“Bapak ditangkap. Hati-hati. Pasang mata dan telinga. Cepat sembunyikan diri. Amankan keluarga.”
Dadamu naik turun ketika membaca pesan singkat di telepon genggam. Padahal kau baru saja berjamaah magrib bersama keluarga kecilmu. Ponselmu tadi memang berdering berkali-kali saat kau mengimami salat. Siapa pula yang berani menelepon malam-malam begini, pikirmu.
Sebakda salam, kauringkas zikir. Kausingkat dan percepat doa. Tanpa menghiraukan anak dan istri, kau bergegas mengambil ponsel yang tergeletak di atas lincak. Ada enam panggilan tak terjawab dan sebuah pesan masuk dari nomor tak dikenal. Hatimu seketika berdebar bertanya-tanya. Siapa?
Kau baru tahu dan paham ketika membuka pesan itu. Jantungmu tiba-tiba berdenyut lebih cepat. Hidungmu kembang-kempis. Sekujur tubuhmu menegang. Sepertinya aliran darahmu membeku. Kau kaku, terpaku berdiri di samping lincak sementara istrimu mulai mengajari anakmu mengaji.
Sepintas raut wajah sepuh Nom Suli yang meninggal tiga tahun silam hadir dalam ingatan beserta kenangan yang sangat membekas di benakmu. Beberapa hari sebelum malaikat Izrail menjemputnya, adik lelaki ayahmu yang dikenal memiliki ilmu laduni itu sempat menyampaikan ramalannya padamu.
“Anom tak rida kalau kamu bekerja pada blater itu. Anom memiliki firasat buruk. Anom melihatmu tenggelam di kapalnya. Tolong hentikan keinginanmu, Cong.”
Saat itu kau bergeming tetap bulat pada keputusanmu. Entah karena ilmu kuliah yang kauanggap lebih tinggi dari ilmu pamanmu atau karena sudah merasa dewasa sehingga tak butuh lagi nasihat orang tua, kau bahkan menentang perkataannya.
“Semua orang tahu, Nom, dia calon pemimpin masa depan. Survei membuktikan mayoritas masyarakat kabupaten ini bersimpati dan percaya padanya. Dia merakyat. Suka membantu orang-orang melarat. Maaf, kali ini Jufri tidak bisa mengikuti arahan jenengan. Biar pun kata orang Anom punya ilmu laduni, ilmu waskita, weruh sak durunge winarah, tapi itu dulu kan. Ramalan Anom tidak pernah terbukti lagi semenjak Rama-Ebu meninggal!”
Kau segera pergi dari hadapannya. Padahal, ia memanggil-manggilmu. Kau tidak tahu, saat itu air matanya berlinang. Kau terlanjur kecewa mengingat tragedi tabrak lari beberapa tahun silam yang menewaskan kedua orangtuamu.
Kauingat sekali, sebelum mereka berangkat kau bertanya pada pamanmu, “apakah mereka akan baik-baik saja?”
Nom Suli menjawab, “ya, insyaallah mereka akan selamat.”
Padahal, kau tidak tahu yang terjadi sebenarnya. Kau tidak memperhatikan mendung yang menggelayut pada air mukanya.
Dulu, kau sangat mengagumi pamanmu itu. Ramamu pun mengakui kealiman dan kewaraannya. Jazuli, lelaki yang kaupanggil Nom Suli itu memang ahli tirakat. Berkat olah batinnya itu konon ia dianugerahi ilmu waskita. Banyak orang dari berbagai kalangan dan mancadaerah datang meminta nasihat padanya. Hampir semua penglihatannya benar-benar terjadi. Oleh karenanya, ia sangat ditakzimi dan disegani orang-orang meski perawakannya kurus, tak setegap dan serupawan ramamu.
Pernah ada seorang pedagang minta sarat ke Nom Suli. Selang setahun kemudian, pedagang itu sukses besar. Pernah pula ada petani mendatangi dan meminta petuahnya kala nemor kara. Lewat beberapa purnama setelahnya, hasil panennya melimpah ruah. Ada banyak lagi kejadian serupa yang tak terhitung jumlahnya.
Hanya saja, konon, Nom Suli enggan didatangi pejabat atau orang-orang yang ingin mencalonkan diri menjadi pejabat. Katanya, Nom Suli tak mampu menghadapi mereka. Termasuk ramamu.
Seperti yang kautahu, ramamu dulu digadang-gadang menjadi pemimpin daerah ini. Status kiai kampung tidak menghalanginya maju mencalonkan diri di pilkada. Katanya, ia ingin mengayomi rakyat dan memperjuangkan hak-hak mereka. Masyarakat desa mengelu-elukan ramamu yang membumi dan ringan tangan pada kaum fakir, miskin, dan duafa. Semua orang antusias kecuali pamanmu.
Sering kaudapati ramamu dan Nom Suli duduk berdua di cangkruk depan rumah pinggir sawah. Mereka tampak berdebat mengenai sesuatu. Namun, setiap kali kau mendekat hendak menguping pembicaraan mereka, Rama menyuruhmu masuk ke dalam rumah. “Ini urusan orang tua,” katanya.
Akhirnya kau beringsut. Namun, sayup-sayup kaudengar mereka menyinggung pemilu.
Suatu saat, ramamu harus menghadiri kampanye partai di luar desa. Ebumu turut serta. Sebelum mereka berangkat, kau sempat melihat Rama dan Nom Suli bersitegang hingga ebumu turun tangan. Namun, kejadian itu tak berlangsung lama. Rama dan ebumu berangkat dan meninggalkanmu bersama Nom Suli berdua. Karena penasaran, kau lantas bertanya pada pamanmu.
“Ada masalah apa tadi, Nom?”
Nom Suli melirikmu sebentar. “Tidak ada masalah apa-apa,” ujarnya.
Kau sebenarnya curiga. Tetapi kepercayaanmu pada Nom Suli membuatmu urung bertanya lebih jauh. Sebagai gantinya, kau malah bertanya, “Apakah mereka akan baik-baik saja?”
Tanpa memandangmu, Nom Suli menjawab, “ya, insyaallah mereka akan selamat.”
Dan ternyata, tak lama setelah itu mobil ramamu ditabrak seseorang dari belakang hingga oleng dan menghantam pembatas jalan. Rama dan ebumu sempat dilarikan ke rumah sakit. Namun, tak ada yang bisa diselamatkan. Sejak itu, kau marah pada Nom Suli dan tak mau mempercayai kata-katanya lagi.
Hingga ajalnya tiba, kau tak pernah sekalipun menghiraukan ramalannya. Termasuk soal blater kampung yang kini kaupanggil “Bapak” itu.
“Siapa yang menelepon, Bi?” suara lembut Fatimah, istrimu, akhirnya menyadarkan lamunanmu.
Kau tidak menjawab pertanyaan itu dan hanya berusaha membalas dengan pandangan penuh kasih. Aku harus bagaimana? Pikirmu. Pasang mata dan telinga? Sembunyikan diri? Amankan keluarga? Tapi ke mana?
Kau benar-benar bingung. Detak jantungmu semakin cepat dan degupnya semakin jelas terdengar. Keringat dingin mulai membasahi sekujur tubuhmu. Kau lantas terduduk di atas lincak seraya menyebut nama tuhanmu berulang kali. Sejumlah bayangan berkelebat cepat silih berganti dalam ingatan. Lambat laun kau mulai menyadari kebenaran ramalan Nom Suli.
Belakangan ini ada hal-hal ganjil terjadi. Saban hari kaudapati kabar beberapa kawan yang dulu mengajakmu mendukung blater itu ditangkap aparat. Selang satu hari kemudian, wajah dan nama mereka dimuat di koran dengan berita dugaan penggelapan pajak serta korupsi dana pembangunan dan bantuan sosial. Kabar itu membuat lingkaran pergaulanmu gempar.
Beberapa kenalan menghilang tanpa jejak. Tak terkecuali lelaki yang kausebut “Bapak”, blater yang kauelu-elukan dulu. Dari bisik-bisik tetangga, kaudengar ia pergi ke luar kota. Ada pula yang menyebutnya pelesir ke mancanegara. Kau sendiri tidak tahu dan tak pernah tahu ke mana perginya. Satu-satunya yang kaupedulikan adalah dulu ia pernah membantumu banyak hal ketika tahu kaulah suksesor pilkada di daerahmu. Kau mendapat hadiah mobil dan tawaran pekerjaan di pemerintahan. Lantas kau mengambilnya sebagai rejeki yang boleh diterima tanpa berpikir panjang.
Kau benar-benar tidak menghiraukan ramalan Nom Suli. Pada hari-hari berikutnya, kau bahkan menjadi salah satu kaki tangan si blater itu. Dan kini… kau terduduk pasrah tanpa bisa berbuat apa-apa. Semua peristiwa yang telah kaualami selama ini saling berkelindan di kepalamu dan memberimu kesadaran baru.
Di tengah heningnya malam, kau lalu mendengar suara sirine dari kejauhan. Lengkingan suara sirine itu semakin lama semakin dekat dan keras terdengar. Tak berapa lama kemudian, suara sirine itu seolah-olah berputar-putar mengelilingi rumahmu. Fatimah memandangimu penuh tanda tanya.
Belum sempat kau beranjak berdiri, seseorang telah mengetuk daun pintu rumahmu sebanyak tiga kali. Iramanya pelan, tapi pasti.
Kau terperangah. Tubuhmu gemetaran berdiri lalu berjalan perlahan ke ruang depan. Dari celah gorden, kaulihat cahaya biru merah berkelap-kelip menyilaukan disertai siluet segerombolan orang berdiri siaga di luar sana.
Tanpa terasa, matamu basah berair. Tidak ada pilihan lain, pikirmu. Akhirnya, sambil memejamkan mata kauputar gagang pintu hingga daun pintu itu terbuka. Ada tiga orang berbadan tegap berjaket kulit yang salah satunya menunjukkan lencananya padamu. Tanpa basa-basi, ia memintamu masuk ke dalam mobil yang sudah terparkir di halaman rumah. Katanya, kau harus segera diamankan. Dua orang rekannya segera menggiringmu menuruni anak tangga teras dan menuntunmu menuju mobil itu.
Kau tidak berkutik. Kau seperti sapi yang dicucuk hidungnya. Bahkan ketika istrimu berteriak histeris dan anakmu menangis tatkala melihatmu sedang berjalan ke mobil itu, kau tetap bergeming. Rupanya, di kepalamu, sayup-sayup kaudengar suara Nom Suli. Samar-samar kaulihat wajah sepuhnya yang sedang menangis di ujung napasnya.
“Tolong hentikan keinginanmu, Cong. Blater itu bajingan. Ialah dalang di balik kecelakaan yang menimpa Rama-ebumu. Aku melihatnya dalam mimpiku. Dan aku melihatmu kelak akan tenggelam di kapalnya.”
Kauingat betul, kala itu kau juga bergeming. Kau terlanjur tidak mempercayainya. Namun, kini ramalan itu terjadi. Dan kau kehabisan kata-kata untuk menyesalinya.
Mlajah, 2021
Kosa kata:
Blater: Jagoan (Jawara)
Nemor Kara: Kemarau Panjang
Sarat: Syarat
***
Editor: Ghufroni An’ars