik-titik sensitif. not-not bioritme. napas buatan. sukma susu. hati berlapis plastik gelembung. mekanisme rohaniah. mandi sebagai aktivitas lahir kembali. mimpi sebagai mesin aduk. tangan fantastis. tekstur rumit. tatapan tepi laut. rahasia-rahasia hutan. rahim bersama. segala tentang antara. beribu dimensi di antara. ada mikrokosmos di antara. dan lain-lain. dan lain-lain. aku mengolaborasikan kata-kata dari berbagai sumber terpercaya dan menciptakan alkimia kata, pemuisi kolam selofan nilakandi dan buku-buku berbahasa indonesia yang belum ada. aku ingin membeli buku seperti membeli printilan-printilan bling-bling—hanya saja ada makna di setiap maniknya.
–
Khidmat Kewanitaan
ruang rias berdenyar oleh
aura ambigu perempuan yang bercermin beberapa menit lalu
dan udara berat mulutnya
bekas pantulan bercendawan di cermin
sudah hilang dan tergariskan kembali
oleh presensi lain;
ia mengerjap-ngerjap dan ditemukannya
iris berselaput bagai puding kotor
bercermin itu—sekilas meditasi di tengah hiruk-pikuk:
belah dua diriku lewat kaca, barangkali aku akan terbagi menjadi sepetak isolasi dan keramaian bunga beracun. patahkan aku sampai serpih dan lihat bagaimana kesepian-kesepian kecil itu bergumul menuju genggam tanganmu.
–
Prokaca
aku profesional dalam berkaca. sebab aku rawan pudar dan kedaluwarsa, kugosok keseluruhanku sampai transparan, persen transparansiku dan kaca berlomba-lomba. abai sempurna terhadap antrian, aku sibuk mendalami lekuk dan titik violet yang menyala-nyala di setiap tonjolan tulang. bila aku menoleh, aku akan mendapati waktu mencoba melahapku. sekali kerlap aku cemerlang dan sekali kerlip aku hilang, dan aku tersenyum ketika tidak lagi melihat diriku di kaca
–
Pencari Sensasi di Balik Pintu Kamar
kutemui sepasang tangan dari bawah dunia
melalui denyut-denyut beledu
tangan-tangan itu merambat menuju inti diriku
lalu mereka menghujani ribuan sentuhan kecil eksperimental,
persis riak yang bernyawa.
/
aku akan mengantarkanmu ke Antah-Berantah
kupersembahkan semuanya padamu:
keputihanku, mutismeku.
/
berpangku tangan, berpikir dahsyat, menulis,
dengan kekuatan kantuk.
/
aku terantuk-antuk
suasana ini mengingatkanku pada
sampul album Kate Bush
dari kibaran gaun
bermunculan tokoh-tokoh dongeng
menggembung, merangkai mikrokosmos lebih besar dari diri.
–
Jangan Bilang Siapa-Siapa
rupanya aku rindu keanehan. rinduku mengerdilkan diri, menyelip ke sela bra, semayam di sana sepanjang hari, lalu menyelip ke sela-sela jemari saat hendak kugeser pengaitnya. rinduku merebak antara kronologi gestur, dalam itu vibrasinya mengilhami tulang-belulang, lemah gemulai, siap memulai, mulai bertanya-tanya mesti ke belahan bumi mana dibawa keanehan ini, begitu gatal menghamburkan bercak-bercak keanehan pada jejak-jejak eksistensi.
*****
Editor: Moch Aldy MA