seorang biasa yang punya hobi belajar menulis dan sedang iseng membantu riset di Pusat Kajian Otonomi Daerah

Ibu Kota Nusantara Tanpa Suara Warga

Daniel Pradina Oktavian

3 min read

Pemerintahan Presiden Joko Widodo sudah menetapkan “Nusantara” sebagai nama Ibu Kota Negara (IKN) yang berlokasi di kabupaten Penajem Paser Utara dan kabupaten Kutai Kertanegara, Kalimantan Timur. Penetapan nama ini menuai kritik karena dianggap tidak memahami makna Nusantara dan lebih dari itu karena prosesnya yang tidak mendengar masukan publik, utamanya warga lokal yang mendiami wilayah tersebut.

Baca: Ibu Kota Nusantara: Arogansi dan Kebodohan Politik Penamaan

Sejak awal, perencanaan IKN sudah menuai kritik. Mulai dari persoalan kemampuan pembiayaan fiskal, ancaman kelestarian lingkungan, hingga kecurigaan adanya kepentingan politis dan populis semata. Apalagi kenyataannya, rencana relokasi IKN yang serba cepat ini sejak awal juga mengabaikan partisipasi publik.

Menurut Arnstein (1969) partisipasi publik didefinisikan sebagai redistribusi kewenangan yang memberikan ruang bagi masyarakat yang sebelunya dikeluarkan untuk dapat masuk kembali diikutsertakan dari proses politik dan ekonomi. Pentingnya pastisipasi publik dimanfaatkan sebagai masukan bagi perencanaan dan perancangan pembangunan. Titik ini menjadi penting untuk mengakomodasi pembangunan yang multiwawasan. Wawasan tersebut dalam memperluas sudut pandang pembangunan dari berbagai aspek, seperti sosial, budaya, lingkungan, hukum, serta ekonomi. Sinergitas pembangunan tersebut tidak mungkin dicapai jika hanya mengandalkan satu sudut pandang saja, yaitu pemerataan ekonomi. Sayangnya, paradigma tersebut selalu menjadi kata kunci pemerintah dalam komunikasi mengenai rencana relokasi IKN.

Alih-alih mendapat dukungan, perspektif pemerataan ekonomi yang bertumpu pada pembangunan infrastruktur ini juga mendapat banyak kritikan. Pemerintah beralasan bahwa pemindahan IKN akan membawa multiplyer effect yang besar bagi pembangunan daerah sekitarnya, bahkan ke wilayah Indonesia Timur. Ini terkait dengan konsentrasi ekonomi baru yang akan mempengaruhi wilayah sekitarnya. Demikian teori ekonominya bekerja. Jika kita melihat DKI Jakarta, memang pembangunan tersebut memberi pengaruh yang demikian.

Sayangnya, setelah puluhan tahun menjadi pusat ekonomi dan pemerintahan, hanya mampu memberi pengaruh yang kuat ke daerah sekitarnya saja, seperti Bodetabek (Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi). Kita pun patut meragukan efektivitas alasan pemerintah tersebut.

Masa pandemi Covid-19 yang menyebabkan reorientasi besar-besaran anggaran dari tingkat pusat sampai daerah membuat kemampuan fiskal serasa kembang kempis. Pemerintah harus putar otak untuk mendapat sumber modal yang baru sembari memulihkan aspek kesehatan dan ekonomi. Situasi ini membuat keraguan terkait pembiayaan relokasi dan pembangunan IKN yang baru. Pembiayaan yang dikucurkan tentu tak hanya bisa menyangkut aspek kesiapan infrastruktur saja, melainkan juga memperhatikan kemampuan keberlanjutannya. Malahan, sumber-sumber pendapatan bagi pembiayaan tersebut belum nampak jelas sampai sekarang. Dasar hukum yang juga belum terbentuk dikawatirkan membuat Pemerintah ugal-ugalan menabrak regulasi yang ada.

Secara historikal, pemilihan DKI Jakarta sebagai IKN memiliki arti penting dan strategis. Banyaknya peristiwa sejarah penting yang medukung proses-proses kemerdekaan Indonesia menjadi nilai sejarah yang rasional dalam memilih Jakarta sebagai ibu kota. Misalnya saja, Proklamasi Kemerdekaan Indonesia. Aspek ini dinilai tak dimiliki oleh calon ibu kota baru nanti.

Pemerintah pun tak pernah menjelaskan secara rinci selain hanya karena potensi spasial dan keekonomian yang dimiliki dua kabupaten tersebut. Ini patut disayangkan mengingat akan adanya degradasi nilai sejarah bagi Jakarta seandainya hanya menjadi basis ekonomi saja. Jakarta bukan lagi dipandang sebagai kota sarat dengan pusat sejarah perjuangan yang dilestarikan sebagai pusat pemerintahan, tapi hanya sebagai kota megaekonomi yang tak lain kepentingannya hanya uang.

Terlebih, pembangunan IKN yang baru juga sarat akan persoalan budaya dan lingkungan. Kacamata pembangunan yang masih menggunakan jakartasentris dinilai tak mampu memperhatikan modal sosial, budaya, dan lingkungan IKN yang baru.

Nyatanya, memang ada pengabaian partisipasi publik dalam kajian yang dilakukan Wahana Lingkungan Hidup Indonesia. Hal tersebut bukan hanya mampu menciptakan konflik sosial, tapi juga pembangunan yang hampa. Jika kita merujuk pada pemindahan ibu kota di lain negara, ketiga aspek tersebut menjadi hal yang penting bagi modal suatu kota selain modal ekonomi. Kita melihat adanya degradasi lingkungan begitu juga peningkatan konflik sosial akibat pembukaan lahan. Diyakini pembukaan lahan ini diperuntukkan demi mendukung IKN yang baru sebagai pusat ekonomi.

Memang kita tahu bahwa Jakarta memiliki beban yang besar dalam memikul status sebagai pusat ekonomi dan pemerintahan sekaligus. Berbagai kajian pun telah menyatakan Jakarta overload dan overcapacity sebagai sebuah kota yang layak fungsi dan layak huni. Faktor ini yang menjadi landasan kuatnya Pemerintah Pusat bergegas memindahkan ibu kota.

Namun, proses komunikasi Pemerintah yang selalu searah membuat banyak kecurigaan terutama mengenai kepentingan politis dan populis. Disebut-sebut beberapa dari pejabat publik dan konglomerat memang memiliki tanah di IKN yang baru. Tak ayal, publik berpersepsi demikian. Pemerintah seolah-olah memberikan ruang publik untuk berpartisipasi dalam hal memberi masukan.

Namun, hal tersebut tak dibarengi dengan pemberian kewenangan. Publik tidak tahu kemana harus memberi masukan, kepada siapa, dan bagaimana masukkannya diakomodasi. Dalam teori partisipasi publik yang diungkapkan Bedford (2002), partisipasi publik haruslah mencapai kemampuan untuk mempengaruhi pengambilan keputusan. Ini menjadi krusial ketika masukkan publik hanya diakomodasi tanpa ada tindak lanjut. Alhasil, publik hanya menerima informasi yang datang dari satu pihak saja.

Partisipasi publik bukan hanya penting untuk masyarakat Indonesia secara luas, melainkan ke daerah yang terdampak akibat pemindahan IKN ini. Ini terkait dengan pembangunan daerah yang juga tetap berjalan dan memiliki road map-nya sendiri.

Jika saja seluruh aspek pembangunan dikuasai Pemerintah Pusat, daerah tak lagi memiliki pilihan lain selain melakukan penyesuaian. Padahal, ini buruk bagi kerja-kerja otonomi daerah dimana daerah memiliki kewenangan pembangunan yang luas. Pemerintah tak hanya cukup memberikan ruang bagi publik dan daerah untuk menyumbang kritik dan saran, melainkan juga memastikan publik dan daerah memiliki kewenangan yang sama kuat. Hal ini demi memastikan pemerataan ekonomi yang diwacanakan benar-benar dirasakan masyarakat.

Daniel Pradina Oktavian
Daniel Pradina Oktavian seorang biasa yang punya hobi belajar menulis dan sedang iseng membantu riset di Pusat Kajian Otonomi Daerah

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Dapatkan tulisan-tulisan menarik setiap saat dengan berlangganan melalalui email