Pekerja harian, menulis di sela-sela waktu senggang

Revolusi Sebatang Keretek dan Puisi Lainnya

Afandi Satya

3 min read

Oh, Hanya Oknum

Negeri yang dijaga ribuan berhala
bernama moral, dan moral, dan moral
dan moral al-moral: amoral
Menolak utusan Tuhan bernama kejujuran

Kesalahan selalu dianggap kecelakaan
Yang tiba-tiba muncul seperti sulap
Tanpa ada sebab-akibat
Tanpa ada gejala yang mengikat masa dan cara

Berhala moral
dipakai sebagai topeng
menutupi evaluasi dan koreksi

mempertahankan ego
menyembunyikan kebusukan
menganak-pinakkan fasad

Bergaung dalam semua lembaga
disebutlah:

Oknum suporter
Oknum polisi
Oknum tentara
Oknum pejabat negara
Oknum agama

Katanya cuma oknum
Tapi ya masa kok nggak habis-habis
Ya masa, oknum kok banyak

 

(Jawa Barat, 21 Agustus 2020)

 

Petaka 30 September

Aduhai tadi malam,
Tujuh jenderal meregang nyawa
Tersungkur di Lubang Buaya
Oleh sekelompok pasukan kudeta
Yang diduga kiriman Partai Merah

Maka bagi dirimu
Hari ini sampai empat tahun ke depan
Adalah hari yang gelap
Langit selamanya mendung
dan warna yang kau kenal hanyalah temaram abu-abu saja

Aduhai,
Mereka yang lugu dan pernah duduk mendengar khutbah Aidid
Atau menyimpan Harian Rakyat
Atau sekadar sial,
Berkawan dengan orang-orang Kiri
Maka bersiaplah kalian semua menukar antrian

Kulit leher mulai akrab
dengan elusan pelan panggilan berbisik
Gerutan bilah pisau tajam
Ditekan kencang-kencang mengerat nadi venamu
Sampai warna hitam saja,
yang matamu jumpa
Kemanusiaan,
Akan absen lima tahun lamanya

Tahun pertama,
Bulan ini,
Minggu ini,
Malam ini
Atau besok pagi
Atau sebentar lagi
Pintumu akan diketuk orang asing
Atau mungkin tetanggamu sendiri
Atau mungkin kawan bermainmu di sawah
Atau mungkin saudaramu di samping rumah
Kapan saja

Lalu kau pun berbaik sangka menyapa salamnya
Digiringlah dirimu ke tempat sepi
Disuruh naik ke truk

“Kita akan kemana saudaraku?” tanyamu
“Kita akan menikmati jamuan dan pesta!”
demikanlah jawabannya
Dan kau memilih percaya saja

Maka digiringlah engkau ke tepi sungai
Atau diajak berdiri di bibir ngarai
Untuk ditusuk bayonet
Atau dicincang pisau kebun
Menjadi enam atau lima bagian
Atau tempurung kepalamu dibanting batu kali

Lihatlah, kuburan masal tanpa nisan
Sungai yang penuh potongan kepala
Mengalir merah dan amis
Ikan-ikan tak laku dimakan
Akan menjadi dongeng terbaik
Pengantar tidur mereka yang selamat

Syahadat Islammu,
Bacaan Quranmu,
Riwayat perbuatan baikmu
Tak akan berguna

Meski kau bersujud pada Tuhan lima kali sehari
Atau membaca kitab suci setiap pagi
Tetap saja tidak berguna

Mulai detik saat berita tujuh jenderal mati tersungkur di Lubang Buaya
bilah pisau tajam sedang diasah
Untuk mempertemukan takdirnya dengan lehermu
Beserta satu juta leher lainnya di seluruh tanah air
Untuk membayar hutang
Atas kabar yang tak pernah bisa dibuktikan

dan orang yang sepertimu
Yang merantau dan belajar ke negeri orang
Ditalak-tiga oleh negara
Diharamkan pulang menemui ibu-bapaknya

Dan kemanusiaan yang terusir pun tak pernah mau pulang kembali
Setelah absen lima tahun lamanya
Mereka yang terzalimi mengutuk bangsa ini
dan siapapun yang memilih mewarisi keganasan itu
Dan mewariskannya
Pada orang yang tak tahu diri dan gelap hati
Yang terus mengecat hatinya dengan warna hitam dendam kesumat
Yang dia tak tahu darimana berasal, kenapa harus dipertahankan,
dan untuk apa dan siapa diwariskan

Mesin paling tajam untuk memusnahkan manusia
Adalah kekuatan negara
Kemanusiaan pun berjanji
Tak mau pulang kembali.

 

(Jawa Barat, 1 Oktober 2020)

 

Kami Bukan Anak Rojava

Atas kebakaran hutan di gedung dewan
Yang asapnya menutupi hati para pejabat
Berwindu lamanya sejak tanah ini merdeka

Dan kemarau panjang pengkhianatan
Atas nama rakyat yang dijadikan hanya
Sebagai kayu bakar perebutan kekuasaan

Darah-darah muda itu tumpah ruah ke jalan
Berduyun berteriak “Revolusi, revolusi, revolusi!”
Membawa amarah di setiap nadi dan sudut matanya

Kemuakan dan benci menjalar jadi bulir keringat
Berabad menanggung kesabaran yang sudah mampat
Akibat tak pernah disuarakan dengan jujur dan berani

Dituliskanlah di sepanjang tol dan jalanan
Harus beramai-ramai pekak dan tak bisa sendiri-sendiri
Karena di nadi kita, terjalin daging dan urat-urat feodalisme

Tapi kami masih saja tetap anak-anak layar
Yang tak cukup kuat dibentak dan digertak
Nyali kami tak cukup kuat berhadap-hadapan

Orang-orang kolot yang pernah berdarah di jalanan demi revolusi
Kini menjelma pentungan lama para tiran
Tak bisa dihadapi

Kecuali dengan pukulan yang sama bebalnya
Seperti yang mereka gunakan meruntuhkan tiran
Delapan belas tahun yang telah silam

Mereka pun kini memegang layar
Kau melawannya dengan itu juga?
Kata-kata tak cukup tajam
Bagi tiran yang tak punya telinga

Nyawa seorang Randi hilang percuma
Tidak menjadi bara, apalagi menjadi api
Menjadi abu saja

Kalau kami melawan sendiri
Tak akan berbuah apa-apa

Kata revolusi yang kau teriakkan malam lalu
Maukah kita tanam sebagai pokok pohon?
Untuk kita jadikan pentungan bagi para tiran esok siang

Tapi kami tak lahir di Rojava
Nyawa yang hilang tak menjadi api
Cinta yang ternoda tak jadi revolusi

 

(Jakarta, 6 Oktober 2019)

 

Revolusi Sebatang Keretek

Dalam gua perenunganku
Gemeretak hisapan keretekku
Menemani dan bicara sendiri

pecahkan seketip percik api
meletup tiba-tiba
tak terduga bak revolusi

Setiap longsongnya kepulkan abu
Kandungannya kegelisahan
milik buruh, kuli panggul, petani, tuna wisma, tuna susila
dan orang-orang miskin yang tak putus bekerja keras
tapi tetap saja tak mengubah apa-apa

Kepulan asap keretekku bertebar
melayang-layang
Mengitariku, menghibur kesepianku
menyesakkan dada
kesepian kami, kesedihan kami

Asapnya membayang wajah-wajah gugur di perjalanan
dan sekian harapan orang kecil dan pinggiran macam kami
yang tak pernah mewujud kata-kata atau benda
selain warna putih hilang segera
Keadilan suci
tak pernah tinggal lama di dunia

Satu dua tarikan
hisapan kami dalam-dalam
ciptakan jalan keluar kegelisahan
bagi ketakutan kami, kesepian kami, kepahitan kami

memberi jalan masuk kekuatan
imajinasi kemenangan nanti
yang tak pernah tercipta
kecuali dalam sebatang nyala keretekku
dan kepulan asapnya yang sebentar saja

Kami tahu
Doa kami bukan kata-kata yang terucap maupun tertanda
Tapi kami beriman
Tuhan Maha-Membaca segala makna
Meski dalam bentuk bahasa asap
Hembusan keretekku tak sia-sia
Ia juga sebuah doa

Tuhan,
Letupkan revolusi bagi kami
Sebelum keretek kami mati

 

(Jakarta, 10 Februari 2019)

 

Aksara Cinta

Kutangkap pada keningmu sebuah aksara
Berjalin seumpama suara
Yang tak pernah mampu kubunyikan
Beratus windu lamanya

Jelita matamu memayangkan satu bahasa
Melumpuhkan keberanian para martir
Makna itu tiba di waktu subuh
Sedang kata-kata berjarak menyusulnya di waktu senja
Jiwa pun sesak ketika makna di-zahir-kan
Apa yang kau nyatakan
Berkurang sekian ribu persen dari nyatanya

Akhirnya dapat kubaca aksara itu,
seketika engkau tersenyum pada batinku
Cinta yang dalam,
adalah yang tidak pernah dinyatakan

 

(Surabaya, 20 Februari 2019)

Afandi Satya
Afandi Satya Pekerja harian, menulis di sela-sela waktu senggang

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Dapatkan tulisan-tulisan menarik setiap saat dengan berlangganan melalalui email