Naming is defining. Penamaan adalah wujud kontrol pertama kekuasaan atas apa yang ia namai.
Ketika Columbus dalam pelayarannya mencapai daratan yang ia kira India (tetapi yang sekarang kita kenal sebagai benua Amerika), ia memulai penamaan terhadap tempat yang ditemuinya dengan nama-nama anggota kerajaan Spanyol, istilah-istilah atau orang-orang suci Katolik. Maka muncullah nama seperti San Salvador (In honor of Blessed Lord), Saint Mary, Puerto Maria atau Port Mary dan banyak lagi. Columbus kemudian diabadikan di Amerika Serikat oleh orang-orang setelahnya dalam nama District of Columbia atas jasanya sebagai penemu benua Amerika. Seolah daratan itu tak pernah ada sebelum kedatangannya, seolah tak pernah ada manusia lain yang tinggal di daratan itu sebelumnya.
Baca juga Pembantaian Ilmu Pengetahuan
Hal yang sama terjadi ketika bangsa Eropa tiba di Nusantara. Mereka memberi nama, mereka membuat definisi, mengelompokkan, juga membagi-bagi wilayah tanpa pernah bertanya pada orang-orang yang dari generasi ke generasi hidup di kepulauan ini. Tanpa bertanya pada orang asli, jadilah nama dan definisi itu hanya mengikuti asumsi dan sudut pandang mereka, atau bahkan hanya dibuat untuk melayani kepentingan mereka.
Penamaan menjadi arena pertarungan, penanda paling awal atas sebuah penaklukan. Lihat saja bagaimana sejarah nama Jakarta. Pada abad ke-14 namanya Sunda Kelapa. Pada abad ke-16, Fatahillah mengubah namanya jadi Jayakarta. Abad ke-17, seiring kedatangan Belanda, namanya jadi Batavia. Jepang yang hanya berkuasa dalam waktu singkat pun mengganti nama Batavia jadi Jakarta Toko Betsu Shi. Lalu memasuki masa kemerdekaan, pemerintah Indonesia pun merasa harus mengganti nama-nama yang diberikan penjajah.
Pemerintahan Soeharto yang berkuasa lama dengan segala kontrolnya, tampak paham betul dengan pentingnya sebuah nama. Kita tahu bagaimana politik penamaan rezim Soeharto telah menyeragamkan nama jalan-jalan utama kota-kota di Indonesia dari Sabang sampai Merauke. Jalan Jenderal Sudirman selalu menjadi nama jalan utama di setiap kota, diikuti nama pahlawan-pahlawan lainnya – yang hampir semuanya adalah tentara. Nama Soekarno tidak pernah berdiri sendiri sebagai nama sebuah jalan atau bandara, melainkan harus bergandengan dengan nama Hatta. Jadilah: Jalan Soekarno-Hatta atau Bandara Soekarno-Hatta.
Dalam penamaan, ada identitas baru yang dilekatkan yang sekaligus menggusur identitas lama. Ada ingatan kolektif yang dikubur dan diganti dengan propaganda baru. Kenapa nama jalan-jalan utama harus nama tentara, kenapa nama Soekarno harus selalu digandengkan dengan Hatta, itu semua bukan sekadar kebetulan belaka. Penguasa hendak membentuk sebuah kesadaran bersama untuk mendikte bangsa ini tentang apa dan siapa pahlawan bangsa. Ketika nama Soekarno tak pernah berdiri sendiri, itu juga bahasa penguasa untuk mengatakan: Ah, Soekarno tak ada apa-apanya jika tidak bersama Hatta. Bagaimana kota-kota di Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, hingga Papua harus juga menggunakan nama-nama jalan yang ditentukan dari Jakarta, juga telah menggusur ingatan dan sejarah wilayah tersebut.
Itu baru nama jalan. Sebelum diubah Gus Dur pada 1999, Papua bernama Irian Jaya. Nama Irian Jaya yang juga pemberian Soeharto itu jelas bukan nama yang berakar dari tradisi Papua. Pelekatan kata “Jaya” yang berarti sukses, berhasil, hebat – menunjukkan kesombongan atas keberhasilan penaklukan, alih-alih merangkul dan memberi ruang. Tak cukup disitu, puncak tertinggi di Papua pun diberi nama Jaya Wijaya. Sebuah nama yang jelas lebih dekat dengan identitas Jawa, daripada Papua.
Ketika Timor-Leste dicaplok Indonesia, kata “Leste” pun segera dihilangkan, diganti dengan Timur; Timor Timur. Lagi-lagi, dalam setiap kata yang dihilangkan, ada identitas dan sejarah yang disingkirkan.
Namanya Nusantara
Pemerintahan Jokowi sudah menentukan dan mengumumkan nama untuk ibu kota baru yang berlokasi di Kalimantan Timur: Nusantara. Kata Nusantara yang selama berabad-abad merujuk pada kebudayaan maritim bangsa-bangsa yang tinggal di kepulauan di wilayah Asia Tenggara – kini akan menjadi nama sebuah kota, ibu kota baru Indonesia yang terletak di Kalimatan.
Pemilihan nama Nusantara jelas menunjukkan ketidakpahaman atas makna Nusantara – baik secara etimologi, sejarah, maupun politik. Nusantara yang secara harfiah bermakna antar-pulau, dalam konteks budaya dan politik adalah identitas bersama yang dimiliki bangsa-bangsa yang hidup di wilayah kepulauan ini; mulai dari wilayah Thailand bagian selatan, Malaysia, Singapura, kepulauan Indonesia, Brunei, hingga wilayah selatan Filipina.
Di saat bersamaan, memberi nama ibu kota baru yang berada di Kalimatan Timur dengan nama Nusantara, adalah praktik terbaru dari politik penamaan ala penjajah. Kekuasaan yang datang dari luar, datang ke sebuah wilayah, memberi nama wilayah itu sesuai yang diinginkan, menguasai lahan, menebang pohon, membangun rumah dan gedung, membangun kota, seolah-olah tak pernah ada manusia-manusia yang tinggal di wilayah itu sebelumnya.
Wilayah yang hendak dijadikan ibu kota baru itu bukan daerah tak bertuan dan tak bernama. Sebagian wilayah terletak di Samboja, kabupaten Kutai Kartanegara dan sebagian di Sepaku, kabupaten Penajam Paser Utara. Sudah seharusnya ibu kota baru dibangun dengan penghargaan dan pengakuan atas identitas dan sejarah manusia yang tinggal di wilayah tersebut. Ketika lahan atau hutan sudah bukan lagi milik warga setempat, semestinya “nama” bisa menjadi garda terakhir pemelihara identitas dan ingatan.
Indonesia adalah imajinasi bersama bangsa-bangsa dari ujung Sumatera hingga Papua, bukan sekadar proyek penguasa dan anak-anaknya.
Dalam Konferensi Malino itulah untuk pertama kalinya Frans Kaisiepo mengusulkan penggantian nama Papua dan Nieuw Guinea menjadi Irian pada 16 Juli 1946.
Irian sendiri merupakan akronim dari ‘Ikut Republik Indonesia Anti Nederland’.
Hal ini juga diabadikan dalam Monumen Pembebasan Irian Barat, dimana dalam monument tersebut dikatakan bahwa Irian merupakan singkatan dari Ikut Republik Indonesia Anti Nederland.