Dua hari berlalu setelah kematian sahabatku Amir. Aku masih merasa janggal perihal kematiannya yang mengenaskan. Aku hanya melihatnya dalam berita di media sosial yang sedang viral. Katanya ia mencuri pengeras suara di rumah ibadah, tapi setahuku Amir tak akan pernah melakukan hal setega itu. Meski ia juga manusia biasa yang tak luput dari kekhilafan, tetapi setelah kuingat-kuingat lagi—apa iya, Amir yang kukenal santun dan pekerja keras ini melakukan tindakan sehina itu? Mencuri di rumah Tuhan tanpa takut ketahuan jemaah? Dan kalaupun berhasil luput dari pandangan jemaah, apa betul dia berani mencuri dengan terang-terangan tanpa ketahuan Tuhan?
Aku sangat mengenalnya dengan baik. Kami pernah satu indekos waktu kuliah. Ia mengambil jurusan Teknik Mesin dan aku jurusan Ekonomi. Kami menghabiskan waktu bersama cukup banyak sebab ia tak aktif di kampus dan aku juga demikian. Kami jenis mahasiwa yang kuliah saja tanpa memedulikan organisasi. Satu yang kuingat dari Amir selama kuliah, ialah sikap tanggung jawab dan pekerja kerasnya. Ia tak ingin membuang-membuang waktu di saat ada pekerjaan, dan yang terpenting lagi jika Tuhannya memanggil ia dengan sigap bergegas. Ia tak pernah terlambat beribadah. Sewaktu aku tanya kenapa ia bilang, “Ton, saya selalu mau dilihat Tuhan di saf paling depan, jadi kalau saya memohon sesuatu pasti aku langsung dikenalnya.”
Aku menatapnya dengan mimik antara senyum dan bingung. Sayangnya Amir tak lulus kuliah, saat semester akhir, ia tak lagi mampu membayar uang SPP. Aku juga tak bisa banyak membantu waktu itu sebab aku juga seorang perantau. Ia terpaksa berhenti. Ia orangnya tak gampang patah dengan persoalan dunia sebab ia selalu punya tempat kembali. Itu yang selalu menjadi nasihat yang diberikan kepadaku saat aku punya masalah yang tak mampu aku hadapi.
Kita berpisah. Akhirnya Amir meninggalkan aku sendirian di kos. Ia pamit pulang kampung. Amir berujar kepadaku “Ton, aku pulang dulu. Nanti kalau ada waktu kita pasti ketemu lagi. Oh, iya satu lagi. Kalau punya masalah jangan berharap sama manusia kalau tak mau kecewa, tapi kembalilah ke Tuhanmu sebab ia selalu tahu caranya untuk menenangkanmu.”
Aku menatapnya nanar. Seandainya aku tak mau dibilang cengeng, sudah pasti air mataku mengguyur bagai anak kecil yang ditinggal ibunya. Aku dan Amir adalah saudara meski lahir dari rahim ibu yang memiliki keyakinan berbeda. Ia sudah kuanggap kakak sendiri. Sungguh pikiran dan ingatan ini menjelma mata pisau. Ia mencoba membunuhku berkali-berkali, tapi aku pantang mati sebab ada yang perlu diluruskan. Amir bukan pencuri!
Aku yakin Amir yang kukenal bukanlah pencuri meski berita yang kudapati menjadikannya tokoh antagonis. Itu yang selalu mengisi malam-malamku setelah kepergiannya hingga di suatu malam yang tak terduga. Aku terbangun di suatu tempat yang sangat terang dan kerumunan orang yang membentuk barisan yang panjang. Di ujung barisan itu terdapat pintu bertuliskan Ruang Pertanggungjawaban. Aku melihat ke kanan dan kiri semua orang menampakkan mimik yang datar berjalan tanpa sepatah kata. Hal itu membuatku keluar dari barisan dan mulai berjalan untuk mencari tahu apa yang sedang terjadi. Dan tiba-tiba seseorang menepuk pundakku.
“Anton!”
“Amir!”
Kami serentak menyebut nama masing-masing dengan gerakan lengan yang bersamaan memeluk. Pelukan dengan penuh haru. Setelah pelukan itu selesai dengan sigap aku menanyai Amir perihal di mana kami sekarang. Amir juga tak tahu jawabannya. Ia juga berada di sini baru dua hari yang lalu dan antrian namanya belum sampai. Lalu kami berjalan mengelilingi ruangan yang sangat luas seakan melihat lautan yang tanpa batas. Setelah lelah berjalan dalam ruangan tanpa batas itu kami pun duduk di sela-sela antrian panjang orang-orang yang berada di samping kanan dan kiri kami.
Aku menyimpan rasa penasaranku tentang tempat ini. Aku tiba-tiba teringat kematian Amir yang mengenaskan itu. Dan itu lebih membuatku penasaran.
“Kenapa kematianmu bisa begitu, Mir?”
Ia terkejut dan menatapku cukup lama–sekitar satu menit tanpa ekspresi lalu ia merapikan cara duduknya. Ia duduk bersila dan mulai bercerita.
“Aku tak tahu apa yang sebetulnya terjadi. Aku hanya seorang tukang servis barang elektronik saja. Setelah tak lulus kuliah aku memutuskan untuk menikah dan membuka usaha kecil-kecilan servis barang elektronik. Waktu itu aku dapat orderan untuk memperbaiki pengeras suara dari salah seorang teman. Dengan senang hati aku bergegas mempercepat langkah untuk segera datang menjemput barang tersebut. Setelah dari sana jam sudah menunjukkan pukul tiga lewat, kebetulan Tuhanku memanggil seperti biasa. Aku harus menghadapnya lima kali dalam sehari dan aku tak boleh luput untuk menemuinya bahkan untuk sekali saja. Aku turun dari sebuah motor bebek tua dan lekas masuk, tetapi firasatku tak enak, pikiran negatif merasuki kepalaku, aku membaca surat-surat pendek dalam salatku lalu sesegera mungkin berbalik dan mempercepat langkah keluar untuk mengamankan pengeras suara yang kutinggal di atas jok motor. Namun, di sinilah cerita paling buruknya. Aku menangis bukan karena kematianku yang sudah kutahu pasti akan terjadi, tetapi orang-orang yang tidak bersalah dengan dalih membela barang di rumah Tuhan memburuku bagai binatang liar yang sedang masuk dalam perkotaan yang mencari makan anak manusia.
Salah seorang anak remaja berteriak pencuri pada saat aku sudah pamit kepada Tuhanku. Tiga langkah dari motorku, satu pukulan dengan sangat keras menghantam kepalaku. Pandanganku menjadi dua tapi untung belum terjatuh. Aku berbalik, wajah orang-orang di sekitarku seperti melihat lelaki yang membawa lari anak perempuan mereka. Aku tak tahu dengan spontan aku berlari saat dikejar. Barangkali manusia memang begitu. Kekuatan untuk bertahan hidup dengan sendirinya akan keluar ketika dihadapkan pada situasi yang mampu merampas nyawanya. Aku tak dibiarkan memberi penjelasan, bagaimana pula aku menjelaskan dengan mulut yang hanya mampu digunakan bernapas. Aku berlari dan terus berlari, entah sudah berapa ratus meter aku lalui, yang kutahu hanya orang-orang di belakangku semakin banyak. Seolah kepalaku adalah barang berharga, seperti dalam perburuan di mana orang pertama yang mendapat kepala buruannya akan menaikkan derajatnya.
Aku lelah, bahkan jika mereka tak mendapatkanku, aku akan tetap mati karena kehabisan napas. Aku pasrah, lariku semakin melambat. Hujatan dari belakang punggungku semakin keras terdengar. Aku tersungkur karena salah satu anak remaja memukul betisku dengan bambu. Setelah aku terjatuh, seluruh orang-orang di sekitarku berlomba-lomba memberikan bogem mentah. Tendangan kaki bagai pemain sepak bola profesional yang on target tepat mengenai belakang kepalaku, mulutku penuh cairan kental berwarna merah. Aku tak lagi punya daya untuk menggerakkan tubuhku, bahkan jari tangan pun tak lagi sanggup aku gerakkan. Aku hanya bisa melihat orang-orang memegang telepon genggam dan mengarahkannya kepadaku dan telingaku mendengar suara samar.
Bakar, bakar, bakar.
Ah, aku tak peduli lagi, toh panasnya api di sini tak sepanas api yang Tuhanku selalu bilang. Aku pasrah dengan itu.”
Setelah dengan saksama aku menyimak, dalam diam, aku terbakar amarah. Namun, kejadian itu sudah berlalu, dan penjelasan tinggallah penjelasan. Semua orang selalu merasa berhak menilai kejadian dan celakanya tidak semua orang melaksanakan kewajibannya untuk tabayun. Barangkali aku sudah hangus karna murka, tapi kepada siapa pula api amarah ini harus kutujukan? Detik-detik yang hening pun berlalu, kemudian Amir menepuk-nepuk kecil pundakku, “Ton…Ton…, kenapa kau juga ada di sini?”
***
Di ujung antrian, di hadapan bayangan putih yang menanyai satu persatu orang yang akan masuk ke gerbang. Di atasnya terdapat layar besar yang menampilkan setiap kisah hidup setiap orang mulai dari dia dalam timangan hingga ke liang lahat. Ketika giliran Anton tiba, ia pun tahu kenapa bisa berada di tempat itu. Layar itu menayangkan peristiwa salah tangkap warga mengakibatkan seorang pemilik usaha rental motor meninggal dunia diamuk massa karena dituduh mencuri motor yang ia rentalkan sendiri.
*****
Editor: Moch Aldy MA